Dompet

Kala itu, menjadi sebuah pembelajaran: bahwa seenggaknya kita, harus sadar.

Buku itu menjadi titik awal yang penting, sebuah usaha untuk mencoba memeluk diri sendiri. Entah kenapa, dari sekian pembahasan hebat, penjelasan itu terasa begitu mengena, membekas dan menyisakan renung.

Dari sebuah buku yang berjudul, “Jatuh Cinta Kepada-Nya”, Dr. Fahruddin Faiz tampak terampil saat menyajikan pemikiran yang benar-benar membuat berpikir, pemahaman yang benar-benar membuat paham.

Sebuah konsep luar biasa dari  Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang menjadikan cinta sebagai jalan nafas hidupnya, perihal suatu hal yang dinamakan ’ridha’.

Ada  kutipan menarik yang coba gua jelaskan pribadi, bahwa “Tidak masalah jika kita berdo’a agar Allah ridha kepada kita. Di sisi lain, padahal Allah sangat sayang kepada hambanya, sudah jelas Dia ridha. Tapi pernahkah kita sesekali berpikir, bukan berdo’a menuntut agar Allah bisa ridha kepada  kita, tapi kitalah yang bisa ridha kepada Allah; dengan semua ketetapannya?”

Dengan itu, cerita ini gua mulai!

Sontak saja tepat di hari terakhir bulan Ramadhan, dari hal-hal sedih tentang Ramadhan, gua lama menganut kutipan di atas dan baru mencurahkannya di media sosial; meski sebatas instastory.

Sebuah foto dengan caption sederhana itu berhasil terupload, di antara story sedih muwadda muwadda ya Ramadhan

Upload pagi, sampai siang tetap nyaman tentram saja; untuk hidup yang berjalan semestinya, juga beberapa love untuk menanggapi instastory tersebut tentunya. 

Hingga, tepat di hari yang menuju sore, sedari rihlah undangan bos besar Blitar, tiba-tiba saja.

“Bat, ikut aku yuk ke Bandar, kita masang tv.”

Nggak ada alasan yang memberatkan untuk gua menolak, selain “Lama nggak, Kang? Soalnya gua mau ke Blitar.”

Karena memang, gua udah janjian untuk datang.

Akhirnya gua ikut untuk ’memasang tv’, membawa beberapa kabel panjang, menahan ngantuk di perjalanan, dan mulai bantu-bentu di sana. 

Sesekali membuka kolom chat, memastikan kabar dari bos besar. Apa boleh buat, ternyata di Blitar hujan deras. Kabar dan penghalang baru, sekaligus. Membuat nggak memungkinkannya gua untuk datang. Ditambah, di luar dugaan, project ’masang tv’ ini ternyata nggak sesederhana yang dibayangkan, untuk sebuah acara yang membutuhkan banyak orang, dengan tingkat kerumitannya tersendiri.

Lengkap sudah, nggak ada harapan.

Gua harus tetap kerja, dengan mengantuk yang semakin memuncak: menuntut hak dari terjaga sepanjang malam, pagi, siang, hingga detik sore itu.

Di jam 16.00 WIB, semua bisa dikatakan selesai.

Gua bisa kembali ke pondok, mandi, sholat ashar.

Selepas sholat, karena hari itu nggak masak, bukannya tidur, gua malah teringat akan perut yang juga belum terpenuhi haknya sedari pagi. Dengan itu, niat hati untuk ikut si Lai untuk keluar mencari makan, untuk menu berbuka puasa.

“Lai, tungguin bentar, gua ambil duit dulu!” Ucap gua tergesa, melihat Lai yang tiba-tiba segera beranjak mengeluarkan motor. 

Semenit, dua menit, tiga menit, dan bermenit-menit hingga setengah jam: untuk ’sebentar’, gua ’terpaksa’ berbohong.

“Dompet gua mana, ya?”

“Kok nggak ada?”

“Perasaan gua taruh di sini?!”

“Uangnya di situ semua lagi?!”

Tiba-tiba saja, dompet gemas stylish minimalis itu raib, entah ke mana.

Hal yang membuat gua panik, selain nasib makan gua dipertaruhkan karena semua uang gua di dompet itu, hal lain: ini nasib jangka panjang dan lebih parah, kartu atm gua juga ada di sana!

Si Lai gua suruh berangkat pergi duluan dengan maaf. Sisanya, gua obrak-abrik seluruh tempat, mencari benda itu: lemari, tumpukan pakaian, rak kitab, sela-sela buku, kantong-kantong baju, hingga hal-hal yang penuh kemungkinan.

Meski sudah porak-porandanya sudut tempat, tetap saja, dompet itu nggak ketemu!

Hal yang sedari panik, berubah menjadi kesal.

Di sisi lain, saat mencoba menetralisir semrawut pikiran, notif itu memberi kabar bahwa kekasih ngambek, lalu mengubah nama panggilan, dan unfoll.

Menjadi-jadi sudah!

Gua menepi, nggak berniat membakar siapapun dengan api diri ini.

Semua rasa capek, bosan, ngantuk, lapar, kesal, pusing, gua lampiaskan pada tidur. Biarlah semua beban ini dilahap lelap.

