Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Baik

Suatu hari, kepikiran aja: “Kok hidup ini indah juga, ya!” , “Kok orang-orang pada baik banget!” Kepikiran, kepikiran, kepikiran, sampai mikir beneran: “Sebenarnya orang-orang pada baik ke gua, apa karena gua yang baik hingga dibalas baik atau memang saja ia orang baik yang sedang melakukan hal baik?” Sudah barang tentu, kitalah yang paling tau tentang kita. Meskipun belum sepenuhnya memahami diri secara utuh. Seenggaknya, kitalah yang membersamai kita sejak lahir sampai kini. Seenggaknya kita udah cukup pede untuk mengakui ‘kenal’. Kalau lu jadi gua, apa jalan keluar pikirannya? Apa yang lu lakuin? Gua serius tanya. “Apa gua pantas untuk mendapatkan perilaku baik ini?” Itu pertanyaan terakhir, yang keluar. Pikir   gua, cuma ada satu cara untuk menjawab pertanyaan itu: ya jadi orang baik, apalagi?! Kalau mau tau, pantas atau nggaknya kita untuk mendapatkan perilaku baik, ya jadilah orang baik. Jadilah orang yang berperilaku baik. Perluaskan peluang kemungkinan itu d...

Evaluasi

Dalam masa pembelajaran kita pada hidup, ada satu hal yang menjadi koreksi: kita nggak boleh salah. Bagai bangkai yang menjijikkan, kita dilarang untuk salah, sampai takut. Hingga menimbulkan persepsi, bahwa salah adalah kalah. Sedari kecil, pada bersikap atau sekedar mengerjakan tugas sekolah, penuntutan akan benar begitu terasa. Bukan maksud hati untuk tetap salah dan nggak boleh benar. Bukan seperti itu. Tapi nyatanya, ujung dari ini, akan mengarahkan pada ekspetasi kesempurnaan. Manusia yang sempurna, adalah manusia yang tidak manusiawi. Manusia adalah salah dan lupa yang tentu. Itu kenapa, saat mereka menghadapi salah dengan ketakutan; bukan kebenaran, tapi malah pembenaran. Teruslah hidup! Jangan takut salah dan jadilah beda! Pondasi sukses dari salah itu lebih kuat, dan beda adalah harga mati dari sebuah jati diri. Itu kenapa, nasihat perjalanan itu kembali terngiang di antara deru mesin, knalpot dan klakson, juga orang-orang pemburu waktu. Katanya, “Kalau ka...

Absurd

Hidup ini, menurut Martin Heidegger, serba faktisitas. Itu mengapa, manusianya mulai menjadi act of elusion dari peradaban yang mereka ciptakan sendiri. Bukankah sejatinya hidup ini memang aneh? Atau malah terkesan absurd? Banyak hal yang tidak kita pahami. Banyak pertanyaan yang entah apa jawabannya, bagaimana menjawabnya. Menurut Camus, absurd adalah konfrontasi antara dunia yang irasional dengan kerinduan yang hebat kepada kejelasan yang panggilannya menggema di kedalaman hati manusia. Itu kenapa teori tidak selalu sesuai dengan realita. Itu kenapa ekspetasi sering patah. Freedom is nothing but a chance to be better . Kebebasan tidak lain hanyalah kesempatan untuk menjadi lebih baik. Manusia bisa menjadi apapun yang mereka inginkan. Itu kenapa cita-cita terlahir. Termasuk baik dan buruk, itu adalah pilihan. Manusia diberi kebebasan untuk itu. Tetapi Xunzi bilang: Human nature is evil, and a goodness is caused by intentional activity . Manusia hakikatnya jahat, kebaika...

