Bocah Ledok

Lihat deh, anak bocah itu! Iya, mereka yang sedang main kelomang yang mereka beli selepas pulang dari sekolah itu. Seribuan satu, yang gede 2 ribu. Lihat tawa-tawa mereka. Tawa-tawa yang mudah menular bagi siapapun yang melihat. Kelomang itu pun pasrah, diletakkan di rumah-rumahannya, disuruh naik prosotan, dipaksa mengikuti alur skenario mereka. Entah bagaimana dengan perasaan Si Kelomang; berusaha lari sejauh mungkin, tetap saja diambil dan ditarik kembali. Bahkan, berusaha menguncup pun, bersembunyi di cangkang, tetap saja di’haah’..’haah’ lagi. Bau mulut mereka memaksa Si Kelomang keluar. Sesak. Mereka kembali tertawa.

Sampai pada salah satu kelomang dari ketiga bocah itu ada yang konslet. Nggak keluar-keluar. Di’haah’..’haah’in nggak mempan. Meski tetap ada sedikit gerak dari Si Kelomang. Lalu, Si Teman satu ada yang berinisiatif membantu dan ‘haah...’haah’-nya pun dikeluarin penuh andalan, ‘lihat, nih!’ percaya diri. Eh bukannya keluar, malahan tetap aja. Kali ini tanpa gerak. Ia marah kelomangnya dikira mati. Sampai banting-bantingan kelomang serumah-rumahnya, terus nangis. Teman satunya yang tak tau menau, pulang bodo amat. Nggak lama, 2 emaknya bocah itu datang ikut-ikutan berantem. Belain anaknya. Meski nggak lama tuh bocah baikan lagi, tetap aja emaknya masih membara. Di tukang sayur ge pada jarak-jarakan. Mau ngambil ikan kembung juga ego-egoan. Haha. Gara-gara siapa coba? Emang anaknya aja itu.

Dengan semua itu, kita kadang-kadang memuja-muja masa kecil kita dulu. Seolah kita orang paling senang. Sampai ada yang nyesel dan pengen balik lagi ke masa itu. Padahal ia nggak ingat, dulu pernah bilang, ‘pengen cepet gede biar bisa gini-gini gitu-gitu’. Yah. Laita syababa yaudu yauman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar