Kita memang suka berpikir berlebihan untuk sikap orang lain. Sampai dalam. Sampai capek. Padahal kalau dipikir-pikir, hidup ini hanya tentang mencapai tujuan. Kita butuh kendaraan. Besar kecil, cepat lambat, dan nyaman nggaknya tergantung semua usaha dan do’a kita. Ya, kendaraan adalah usaha dan do’a kita itu. Kendaraan, apapun, sebut bus, pasti aka n berhenti di beberapa terminal untuk perjalanan yang jauh. Kita pasti akan bertemu banyak orang dari segala penjuru arah dengan berbagai tujuan yang berbeda. Kita berkumpul di sana. Ada yang hanya sekedar saling senyum, sekedar sapa, sekedar kenal, atau bahkan ada yang menyempatkan singgah sejenak menemani perjalan sambil membicarakan banyak hal. Hingga, timbulah nyaman itu dan percaya. Bahkan, yang lebih nekatnya lagi, kita sampai berani-beraninya menaruh dan menggantungkan bahagia kita pada orang itu, teman seperjalanan kita. Kita nggak sadar, bahwa orang itu juga sama saja seperti kita. Hanya seorang penumpang. Dan benar, di term...
Kala itu, menjadi sebuah pembelajaran: bahwa seenggaknya kita, harus sadar. Buku itu menjadi titik awal yang penting, sebuah usaha untuk mencoba memeluk diri sendiri. Entah kenapa, dari sekian pembahasan hebat, penjelasan itu terasa begitu mengena, membekas dan menyisakan renung. Dari sebuah buku yang berjudul, “Jatuh Cinta Kepada-Nya” , Dr. Fahruddin Faiz tampak terampil saat menyajikan pemikiran yang benar-benar membuat berpikir, pemahaman yang benar-benar membuat paham. Sebuah konsep luar biasa dari Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang menjadikan cinta sebagai jalan nafas hidupnya, perihal suatu hal yang dinamakan ’ridha’. Ada kutipan menarik yang coba gua jelaskan pribadi, bahwa “Tidak masalah jika kita berdo’a agar Allah ridha kepada kita. Di sisi lain, padahal Allah sangat sayang kepada hambanya, sudah jelas Dia ridha. Tapi pernahkah kita sesekali berpikir, bukan berdo’a menuntut agar Allah bisa ridha kepada kita, tapi kitalah yang bisa ridha kepada A...
Nggak ada kata enak saat sakit. Nggak bisa apa-apa. Cuma rebahan selimutan, lihat orang-orang yang mondar-mandir dengan sibuknya masing-masing . Apapun jadi nggak berguna saat itu. Jangankan uang, sehebat apapun chef , tetap aja di lidah rasa masakan nya tetap pahit. Hanya ingin sehat. Sebelum seambruk ini, justru gua merasa tertampar waktu ngaji adabu ad-dunya wa ad-diin , ba’da jum’at yang diisi Gus Reza. Beliau bilang, “Biasanya saat sakit, orang itu jadi mudah ingat Allah. Ingat dosa. Ingat mati. Menyesali segala hal buruk yang sudah dilakukan, hal-hal yang waktu sehat kadang dilupakan.” Emang benar, hal itu gua rasakan. Kadang hikmahnya ngaji tuh kayak gini; terjawab persoalan diri. Dengan begitu, bukannya Allah butuh diingat hambanya. Allah nggak butuh itu. Hanya saja, gua anggap, Allah masih sayang dengan mengingatkan gua sebagai makhluk dan dosa-dosa yang dilakukan . Terus gua malah jadi ingat suatu keterangan di kitab Ushfuriyah karangan Syekh Muhammad bin Abu Bakar A...
Komentar
Posting Komentar