Kubu

Setelah sedikit membaca perihal pemikiran Albert Camus yang membuat gua ngefans seketika itu, mungkin benar, hidup ini absurd!

Ada beberapa hal, dari apa yang kita baca, dalam suatu kesempatan, pemahaman itu benar-benar hadir dan bisa diterima akal nurani sebab sebuah kejadian yang dialami. Ya, sebab sebuah kejadian yang dialami, kita bisa menentukan mana hal yang harus diyakini dan mana hal yang perlu diingkari.

Sesederhana, kita yang selalu diselimuti hal-hal paradoks.

Biar gua jelaskan:

Setiap madin, berbeda dengan setiap orang yang menjadikan jadwal pelajaran sebagai acuan, gua membawa seluruh kitab pelajaran di setiap harinya: nggak peduli hari apa, jadwal pelajaran apa.

Lalu, apa tanggapannya?

Nyatanya gua dianggap rajin. Nyatanya gua yang selalu dipanggil mustahiq di setiap malam sabtu untuk dipinjam kitab pelajaran munawib yang memang malam itu nggak ada pelajarannya, untuk persiapan tamrin malam ahad. Karena gua bawa semua kitab, nggak ada kesulitan yang berarti untuk pengumuman batasan tamrin kitab-kitab yang nggak ada pelajarannya malam itu.

Tapi, apa iya dengan gua bercapek-capek berat membawa seluruh kitab pelajaran di setiap harinya atas dasar rajin? Gimana kalau sebenarnya gua emang malas aja, lebih rela bercapek-capek berat daripada harus melihat jadwal, menggonta-ganti kitab, dan memasukannya ke totebag? Mana yang lebih simple? Seberapa berat kitab untuk jarak tempuh kelas madin?

Sejatinya, gua emang malas. Madin tinggal ambil totebag dan berangkat, tanpa harus berkisruh di rak kitab.

Totebag gua selalu lebih besar dibanding totebag-totebag yang lain, belum lagi perihal nakal bawa buku bacaan yang tentu dilarang, juga sorban sajadah untuk mustahiq.  

Dengan itu, semua orang cukup terkejut, tentu juga soal menerka persepsi yang dimaksud. Jelas ini sebuah langkah politis dan kita dituntut untuk segeram mengambil sikap. Seperti psikotes, yang keberlangsungan hidup, adalah taruhannya.

“Pokoknya nanti malam, kantor harus dikosongkan sampai subuh!” Perintah kepala suku.

Semua orang menerka suatu kalimat yang tanpa dijelaskan maksud tujuannya.

Setiap orang memiliki kesimpulan dari upaya jalan pikirnya tersendiri.

Sedari hal yang gua pikirkan, sedari kalimat yang diperintahkan itu bermakna satire. Sedari kalimat yang seolah diperintah, sebenarnya adalah hal yang dilarang: paham?

Mungkin saat kita nakal di waktu kecil, sebut saja main hujan-hujanan, dalam marahnya, orang tua kita malah bilang, ”Bagus! Terusin! Terusin aja terusin!”

Padahal beliau marah. Apakah benar kita memang disuruh untuk tetap lanjut  main hujan-hujanan? Kan nggak! Itu hanya pancingan kesadaran, bahwa kita itu salah, atau mungkin kelewat batas.

Dengan begitu, niat hati kepala suku mengucap perintah seperti itu, ia hanya ingin tau, siapa saja dari warga sukunya yang tetap stay rela menunggu di teras atau malah keluar pergi main keluar.

Ia hanya ingin tau, tabiat dan insting alami warga sukunya. Dengan begitu, akan dapat disimpulkan baik buruknya.

Terka gua begitu.

Dan nyatanya gua memilih untuk keluar, pergi main. Pergi main, keluar. Cari suasana lain dari sumpek pondok.

Hingga, dari setiap warga suku itu benar-benar terpecah ke dalam 2 kubu: kubu yang tetap stay di pondok dan kubu yang pergi main keluar pondok.

Sudah bisa dipastikan, rapat mingguan menjadi eksekusi traumatis yang jitu!

Setelah puas membabat setiap rancangan konten, dengan kebaikan self improvement, ruang persidangan itu dibuka!

Siapa yang salah dan siapa yang benar? Tapi jangan sekali-kali mempertanyakan keadilan dari pengadilan!

Di luar expect, mereka yang baik-baik tetap stay di pondok menunggu sampai subuh menunggu masuk kamar, malah yang terkena objektivitas.

“Ketahuan sudah, siapa yang ternyata nggak punya relasi!”

Duaarrrr!

Statement ini bisa benar, bisa salah.

Tapi kepala suku, is is is, nggak akan salahhh!

Nggak mungkin.

Kasihan sekali wajah-wajah pucat itu. Udah nggak dapat riang main, malah ditetapkan tersangka, atau mungkin korban.

Ya, meskipun persidangan itu malah beralih ke seminar tentang pentingnya relasi dan networking interaksi sosial hablu minannas, tapi ya lucu aja.

Di kalangan bawah warga suku, pembahasan ini selalu menarik untuk dijadikan lelucon antar warga.

Ya, cukup terhibur.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terminal

Dompet

Termometer