Tepat di detik menuju lelap yang sebenarnya, di antara tumpuk bantal kusam, gua teringat dengan konsep Rabi’ah tentang ridha itu. Seakan tertampar, bahwa gua yang membaca buku itu berulang kali, memahaminya, juga share celoteh ke orang banyak lewat instastory: kenapa di kehidupan nyata nggak diterapkan?

“Dengan ini, saya benar-benar ridha ya Allah dengan semua ketetapanmu. Kalau emang harus hilang tuh dompet, saya ridha. Meski benar-benar udah nggak megang uang sama sekali, meski harus mengurus kehilangan kartu atm yang ribet itu, meski harus menerima omelan jika saja orang rumah tau. Kalau itu ketetapanmu, saya benar-benar ridha.”

Hingga, gua benar-benar tertidur

Lalu maghrib, isya, takbiran.

Tambah-tambah sedih diri ini yang sesekali disapa bayang hangat rumah dan nasib awal bulan kiriman uang saku orang rumah: rumitnya mengurus kehilangan kartu atm, malas.

Dompet dan seisinya, belum saja ketemu.

Kekasih juga, tampaknya masih ngambek.

Belum juga makan, tertinggal rombongan sebab tidur.

Seenggaknya, masalah ini berkurang satu: ngantuk gua hilang. Capek, kesal, dan pusing juga, lumayan hilang sebab tidur. Menyisakan bosan dan lapar. 

Menepi sejenak dari nasib hilangnya dompet dan ngambeknya kekasih, gua berusaha selesaikan sedikit demi sedikit, perlahan. Bosan itu, mungkin nggak masalah untuk sesekali membaur dengan mereka, untuk main ps.

Sebagai lelaki aneh yang minim interaksi dengan game selayaknya lelaki keumuman, untuk ps, gua punya nasib yang cukup baik dengan tertolong masa kecil yang membahagiakan.

Nggak terlalu buruk-buruk amat untuk by one sparing dengan mereka. Nyatanya, siapapun lawannya, jarang sekali gua kalah, malah seringnya mode bantai-bantai. Apa-apaan, bisa-bisanya Barcelona dibantai 3-0 di laga el classico. Harga diri? Malu-maluin! Haha.

“Eh, ini cuma mainan doang ya, Zal?! Gara-gara ini, nanti lu kesal sama gua.”

Rizal yang decul abis, hanya tersenyum lemas.

“Iya, Bang. Aman.”

Asal lu mau tau aja, Zal. Aslinya bisa gua nambah sampai 7-0, belum lagi ditambah peluang-peluang yang meleset, mungkin bisa sampai 11-0. Tapi gimana ya, gua nggak tega gitu lihat muka lu! Haha.

Saat main ps, memang hanya tentang seru. Selepas selasai, seru itu selesai. Pikiran-pikiran itu kembali datang lagi. Dompet yang hilang, kekasih yang ngambek, lapar.  

Perihal dompet, ingat sekali gua, bahwa kemarin, emang sih tuh dompet gua bawa ke Wates yang jauh dan plosok itu. Tapi kan sepulangnya dari sana, masih tetap ada interaksi saat di warung madura untuk beli beras, yang nggak jauh dari pondok. Dompet itu masih ada. Dan baru kepikiran hilang di keesokan harinya. 

Satu hal yang menjadi kemungkinan terbesar adalah, dompet itu terjatuh di jalan.

“Siapa tau di kamar atas, Bang. Kan lu kemarin ke sana?!” Ucap Lai.

Benar juga?!

Siapa tau ada di sana.

Tanpa pikir panjang, gua langsung naik ke kamar atas, mencoba memastikan.

Dan....

Whahaha, ketemuuu!

Ya ampun.

Badan gua lemas seketika. 

Syukur, barang tentu.

Alhamdulillah.

Lalu, untuk kekasih yang ngambek, coba gua selesaikan baik-baik, ngomong baik-baik, telpon. Nyatanya hanya ada sedikit kesalahpahaman. Nggak seperti apa yang ada di pikiran, yang seolah mendramatisasi dan meromantisasi, membuat dilematis dan problematis. Kami tetap baik, kembali follow, tetap duba-duba dan squidward yang katanya nyebelin.

Juga untuk lapar, gua nggak jadi hattrick untuk makan mie berturut-turut. Rekor mie kuah double ekstra bumbu ulek, sayur, dan combo telur itu terputus oleh seporsi sate ayam 10 tusuk dan sepiring nasi putih hangat. Dan luar biasanya lagi, tengah malam itu tetap bisa ditemukan es jeruk dan racikan yang nggak mengecewakan!

Kenapa harus kembali makan mie, kan dompetnya udah ketemu?!

Bahagianya.

Di lain hal, gua berpikir, saat tiba di suatu titik yang menurut kita terendah, seolah kiamat, nggak ada satu hal yang terselamat, hidup seakan tamat. Nyatanya, itu hanya persepsi kita sebagai manusia. Sedangkan mudah saja bagi Allah mengurus semua ini, menyelesaikannya, mencerabut sampai akar dan membantai semuanya. Habis, nggak tersisa.

Masalah ini bisa selesai, tepat di durasi yang belum sampai satu hari satu malam: sebegitu mudahnya bagi Allah.

Intinya apa?

Ridha.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong