Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2023

Mulas

Lapar tak bisa dipungkiri bagi setiap orang yang hidup. Selain enak, halal, dan murah, teman dan tempat yang nyaman, gua rasa juga perlu dipertimbangkan. Akhirnya, di suatu warung, gua makan sama teman gua. Apa, kapan, siapa, dan kenapa, nggak perlu gua jelasin. Nggak penting juga. Asik-asiknya makan dan ngobrol, orang-orang silih berganti. Bayar dan pergi. Lalu, tak lama, di hadapan gua, di meja depan, orang baru datang. Cewek-cowok. Sepasang kekasih kayaknya. Dari pakaiannya sih, okelah. Nyetel. Tapi, kayaknya mereka nggak pikir muka waktu pakai outfit itu. Bukannya apa-apa. Gua cuma nggak mau ngomong kasar aja di sini. Makan gua habis, tapi bahan pembicaraan nggak pernah habis. Gua sama teman gua masih lanjut ngobrol. Nggak lama, tuh dia pada pesan makan. Si Cowok bawa sepiring munjung nasi ayam geprek. Lalu, dihidangkan di hadapan Si Cewek, kekasihnya. Udah. Sepiring doang.             “Lah, kamu nggak makan?” Tanya Si Cewek.             “Nggak, ah. Aku mau lihat kamu aja

Klotak-Klotak

Indonesia, negara yang solid. Kompak. Termasuk hal-hal yang disenangi. Banyak hal yang disukai untuk dijadikan isu. Berbagai genre; politik, komedi, asmara, kuliner, dan macam-macam. Meskipun tarafnya pasang surut. Saling berganti. Ini yang lagi ramai, lato-lato. Kita semua tau, permainan itu lagi nge-trend akhir-akhir ini. Entah tua atau muda. Jangan ditanya bocil-bocil. Ya, pendapat gua, sama aja, plus minus. Plusnya, jadi banyak konten menghibur dan tuh bocil-bocil jadi kagak pada main hp. Minusnya, ya itu, berisik. Klotak-klotak. Tapi, serius dah. Jangan pada main lato-lato. Bahaya. Bahasa psikologinya ntar kena sugesti hipnotik . Kehipnotis. Mengganggu kesadaran. Jadi, pas lato-lato dimainin, klotak-klotak. Lebih dalam. Klotak-klotak. Dilihatin terus. Klotak-klotak. Bola lato-lato yang ke atas ke bawah tanpa sadar pemain jadi kehipnotis. Amaterasu. Jadi, nggak heran kalau lu nemu bocil main lato-lato diam aja. Mata melotot, tatapan kosong, muka merah, gigi kuning, leher hitam,

Ikan Asin

Jadilah diri sendiri. Tak sedikit orang malu pada dirinya. Malu jadi dirinya. Gampang minder. Alasannya, karena kurang inilah, kurang itulah. Nggak ginilah, nggak gitulah. Ada aja yang bikin minder. Pasti, gua juga pernah, setiap kekurangan kita dan terbentur dengan kelebihan orang lain pada suatu hal, itu membuat minder. Percaya diri kendor. Kadang-kadang kita berlomba-lomba jadi orang lain. Satu sisi memang bagus, ada hal yang jadi acuan dalam bersikap. Apalagi orang itu adalah orang maju dan berkembang. Sedangkan, kita malah malu berbeda. Padahal perbedaan menjadi khas itu sendiri. Kita malah jadi menghilangkan rasa percaya diri sendiri. Kita bisa kok ‘mantap’ dengan diri sendiri tanpa harus jadi orang lain. Padahal kan Tuhan mengaruniakan kita manusia dengan kelebihan, nggak hanya kekurangan. Tetapi, kenapa yang dilihat hanya kurangnya saja? Kita juga punya lebih. Harusnya kita bisa bangga dengan lebih itu. Lagian orang juga punya kurang. Kenapa minder? PD aja. Jangan nambah-namb

