Postingan

Genus

Di ruang keluarga, sebuah keluarga yang sangat keluarga sekali: waktu luang atau mungkin meluangkan waktu. “ Harusnya gimana?” Tanya Gendis, anakku. “Tentu ayah dan ibu berharap yang terbaik untukmu.” Sebelumnya, ini bukan rapat intern atau sidang penghakiman keluarga. Ini hanya sekedar kumpul hangat biasa. Hanya, ini sedang masuk fase pembahasan asmaranya Gendis: haha. Seperti biasa, istriku tak banyak bicara, meski sepenuhnya menyimak dan bisa diandalkan ketika sedang dimintai pendapat. “ Tapi, kalau bisa, pasanganmu itu, nanti, dari family dinosaurus, meski entah apa genusnya. Jangan yang satu family, apalagi family bunga, apalagi harus sedetail genus melati seperti ibumu.” Lanjutku, lagi. Istriku mengerjap, meski sepenuhnya tenang. G e ndis yang malah gusar tanda tak nyaman atau mungkin ada yang mengganjal jernih pikirnya: menggelitik critical thinking -nya . “Aku tau ayah, dunia ini luas. Aku pun menyayangkan pengetahuan dan pengalaman, meskipun yang namanya cinta ta

Menantu

Jika hal itu terjadi, jauh, di tahun-tahun panjang kemudian. “Kenapa?” Tanya anak perempuanku. “Ah, nggak deh. Ayah kamu yang dinosaurus itu, kan?” Dih, lemah?! Lelaki yang lemah mental, auto coret calon menantu. Haha. Nggak peduli, ini peraturan pertama kepala suku! “Lagi pula, kenapa kamu tak memandang profil penulisku, anak muda?”

Tower

Aslinya gua bingung, kenapa ahlu bait atau habib, di sini malah dipanggil dengan sebutan ‘ yik ’. B egitu juga di sana yang malah disebut ‘ wan ’ . Bukan soal panggilan hormat itu atau juga tentang segala isu huru-hara yang sedang ramai dekade ini, gua senang aja bisa mengenal dan dikenal oleh dzuriyyah Rasulullah Saw: allhumma sholli wa salim wa barik alaih! “Bentar dulu, Bat. Lu mau ke mana?” Jika kalimat itu udah terdengar dan terlontar oleh sosok itu, gua bisa menebak: nggak kaget. Siapa sangka, sebuah anugerah menjadi santri dalam satu rumpun dan kultur yang sama itu membuat gua bisa memanggilnya ‘bang’ tanda hormat ad i k kelas pada kakak kelasnya, dan ia pun rela-rela aja. Padahal siapa yang nggak merinding mendengar nama Habib Luthfi bin Yahya? “Mau beli nasi, Bang.” Malam itu, nggak biasanya, lalaran mingguan yang menekan tenggorokan nyatanya pun ikut menekan perut. “Ikut gua dulu, yuk!” Tatapan itu, senyum itu: ah! “Panggilin Bang Sofyan?” Tembak gua. Ia ters

Air

Suatu hari di dunia teguk, hiduplah bermacam minuman. Bukan tanpa alasan dan harus pilah memilih mana yang untuk siapa, kebebasan berekspresi digalang melanglang. Ia, air mineral. Hidup sewajarnya dan sederhana, air mineral nggak muluk-muluk soal hidup. Ia tetap polos dan jernih. Tapi, dengan itu, bukan berarti ia tanpa sosial. Ia tetap berteman baik dengan minuman lainnya. Teh manis atau tawar, kopi pahit atau susu, mereka saling mengisi dan berbagi satu sama lain. ”Kamu meragukan?” Nyatanya ia tetap berwarna larut selaras dengan sirup, juga dengan serbuk sachet lainnya: menandakan pembuktian interaksi sosialnya. Hingga pun, ia sama sekali nggak bereaksi dengan segala perputaran zaman dan hiruk-pikuknya. Semua bersolek, berusaha atau malah memaksa: Earl Grey Tea with 2 Toppings, Strawberry Sundae, Iced Coffee Macadamia Float, Lovlychee Float, Thai Milk Tea, Caramel Macchiato, Espresso Con Panna, atau nama keren lainnya. Ia tetap ia, air mineral yang polos dan jernih. **

