Kolam
“Kenapa kita harus terus melakukan kebaikan, meskipun tidak mungkin menjadi manusia yang sempurna? Buat apa taubat kalau nanti dosa lagi? Apa nggak sia-sia bersih-bersih kalau nanti kotor lagi?”
Suatu hari, sehabis dari jeding kobok untuk nyeker
seberangkatnya madrasah diniyah, gua merenungi itu.
Jeding kobok, sebuah kolam yang nggak begitu
besar, dengan airnya yang hampir selalu kotor. Selalu kotor karena kaki-kaki
khalayak yang diceburkan di sana, berulang kali, terus menerus.
Di satu sisi, keran air itu terus menyala. Tepat di atasnya, keran
air berwarna biru itu terus mengalirkan air jernih untuk kolam kotor di
bawahnya. Buat
apa keran itu terus mengalirkan air jernih untuk kotor kolam dengan volume yang
nggak sebanding?
Sedari
luas besar kubik kolam itu, juga kaki-kaki yang datang bergiliran, terkesan
nggak sebanding dan sia-sia: nggak akan menjadi jernih air kolam itu.
Tapi nyatanya? Bisa!!!
Air keran yang terus menyala, tanpa henti,
tanpa menyerah tanpa hal lain selain ia yang mencurahkan jernih air, nyatanya
memiliki dampak. Inna ma’al usri yusro, sesungguhnya bersama kesulitan
ada kemudahan.
Setidaknya ada jeda.
Setidaknya ada kesempatan.
Jernih air keran itu bertaruh konsistensi
dengan kotor kaki-kaki itu.
Nyatanya berhasil, air keran itu memenangkan
pertaruhan dengan kotor kaki-kkai itu yang mengambil jeda di waktu malam sampai
subuh.
Apa yang bisa diambil sebagai pelajaran?
Menarik, kalau mau bahas sia-sia atau nggak,
sia-sia berusaha bersih kalau nanti kotor lagi. Kalian, kita mandi, buat apa
pakai sabun sikat gigi kalau nanti kotor lagi? Masak capek-capek makan
kenyang-kenyang, buat apa kalau nanti bakal lapar lagi?! Kasih effort
dan perhatian, buat apa kalau belum tentu jodoh?!!
Hei, broo!
Tugas kita usaha! Yang penting kita udah
usaha!
Tentu berusaha untuk mendekati hal baik dan
menjauhi hal buruk: come on!
Komentar
Posting Komentar