Cantik

Sekarang, cari yang cantik gampang. Di mana-mana ada. Sejauh mata memandang, telinga mendengar, hidung mencium, dan kaki melangkah, serius, pasti nemu aja yang cantik. Sepertinya bumi dinvasi dan dipasok berbondong-bondong oleh mereka. Bertubi-tubi. Menjamur. Makmur. Meski cantik itu relatif, tetap aja, lelaki tak perlu ditanyakan mengenai eksoteris. Cantiknya pun beragam; anak SMA, mahasiswi, PKL apotek, SPG skincare, pegawai, bu dosen, istri orang, sampai ke tukang es teh pun berlomba tak mau kalah. Haha. Manis mbak-mbaknya membuat insecure kadar glukosa es teh itu sendiri. Ada-ada aja orang dagang. Aslinya, mereka yang cantik sangat mudah untuk menarik perhatian lelaki. Tak perlu kasih nomer wa, akun ig, akun tiktok. Tak perlu. Cantiknya cukup. Apalagi, ucap guru itu, lelaki dan perempuan 1:4. Pas berarti. Masna wa tsulasa wa ruba . Jadi lelaki tak perlu bingung-bingung. Tapi, jika hanya mengandalkan cantik, apa itu cukup? Lelaki menikahi perempuan itu karena 4 hal; Limaliha , k

Ecek-Ecek

Sebenarnya, apa yang mau disombongin bagi makhluk lemah seperti kita? I ngat, kita ini tanah. lembek. Jangan sok langit, nggak pantas! Hidup sewajarnya aja. Membaur. Jangan mentang-mentang atas, sampai nggak sempat pada yang bawah. Hal yang tinggi dimulai dari hal yang rendah. Hal yang besar dimulai dari hal yang kecil. Harusnya sadar. Hidup hanya sebentar. Apa yang mau dibanggakan, Manusia? Nggak sadar, setiap lubang dari tubuh kita mengeluarkan hal yang kotor; hidung, mata, telinga, mulut, qubul, dubur, juga kecil pori-pori itu. Kita makhluk jijik. Nggak ada bedanya dengan sapi dan kambing yang ke mana-mana   membawa kotoran di dalam perut. Apakah juga nggak mikir jauh sampai ke atap? Genting? Meskipun sama-sama dari tanah, genting kepanasan kehujanan, biasa. Lah, manusia kepanasan kehujanan? Meriang. Pilek. Dikerokin. Makan bubur. Sebegitu lemahnya. Oleh karena itu, apa yang membuat kita lebih dari orang? Toh, sama saja. Masih nafas dari hidung. Jangan mentang lebih-lebih, ma

Ribet

Orang-orang kadang gitu, suka banget ngurusin hidup orang lain. okelah, Al insanu mahalul khoto wan nisyan . Kita punya salah dan kekurangan masing-masing. Bisa lupa, bahkan sering. Kita makhluk pikun. Tapi, maksud gua, mending lu urus hidup lu aja dulu. Hidup lu aja belum tentu benar. Analoginya , seperti orang buntung yang maksain jadi kuli bangunan atau bandar narkoba yang mengisi seminar penyuluhan bahaya narkotika. Kan, lucu. Ya, harusnya, saran gua, urus aja dulu diri lu. Kita urus diri masing-masing. Kalo diri sendiri udah benar, baru orang lain. Tapi, gua yakin, orang pasti ada kurangnya. Ada aja salahnya. Ya, karena kita manusia, makhluk yang nggak terlepas dari hal itu. Berarti kita nggak usah peduli? Nggak usah bantu orang lain? Ya, nggak gitu konsepnya. Bukan maksudnya kita punya kurang, kurang semua. Kita punya salah, salah semua. Kita punya lupa, lupa semua. Pasti ada lebihnya. Pasti ada nilai plusnya. Nah, lebih dan plus itu kita berikan untuk kurang dan minusnya orang

Kijang

Hidup harus bergerak. Memikul semua beban pikir dan harap-harap. Pastinya akan menemui banyak hal-hal baru dalam gerak dan perjalanan yang dituju. Individu dan tempat menetap yang nomaden. Nyaman tidak nyaman adalah proses dari adaptasi itu sendiri. Semua ada kendala masing-masing. Ada cobaannya masing-masing. Lihat saja kijang muda yang tampak murung di bawah payung gelap bayang-bayang pepohonan. Melanjutkan hidupnya saat ini tidaklah mudah. Andai saja ia tetap pada padang sabana luas itu, pasti semua tidak seperti ini. Menikmati hidup dengan kemerdekaannya masing-masing. Bebas sebebas-bebasnya. Ia bisa lari ke sana, lari ke sini. Loncat ke sana, loncat ke sini. Alam adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ia memang tak seperti singa, macan, cheetah, banteng, kobra, buaya, atau hewan lord sebagai pemegang kasta tahta tertinggi di sabana. Tapi, hewan manapun yang bersabana berhak untuk tenang dan senang. Semua telah memiliki porsinya, telah diatur sedemikian rupa. Sabana s

