Laila

Nggak perlu menjadi penulis untuk bisa mengenal dan jatuh cinta pada sosok Jalaluddin Rumi.

Lagipula, siapa yang nggak kenal dan menolak berkenalan dengannya?

Tapi bagaimanapun, bacaan selalu memiliki pesonanya tersendiri di mata penulis. Bacaan selalu menciptakan bahagia yang unik bagi penulis, membuatnya berbeda dan spesial, lebih manis dari apapun.

Dengan ini, dari sisi apa kita ingin mengenal ar-Rumi?

Sufi, ulama, ilmuwan, atau sastrawan?

Kepribadian, perjuangan belajar, semangat berdakwah, atau karya-karyanya yang menawan?

Apakah ide bagus kalau gua mengusul pembahasan cinta dari seorang Jalaluddin Rumi?

Oh, beliau adalah cinta itu sendiri!

Beliau, cinta yang mencinta dan dicinta.

Tapi sebelumnya, hadirnya tulisan ini hanya bermaksud sarana berbagi cerita. Ya, sejujurnya gua hanya mau cerita. Ada sepotong cerita tentang Jalaluddin Rumi yang cukup menawan dalam selembar buku, begitu silau, saking menawannya.

Seenggaknya, rupanya bukan suatu kesalahan jika gua mengawalinya dengan sedikit materi. Dirasa ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, usaha memperluas wawasan meski barang sedikit. Bukan maksud menggurui: tetap kita usahakan belajar bersama itu.

Sepertinya, pembahasan tentang cinta selalu buntu pada sebuah pertanyaan, “Apa itu cinta?”

Definisi, cinta selalu dituntut akan hal itu.

Cinta adalah soal perasaan. Itu kenapa cinta bisa dipahami perihal rasa. Dan inilah masalahnya, bagaimana kita mendefinisikan sebuah rasa?

Sebut saja rasa manis, asin, asam, pahit; bagaimana menjelaskannya?

Mungkin bisa-bisa saja ada satu dua argumen definisi yang terucap. Tapi bukanlah lebih efisien jika ‘rasa’ itu kita alami, kita rasakan?

Coba manis, asin, asam, pahit itu!

Rasakan dengan seksama. Pemahaman akan dengan sendirinya datang setelah itu.

Begitu pula soal cinta: jangan banyak tanya ini itu, jatuh cintalah!

Mencintailah!

Maka kita akan tau bagaimana rasanya cinta, apa itu cinta.

Itu rumus dari Jalaluddin Rumi.

Dengan itu, beliau menulis syair:

Seseorang bertanya, “Apa itu cinta?”

Aku jawab, “Jangan tanya tentang maknanya.”

Kalau engkau sudah menjadi seperti aku,

Kau akan tahu.

Saat cinta memanggilmu,

Kau akan berkisah tentang itu.

 

 

Ya, dirasa itu sudah cukup.

Sekarang kita beralih ke cerita, bercerita.

Sebelumnya, apa jadinya jika Jalaluddin Rumi bersinggungan dengan kisah dahsyat Laila-Majnun? Apa pandangan beliau? Sikap apa yang diambil?

Haha.

Sejujurnya, gua pun penasaran. Sangat amat menantikan. Dirasa kita pun nggak perlu membahas jauh tentang kisah hebat buah karya Nizhami itu. Tapi nyatanya, Jalaluddin Rumi punya karya soal itu!

Dengan ini, Pak Fahruddin Faiz mampu bercerita lebih baik.

Waktu dan tempat dipersilahkan:

Dalam sebuah cerita terkenal dari Matsnawi, terdapat sebuah dialog menarik antara Khalifah dan Laila. Ketika Khalifah bertemu Laila, dia merasa terkejut. Laila, menurut Khalifah, tampak biasa saja dan tidak memiliki kecantikan yang luar biasa dibandingkan wanita-wanita lain. Khalifah bertanya kepada Laila, “Mengapa Qais Al-Majnun bisa begitu tergila-gila padamu? Kamu tidak lebih cantik dari banyak wanita lain yang aku temui. Apa yang dia lihat dalam dirimu sehingga dia menjadi gila?”

Laila menjawab dengan bijak, “Apa yang Qais lihat dalam diriku tidak bisa kamu lihat karena kamu bukan Majnun. Hanya seorang pecinta sejati yang mampu memahami keindahan dari apa yang dicintai.”

**

Gimana?

Haha.

Selamat mencintai!

Selamat memahami cinta: mari jatuh cinta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terminal

Dompet

Termometer