Ternyata Kita Ada Basinya
Hidup. Sebagai makhluk sosial, hubungan manusia satu dengan manusia lain dibutuhkan. Entah dengan dasar dan alasan apa, mau tidak mau ikatan antar sesama harus dijalin. Mungkin itu kenapa diciptakannya lisan, telinga, juga akal.
Sejak kecil kita udah dikenalkan akan ikatan. Bertingkat dan berkembang.
Berhierarki. Mulai ikatan dengan seorang ibu, keluarga, orang se-desa, orang satu
sekolah: SD, SMP, SMA, perguruan tinggi dengan ditunjang organisasi-oranisasi
yang menuntut berkembang, ikat-mengikat. Tidak mengecualikan pondok pesantren
dengan segala kemajemukannya. Teman adalah salah satu ikatan yang dominan. Dan
di sinilah masalahnya.
Benar, Tuhan menciptakan kita yang berbeda-beda, nggak lain hanya untuk lita’arofu.
Saling kenal mengenal. Aku bertemu denganmu untuk kata kita dan mengenal. Teman
hadir dan dipertemukan oleh ruang lingkup pendidikan. Kita banyak mengenal
orang karena pendidikan, karena sekolah. Meskipun, entah dengan berpikir. Kenal
teman semeja, lalu sebaris, lalu sekelas, seangkatan, dan sesekolah. Begitu
dari TK.
Ternyata selama ini kita hanya termanipulasi akan ‘kita dan teman’. Ada
basinya. Hanya karena dipertemukan oleh formalitas, pertemanan pun ikut-ikut
formalitas. Sedangkan kata kita larut di sana. Mungkin alurnya, asing, kenal,
akrab, lulus, asing lagi. Sibuk dan menyibuk di dunia barunya. Masing-masing.
Berputar aja. Itu nyata. Kita hanya lalu di masa lalu. Berlalu. Udah. Hilang
aja. Mentok-mentok cuma tukar WA, IG, FB, dan seterusnya hanya jadi penonton story.
Setelah mencoba berpikir serius tentang ini, hanya bual teori yang didapat.
Mungkin gini: orang-orang seperti itu, orang-orang membasi, mereka adalah
orang-orang yang berteman nggak sampai ke hati. Hanya sekedar di mata, telinga,
lisan. Jika masih terlihat di matanya, ya masih teman. Jika masih terdengar di
telinganya, ya masih teman. Jika masih terucap di lisannya, ya masih teman. Lalu,
sampai pada di suatu titik yang mata nggak melihatnya lagi, telinga nggak
mendengarnya, juga lisan yang nggak mengucapnya lagi? Ya, udah. Hilang. Pikiran
pun juga nanti pastinya akan bergeser bertumpuk dengan pikiran baru. Udah bukan
teman. Hati nggak terlibatkan.
Mau cari sosok teman di mana? Mata udah nggak melihat, di telinga, lisan,
hati, pikiran. Nggak ada. Karena memang udah nggak ketemu. Lulus.
Masing-masing. Berarti kata kita hilang begitu aja?
Kita itu nggak terbentuk dari individualis. Aku, kamu, dia. Kita. Meski
satu dua orang telah menggunakan hati, tetap aja ada sisi yang mati. Haha.
Selucu itu. Ternyata kita bisa basi.
Ada basinya.
Komentar
Posting Komentar