Sae

Mungkin agak terkesan tiba-tiba, atau malah tanpa banyak kompromi.

Semua bermula dari, “Zal, gua ada info thrifting nih!”

Rizal yang mula hati menghadap garapan, menimpalinya sewajarnya.

“Thrifting mana, Bang?”

Tepat saja pagi itu. Dengan kenyataan gua yang belum tidur semalaman suntuk, lalu subuh dan menanti pagi, dhuha, lalu beranjak menetapkan jam istirahat. Tapi di satu sisi gua nggak enak, ada hal lain yang memberatkan.

“Bang, besok pagi antarin gua ke stasiun, ya?!”

Yanto, sang best partner sahur, harus mudik.

Gua senam kerjap mata untuk tetap melek di waktu pagi untuk menepati  janji, mengantar Yanto ke stasiun.

Tepat jam sembilan pagi, laju motor berhasil mengejar jadwal pemberangkatan kereta jurusan Kediri-Brebes.

Yanto bersalaman.

Gua mengucapkan hati-hati sebagai pengiring.

Sepulangnya dari stasiun, entah kenapa mata ini menambah watt-nya; gua pede untuk mencari tukang cukur atas rambut gua yang mulai memanjang. Atau mungkin juga sekalian survei lokasi thrift, sebelum bareng Rizal nantinya. Memang nyatanya, thrift yang gua maksud, hanya brand lokalan sekitar sini aja.

Gua survei terlebih dahulu, takut nggak nyaman dengan sisa rambut yang selesai cukur langsung dibawa survei toko.

Satu toko.

Dua toko.

Tiga toko.

Setelah mondar-mandir dari satu rak ke rak lainnya, satu model ke model lainnya, juga beberapa pertanyaan dengan pelayan, gua kira, agak cukup jauh dari ekspetasi.

Gua melampiaskan mood pada cukur rambut, kebetulan sekali baru buka: jadi nggak perlu suntuk mengantri.

“Mau diapain ini, Mas, rambutnya?”

Ewes ewes ewes, bayar, selesai.

Ngaca sedikit, ngeng!

Sesampainya di pondok, gua lemas lesu rebahan di samping Rizal yang masih berkutat dengan laptopnya yang menyala. Lalu, menceritakan hari ini, termasuk laporan hasil observasi thrifting itu.

Rizal menanggapinya dengan fokus yang nggak lepas dari tugas garapannya, ia nggak berbakat untuk mendalami peran multitasking.

Dengan melihat Rizal yang seperti itu, buruknya multitasking dan sibuknya ia, gua jadi kesal dan berusaha meluapkannya pada tugas yang teringat tiba-tiba.

Gua kemudian membuka laptop, mulai menggemertuk keyboard, merajut kata untuk kalimat utuh.

Sampai siangnya: ini sungguh prestisius, tulisan yang selesai rapih pada jam tidur gua yang kacau balau.

Dan ini:

”Ayo, Bang! Di Blitar ada event nih, gas nggak?”

Hah?

Cepat saja kesepakatan itu disetujui. Bahkan kendaraan pun mudah saja didapat. Mungkin ini jalan yang baik: semoga saja.

Tepat selepas sholat dzuhur, gua dan Rizal bersiap, helm terpasang di kepala masing-masing. Gua biarkan Rizal yang menyetir. Secara gua tau apa untuk Rizal yang orang Blitar asli? Ia akamsi!

Motor melesat di antara riuh rayap kendaraan. Gua termanggut-manggut, mulai mengantuk: ini bahaya!

Setengah jalan, hujan turun dengan derasnya. Kami berteduh di sebuah ruko yang tutup.

”Neduh dulu ya, Bang? Tadi perasaan terang-terang aja deh.” Bingung driver.

”Iya.”

Setidaknya, basah hujan memberikan segar lain untuk loyo mata ini. Lumayan.

Sampai akhirnya, hujan reda, sat set sat set, bat bet bat bet, sampailah kami di rumah Rizal. Rumah yang menjorok jauh ke daerah perbukitan, membelah sawah hijau nan asri, memupuk dingin udara dan ramah senyum warga desanya, beberapa kelokan dan persimpangan, itu sungguh jalur yang sulit berteman akrab dengan pikiran.

Sayangnya, gua menyapa itu semua dengan ngantuk yang luar biasa.

Selamat dari terjungkal pada duduk di jok motor, sudah lebih dari cukup.

Sesampainya di sana, gua bertemu dengan orang tuanya Rizal, bersalaman, dipersilahkan masuk. Karena memang masih jam puasa, jangan harap bincang hangat itu turut ditemani teh hangat dan camilan.

Orang tua Rizal undur diri untuk melanjut hal lain, dengan tetap memperkukuh ucapan penyambutan.

”Tunggu di kamar gua dulu, Bang. Sambil nunggu teman gua, katanya dia mau ikut.”

Dengan tau gua yang ngantuk berat sepanjang perjalanan, gua memilih untuk merebah, memejamkan mata: terlelap.

”Bang, ayo!”

Hah, apa?

Ini belum ada barang satu dua jam! Ini serasa baru 5 menit yang lalu!