Masa

Saat ini, cukup senang atau mungkin antusias dengan kenyataan yang berlaku, terhimpit di antara masa lalu dan masa datang: meski dalam koridor pertemanan yang hangat. Masa lalu. Sebulan terakhir, teman gua haji! Iya, haji. Mengesampingkan segala huru-haranya butuh berpuluh tahun dan menjulang anggaran untuk bisa menunaikan ibadah ke tanah suci itu, nyatanya Pandu, adalah nama yang sulit dimengerti dan diterima akal sehat. Secara memang, dalam circle kami, ia adalah pemuncak tahta tertinggi dalam soal kategori orang terkonyol seantero! Kabar itu tentu mengguncang damai dan permai pondok ini. Dengan begitu, tentu juga, tetap kami do’akan yang terbaik. “Du, gua nitip do’a!” “Nitip kurma!” “Nitip nama di story background ka’bah!” “Nitip hajar aswad!” Mungkin yang tarakhir rada berlebihan. Tapi, riuh itu: sangat riuh. Bahkan sampai sebulan lebih, sampai ia datang kembali ke pondok. Riuh itu tetap. Pembahasan yang dituntut tentu adalah cerita bagaimana ketika di sana. “Ka

Gelas

Mungkin gua mencoba memahami kejadian ini, berusaha berpikir dan menerkanya dalam tulisan: menulis. Semenjak acara kamar dengan 1000 tusuk sate itu, gua jadi teringat, dan ingin kembali dekat dengan sosok orang yang udah lama nggak dekat: Kang Alwi Ardani. Secara saat masih satu kamar, Kang Alwi adalah orang yang cukup spesial dan berharga dalam perkembangan gua saat ini. Orang yang berperan atas gua yang memilih jalan ini. Di saat orang memasang wajah hitam gelap, Kang Alwi malah memasang wajah putih terang yang bahkan memutihkan terang wajah gua. Cukup disingkir dan tersingkir saat memilih menjadi minoritas dari khalayak, membelot jalur dari jalan utama dan inti. Hidup di sebuah kamar cendekiawan kitab, dengan berbagai forum dan eksistensi, gua malah membuka novel di saat yang sama khalayak sibuk membuka kitab. Warna putih kertas bacaan gua di atas kuning bacaan mayoritas. Bukannya anti kitab kuning dan ngaji. Kegiatan ya tetap kegiatan, forum ya tetap forum. Hanya aja, cem

Kamus

“Jika kamu tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka kamu harus menanggung perihnya kebodohan!” Pernah mendengar kalimat di atas? Sebuah kalimat yang diucapkan oleh Imam Syafi’I itu serasa selaras dan mendukung sebaris kalimat yang gua temu di catatan lama: “Tidak ada kata tenang dalam kamus kebodohan!” Nggak mau berpanjang kata, cukup tersadarkan dari suatu hal yang gua ambil pelajaran: tentu, dari kalimat itu. ** Di suatu halaqah, di waktu subuh, di Madrasah Qiro’atil Qur’an. Terlihat beberapa orang anak yang terhimpun dalam sebuah lokal di serambi mushola, dengan kemeja yang berbeda, peci putih itu serupa. Kelas itu, kategori bil ghaib : kelas penghafal, bukan pembaca. Tidur meleknya, melalar nggaknya, nggak menjadi jaminan untuk dingin subuh yang gemulai menyapa kantung-kantung mata yang telah melek sejak dini hari. Hingga, ketekunan dan keyakinan itu dibuktikan dengan datangnya Sang Assatidz. Duduk di atas sorban yang digelar. Mengucap salam. Absen. Bers