Cari

Apa yang sebenarnya kita cari dalam kehidupan? Rasa-rasanya, baik secara esensial maupun eksistensial, tidak ada manusia yang tidak menginginkan kebahagiaan. Meskipun begitu, memahami dan menemukan hakikat kebahagiaan tidaklah mudah. Kebahagiaan selalu diliputi pertanyaan. Ada yang menganggap kebahagiaan lebih berhubungan dengan tercapainya keinginan, ada pula yang melihatnya lebih sebagai keadaan pikiran atau emosional. Ada yang berpendapat bahwa ada standar objektif untuk kebahagiaan, seperti kesehatan fisik dan keamanan finansial, ada pula yang lebih percaya bahwa kebahagiaan adalah pengalaman subjektif yang bergantung pada persepsi dan interpretasi individu. Ada yang berpendapat bahwa penderitaan adalah bagian alami dari kehidupan dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan nilai kebahagiaan, ada pula yang menuntut kita untuk mengurangi penderitaan sebanyak mungkin. Ada yang memandang kebahagiaan pribadi harus diutamakan, ada yang lebih menekankan kebahagiaan kolektif atau...

Langkah

“Apapun yang terjadi, tetaplah berusaha menjadi orang yang baik!” Hidup itu pilihan. Menjadi baik adalah pilihan. Menjadi baik adalah prinsip. Dalam prinsipnya, sebenarnya sederhana, hanya dengan menjadi baik untuk menjadi baik. Pegang apa yang menurut kita baik, pahami, terapkan, berikan, terima hasil dan terus ulang siklusnya. Sepertinya indah jika setiap orang mengusahakan baik itu. Saling memberi, saling menerima. Siapa yang menanam, ia yang akan menuai. Ia menuai apa yang ia tanam. “Apa setiap menanam pasti akan menuai, panen? Bagaimana kalau gagal panen?” Jalan pikir Tuhan tidak sesederhana itu! Seharusnya tidak ada masalah jika beragama dengan transaksional. Melakukan ini karena ingin dapat itu. Karena pahala, karena surga. Tidak apa-apa. Selama itu kebaikan. Meskipun kenyataannya “lillahi ta’ala, karena Allah ta’ala” tetap ia ucapkan di setiap akhir niat. Kata beliau, “Tidak ada kesia-siaan dalam kebaikan.” Meski memang ada beberapa faktor yang mempengaruh...

Cukup

Kebayang nggak sih, gimana rasanya jadi orang yang cinta baca buku, ke toko buku, beli buku, merawat buku, penulis buku, juga berusaha jadi penulis buku; yang sedang menyukai orang yang cinta baca buku, ke toko buku, beli buku, merawat buku, penulis buku, juga berusaha menjadi penulis buku, ditambah, menyukaimu? Anak-anak kami, nggak perlu mencintai buku. Hanya mencintai kedua orang tuanya, dirasa sudah cukup.           *Tidak semua orang memiliki jalan yang terang, tidak sedikit dari mereka yang berjalan dengan menerka dan meraba-raba: kebetulan aja yang kuraih adalah tanganmu                                   

Garis

Suatu hari, cukup lama gua membaca kalimat itu dalam renung, hening, tenang. “Jika kamu terus menerus mendo’akan sesuatu, maka ketahuilah bahwa itu hanya karena Allah telah mentakdirkan kamu untuk menginginkannya dan mendo’akannya. Dan Allah tidak pernah memaksamu untuk mengangkat tangan dan berdoa atas sesuatu yang tidak akan dikabulkan-Nya. Entah kamu akan menerima apa yang kamu minta atau kamu akan menerima sesuatu yang lebih baik dari yang kamu minta. Percayalah pada Allah dan rencana-Nya untukmu.” Allah sesayang itu: seromantis itu.

Jujur

Jatuh cinta padamu, menguras semua kata dalam tubuhku: percayalah.

Kubu

Setelah sedikit membaca perihal pemikiran Albert Camus yang membuat gua ngefans seketika itu, mungkin benar, hidup ini absurd! Ada beberapa hal, dari apa yang kita baca, dalam suatu kesempatan, pemahaman itu benar-benar hadir dan bisa diterima akal nurani sebab sebuah kejadian yang dialami. Ya, sebab sebuah kejadian yang dialami, kita bisa menentukan mana hal yang harus diyakini dan mana hal yang perlu diingkari. Sesederhana, kita yang selalu diselimuti hal-hal paradoks. Biar gua jelaskan: Setiap madin, berbeda dengan setiap orang yang menjadikan jadwal pelajaran sebagai acuan, gua membawa seluruh kitab pelajaran di setiap harinya: nggak peduli hari apa, jadwal pelajaran apa. Lalu, apa tanggapannya? Nyatanya gua dianggap rajin. Nyatanya gua yang selalu dipanggil mustahiq di setiap malam sabtu untuk dipinjam kitab pelajaran munawib yang memang malam itu nggak ada pelajarannya, untuk persiapan tamrin malam ahad. Karena gua bawa semua kitab, nggak ada kesulitan yang berarti un...