Tikus

“Ini nggak benar, deh!” Tikus nying-nying menyadari perbuatannya selama ini. Mencuri makanan adalah kesehariannya. Dengan berbagai cara. Macam-macam tempat. “Apa yang harus kamu risaukan, nying-nying? Ini adalah sebuah keharusan bagi kita sebagai tikus untuk menyambung hidup. Hanya ini.” Tikus got memberi pencerahan. “Tapi, nggak seperti ini, got!” “Aku juga ingin makan dengan sehat dan aku juga tau ini salah. Tapi, bagaimana lagi? Kita ini hanya tikus. Nggak seperti manusia yang dapat bekerja dengan dibantu otaknya.” Dari debat berkepanjangan itu, akhirnya nying-nying mengikuti saran tikus got. Lagi dan lagi. Ia menyasar rumah makan, gudang, dan dapur yang ngebul itu. “Jadi manusia enak kali ya, got?” Tanya nying-nying sambil memakan hasil buruan mereka. “Kamu harusnya bersyukur, nying-nying! Bertemu denganku dan masih bisa menyambung hidup. Manusia dan kita nggak ada bedanya, sama-sama mencuri. Hanya soal rapih nggak rapih. Nggak rapih, seperti begal, tukang todong, jam

Bocah Ledok

Lihat deh, anak bocah itu! Iya, mereka yang sedang main kelomang yang mereka beli selepas pulang dari sekolah itu. Seribuan satu, yang gede 2 ribu. Lihat tawa-tawa mereka. Tawa-tawa yang mudah menular bagi siapapun yang melihat. Kelomang itu pun pasrah, diletakkan di rumah-rumahannya, disuruh naik prosotan, dipaksa mengikuti alur skenario mereka. Entah bagaimana dengan perasaan Si Kelomang; berusaha lari sejauh mungkin, tetap saja diambil dan ditarik kembali. Bahkan, berusaha menguncup pun, bersembunyi di cangkang, tetap saja di’haah’..’haah’ lagi. Bau mulut mereka memaksa Si Kelomang keluar. Sesak. Mereka kembali tertawa. Sampai pada salah satu kelomang dari ketiga bocah itu ada yang konslet. Nggak keluar-keluar. Di’haah’..’haah’in nggak mempan. Meski tetap ada sedikit gerak dari Si Kelomang. Lalu, Si Teman satu ada yang berinisiatif membantu dan ‘haah...’haah’-nya pun dikeluarin penuh andalan, ‘lihat, nih!’ percaya diri. Eh bukannya keluar, malahan tetap aja. Kali ini tanpa gerak.

Nyamuk 2

Tidur nggak pakai baju emang adem banget - Meskipun tetap sarungan-. Tak hanya itu, nyamuk juga senang banget. Tidur mengangkat tangan pasrah adalah pose terbaik. Menggambarkan seorang makhluk yang pasrah dan rendah. Ketiak automatis terbuka. Loh kok tapi bisa-bisanya itu nyamuk nemplok di situ. Mungkin dia mau ngerasain vibes yang beda. Serasa view alam, terpa angin, dan melihat bintang-bintang. Gua yang sadar akan hal itu berusaha tenang tidak gegabah. Meski tetap emosi. Langsung nepok itu cara lama. Jadul. Tidak efektif. Butuh cara revolusioner. Nyamuk memiliki refleks yang bagus. Gua pakai cara lain. Dengan cepat, langsung aja gua turunin tangan gua. Yang awalnya tuh nyamuk outdoor, langsung indoor. Dia kalah cepat. Biarin aja deh kesekap di sana. Tapi, setidaknya gua masih ada sisi perikemanusiaan. Membuatnya hangat. Berselimut bulu-bulu. Haha. Rasain.

Nyamuk 1

Harusnya lu bersyukur ditakdirkan jadi manusia, nggak jadi nyamuk. Coba kalau lu jadi nyamuk. Bayangin, deh; ‘Lu jadi nyamuk. Nyedot darah orang yang lagi tidur tak berdaya. Nyedot darah sepuas-puasnya. Udah kenyang, tinggal terbang. Tapi, pas lagi terbang santui dalam kenyang dan senang, tiba-tiba si orang yang lu sedot itu bangun dan prakk!’ Bayangin! Lu mati dan bahkan belum sempat merasakan kaget sedikit pun. Badan lu dan bercak darah hasil colongan itu ampar-amparan di tangannya. Penuh emosi. Nggak tau, malam-malam gua mikir gitu. Gara-gara nyamuk sialan emang, gua nggak bisa tidur!

Batas

Apapun yang ada di dunia ini pasti ada limit. Ada batasnya. Eksistensi manusia pun adalah penggambaran batas itu sendiri. Semua organ kita terbatas; mata, telinga, hidung, tangan, kaki, mulut. Begitupun juga otak dan hati, pemikiran dan perasaan sebagai komponen penting dari diri. Segala kegiatan yang kita lakukan sehari-hari menuntut dan tak terlepas dari peran otak. Berpikir, itu yang harus dilakukan. Meskipun entah serius atau tidak. Manusia penuh skeptis. Para pengusung kebebasan berpikir, seolah otak tidak ada batas. Bukankah pikun tanda dari dhaif itu sendiri? Dan berpikir mendalam tentang hal teologi, tidak attitude. Bukan hanya tentang apa, kenapa, kapan, di mana, dan bagaimana. Tak sesempit itu. Otak kita tak sampai. Maka dari itu, dalam pendidikan, hierarki kurikulum diterapkan. Menandakan betapa lemahnya otak kita. Betapa sempitnya pemikiran kita. Perasaan pun seperti itu, ada batasnya. Sediam-diamnya orang ada marahnya. Sesabar-sabarnya istri sinetron azab indosiar pun

Sempol

Ada cerita menarik. Ada seorang pemuda yang jajan mendekati maghrib. Selagi itu uangnya, tak apa-apa. Sholat urusan nafsi-nafsi. Sangat jarang santri hanya untuk dirinya sendiri. maka dari itu ia menjadi leveransir titipan-titipan. Udara sore begitu sejuk dalam kebut motor. Menyapa wajah dan rambut-rambut panjang tak tertutup peci dengan sempurna. Rambutnya melambai-lambai seirama angin. View pemandangan pematang sawah, pegunungan, dan kebun-kebun tebu menambah keelokan yang tak terkira. Jangan lupakan harum-harum durian lokal dari mobil-mobil losbak. Motor berantai kretek-kretek itu berhenti   di kedai dari beberapa kedai yang tentunya menggugah selera. Tapi, ia malah memilih sempol dan gorengan. Sempol 20 rb, gorengan 15 rb. Setelah selesai, ia dan temannya beranjak pulang. Ia nyetir. Di tengah perjalanan dan angin sepoi-sepoi, temannya bertanya, ‘nanti malam, Fathul Muin, ya?’ namun tak kunjung dijawab. Tak ada respon. Diulangi pertanyaan itu, tetap tak ada jawaban. Si Teman meman

Oon

Di hari yang cerah, Joni murung. Di umurnya yang ke-20 tahun semua berjalan seperti biasa. Tak ada yang aneh dengan hidupnya. Masih sama dan tetap sama. Ia menguap dan tertidur. Seperti itu keseharian lelaki yang cita-citanya ingin menjadi astronot. Jika bosan, ia akan tertidur. Biasanya bisa sampai 3-4 jam. Itu tidur siang. Jika ditambah tidur malam yang 7 jam, ia bisa tidur 10 jam dalam sehari. Suatu hari, ia menyempatkan berpikir. Sehari semalam ada 24 jam, dikurang jam tidurnya 10 jam, hasilnya 14 jam. 14 jam dikali 1 bulan (14X30 hari=420 jam). 420 jam dikali 1 tahun (420X12 bulan=5040 jam). 5040 jam dikali umurnya yang sudah 20 tahun (5040X20 tahun=100.800 jam). Jika 100.800 jam dijadikan tahun, maka menjadi 11 tahun 6 bulan. Berarti umurnya yang 20 tahun yang benar-benar dipakai hidup, dipakai melek, dan dipakai sadar hanya 11 tahun 6 bulan. Dan 8 tahun 6 bulannya? Ia habiskan dengan bermimpi panjang ditemani bantal guling. Macam-macam mimpi dan sia-sia. Ia termenung meratapi

Ngak Ngik Ngok

Hidup di tanah heterogen, perbedaan begitu lekat di sudut demi sudut kehidupan. Banyak macamnya orang, otak dihantam bertubi-tubi dengan watak yang pro kontra. Cocok-cocokkan. Yang nggak cocok? Itu urusannya masing-masing bagaimana penyelesaiannya. Jadi nggak heran kalau nemu orang pendek sumbu, tanda pendek akal. Marah sana-sini. Ngeruwet sana-sini. Hidupnya ngerecok. Makin aneh aja. Zaman udah Ngak Ngik Ngok. Ngak, dangak. Dari dulu yang namanya dangak, sombong, menjadi komoditas. Apalagi di zaman berkemajuan ini. Gaya hidup tinggi. Gengsi menggengsi. Terus, sombong menyombong diri. Apa-apa kudu estetik. Padahal abstrak termasuk dari seni itu sendiri. Emang nggak tau siapa dedengkot sombong? Iya, sombong adalah sifat tercela yang pertama kali dilakukan makhluk dan iblislah pelakunya. Qala fakhruj minha fainnaka rojiim . Terlaknat dah. Ngik, tengik. Orang-orang kaya gini nih yang ngeri! Di depan manis di belakang pahit. Awalnya manis akhirnya nyelekit. Yah! Orang jelmaan dewa wisn

Terlalu Ber’hati’

Seperti yang sudah-sudah sebelumnya, hati memiliki andil yang invloed. Tetapi jangan berlebihan. Segala yang berlebihan itu tidak baik . Innahu la yuhibbul musrifin . Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Tak mengecualikan akan pertemanan. Orang-orang yang terlalu ber’hati’ dalam pertemanan, tak baik juga. Akan ada 2 kemungkinan; baperan dan terlilit perasaan. Bagi mereka yang baperan, apa-apa disikapi pakai hati. Sulit membedakan mana serius, mana bercanda. Nggak asik. Yang satunya, terlalu ber’hati’, akan sulit sendiri dengan lilit perasaannya sendiri pula. Orang-orang seperti ini terlalu menggunakan hatinya, perasaannya yang terlalu mendalam. Masa tiba-tiba jadi aneh. Tiba-tiba penuh neiging. Tiba-tiba bilang,’Aku cinta kamu!’, dan kita dipaksa untuk bilang,’Aku juga cinta kamu!’ Lah? Apa-apaan? Ini lebih lucu lagi. Ada-ada aja.

Ternyata Kita Ada Basinya

Hidup. Sebagai makhluk sosial, hubungan manusia satu dengan manusia lain dibutuhkan. Entah dengan dasar dan alasan apa, mau tidak mau ikatan antar sesama harus dijalin. Mungkin itu kenapa diciptakannya lisan, telinga, juga akal. Sejak kecil kita sudah dikenalkan akan ikatan. Bertingkat dan berkembang. Berhierarki. Mulai ikatan dengan seorang Ibu, keluarga, orang se-desa, orang sekolah; SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi dengan ditunjang organisasi-oranisasi yang menuntut berkembang, ikat-mengikat. Tidak mengecualikan Pondok Pesantren dengan segala kemajemukannya. Teman adalah salah satu ikatan yang dominan. Dan di sinilah masalahnya. Benar, Tuhan menciptakan kita yang berbeda-beda, tak lain hanya untuk Lita’arofu . Saling kenal mengenal. Aku bertemu denganmu untuk kata kita dan mengenal. Teman hadir dan dipertemukan oleh ruang lingkup pendidikan. Kita banyak mengenal orang karena pendidikan, karena sekolah. Meskipun, entah dengan berpikir. Kenal teman semeja, lalu sebaris, lalu sekelas