Kolam

“Kenapa kita harus terus melakukan kebaikan, meskipun tidak mungkin menjadi manusia yang sempurna? Buat apa taubat kalau nanti dosa lagi? Apa nggak sia-sia bersih-bersih kalau nanti kotor lagi?” Suatu hari, sehabis dari jeding kobok untuk nyeker seberangkatnya madrasah diniyah, gua merenungi itu. Jeding kobok, sebuah kolam yang nggak begitu besar, dengan airnya yang hampir selalu kotor. Selalu kotor karena kaki-kaki khalayak yang diceburkan di sana, berulang kali, terus menerus. Di satu sisi, keran air   itu terus menyala. Tepat di atasnya, keran air berwarna biru itu terus mengalirkan air jernih untuk kolam kotor di bawahnya. Buat apa keran itu terus mengalirkan air jernih untuk kotor kolam dengan volume yang nggak sebanding? Sedari luas besar kubik kolam itu, juga kaki-kaki yang datang bergiliran, terkesan nggak sebanding dan sia-sia: nggak akan menjadi jernih air kolam itu. Tapi nyatanya? Bisa!!! Air keran yang terus menyala, tanpa henti, tanpa menyerah tanpa hal lai...

Laila

Nggak perlu menjadi penulis untuk bisa mengenal dan jatuh cinta pada sosok Jalaluddin Rumi. Lagipula, siapa yang nggak kenal dan menolak berkenalan dengannya? Tapi bagaimanapun, bacaan selalu memiliki pesonanya tersendiri di mata penulis. Bacaan selalu menciptakan bahagia yang unik bagi penulis, membuatnya berbeda dan spesial, lebih manis dari apapun. Dengan ini, dari sisi apa kita ingin mengenal ar-Rumi? Sufi, ulama, ilmuwan, atau sastrawan? Kepribadian, perjuangan belajar, semangat berdakwah, atau karya-karyanya yang menawan? Apakah ide bagus kalau gua mengusul pembahasan cinta dari seorang Jalaluddin Rumi? Oh, beliau adalah cinta itu sendiri! Beliau, cinta yang mencinta dan dicinta. Tapi sebelumnya, hadirnya tulisan ini hanya bermaksud sarana berbagi cerita. Ya, sejujurnya gua hanya mau cerita. Ada sepotong cerita tentang Jalaluddin Rumi yang cukup menawan dalam selembar buku, begitu silau, saking menawannya. Seenggaknya, rupanya bukan suatu kesalahan jika gua me...

Sae

Mungkin agak terkesan tiba-tiba, atau malah tanpa banyak kompromi. Semua bermula dari, “Zal, gua ada info thrifting nih!” Rizal yang mula hati menghadap garapan, menimpalinya sewajarnya. “Thrifting mana, Bang?” Tepat saja pagi itu. Dengan kenyataan gua yang belum tidur semalaman suntuk, lalu subuh dan menanti pagi, dhuha, lalu beranjak menetapkan jam istirahat. Tapi di satu sisi gua nggak enak, ada hal lain yang memberatkan. “Bang, besok pagi antarin gua ke stasiun, ya?!” Yanto, sang best partner sahur, harus mudik. Gua senam kerjap mata untuk tetap melek di waktu pagi untuk menepati   janji, mengantar Yanto ke stasiun. Tepat jam sembilan pagi, laju motor berhasil mengejar jadwal pemberangkatan kereta jurusan Kediri-Brebes. Yanto bersalaman. Gua mengucapkan hati-hati sebagai pengiring. Sepulangnya dari stasiun, entah kenapa mata ini menambah watt-nya; gua pede untuk mencari tukang cukur atas rambut gua yang mulai memanjang. Atau mungkin juga sekalian survei lo...