Kepala gua kliyengan.

Mau nggak mau, karena ini rumah orang, gua ikutin aturan mainnya. Lagipula gua kan emang mau ke event. Ini udah ashar. Butuh waktu berapa jam?

“Tapi kita nggak asharan dulu?” Tanya gua gremeng orang bangun tidur.

“Nanti aja, Bang.”

Ditambah temannya Rizal sudah datang, gua bersiap.  Untuk sholat, nggak perlu dicemaskan.

Mengingat langit yang masih saja mendung, Ibu Rizal memerintahkan untuk membawa jas hujan. Seenggaknya untuk jaga-jaga.

Memakai helm, kami berangkat.

Belum ada seperempat perjalanan, masih dalam lingkup desa dengan kelok persimpangan yang belum usai, hujan turun dengan derasnya. Aneh sekali, mudahnya bertransisi. Sepertinya mood langit sedang nggak baik-baik saja.

Kami berteduh di salah satu rumah penduduk, Rizal bilang itu rumah pamannya.

Cukup beberapa menit sampai yang punya rumah keluar dan menyapa, lalu kembali melanjut perjalanan di saat hujan mulai reda.

Mengitari Blitar dan melintasi jalanan serta suasananya, memberikan pengalamannya tersendiri. Kota yang memiliki kekayaan dan keindahan alam yang mumpuni, berimbang dengan kemajuan infrastruktur modernitas. Antara pedasaan asri dan permai, atau perkotaan yang padat dan ramai: semua tercipta di sana.

Satu kali pemberhentian untuk mengisi bensin, akhirnya sampai juga di lokasi, sebuah event thrift dan kuliner yang diselenggarakan di sebuah aula kebudayaan. Banyak orang yang lebih dulu sampai, muda-mudi, mayoritas sepasang kekasih. Meskipun tetap ada yang lingkup pertemanan, tapi, siapa pula yang menyamai kami yang sarungan?

Gua yang masih pakai kemeja pendek dilapis jaket masih cukup percaya diri tanpa kopeah. Sedangkan Rizal, berkaos pondok vibes kearifan lokal yang sangat, ekhm. Meskipun begitu, wajar saja: akamsi!

Nyatanya ia pede-pede aja. Orang lain pun terlihat welcome, atau mungkin nggak peduli.

Hunting itu dimulai, kami mulai menyusuri stand ke stand. Brand-brand lokal merajai event itu. Mulai dari atasan atau bawahan, semuanya bagus-bagus. Meskipun rata-rata itu clothingan cowok. Tapi cewek, tetap kece-kece aja pakai kaos Magnesium 137 itu.

Temannya Rizal pun cukup antusias, banyak hal yang ia cocokkan. Walau akhirnya tetap berujung kembali digantung. Rizal juga begitu, ia mencari jaket parasut vintage. Sedangkan gua yang nggak bawa uang banyak dan muluk-muluk pengen, sejujurnya hanya mencari crewneck gemoy oversize. Udah, itu aja.

Tapi setelah cukup lama dari satu stand ke stand lain, lapak satu ke lapak lain, brand satu ke brand lain, hingga sampai di lantai 2, nggak satu pun dari kami yang telah membawa tentengan hasil buruan.

Nggak menemukan crewneck yang dimaksud, gua tetap nandain satu dua kaos, kemeja, atau malah celana. Ya, sekedar nandain aja. Siapa tau cocok.

Di jam yang kian sore dan semua stand sudah disinggahi, kenyataan crewneck yang nggak dapat, gua berpikir, apa salahnya cari clothingan lain? Toh udah jauh-jauh juga ke sini, rela nggak tidur dan nahan ngantuk, belum basah-basahan hujan, masa nggak dapat clothingan satu pun.

Setelah dipikir-pikir dan istikhoroh, haha, dari kaos dan kemeja, gua lebih memilih untuk mengangkut celana chinos itu. Ya, berbagai pertimbangan. Di luar bahan, model, brand, dan harga; gua rasa, gua lebih butuh celana. Lumayan buat backingan outfit kampus. Dibanding kemeja yang berulang kali supply, dari semester awal, celana gua belum upgrade.

Celana chinos oversize berwarna biru dongker dan abu-abu, masing-masing polos, dirasa cocok untuk setelan sepatu converse dan crewneck gemoy yang entah di mana harus gua cari. Biarlah.

Gua ke kasih, bayar.

“Bang, udah dapat aja lu?!” Tanya Rizal.

“Crewnecknya nggak dapat, dapatnya celana.”

Wajah mereka seperti menyimpan sesuatu yang mengganjal, ditahan-tahan.

”Kalau masih nyari mah nggak apa-apa, gua temenin.” Pada Rizal, juga temannya yang entah siapa namanya.

”Nggak apa-apa, Bang. Emang belum ada yang cocok.”

Mengingat waktu yang semakin sore, kami mampir ke mushola yang kebetulan masih satu komplek, numpang sholat ashar di sana.

Hingga, sebenarnya, kalau mau, masih ada satu spot lokasi event lainnya yang bisa dijelajah untuk hunting ini. Tapi ya, langit kian gelap, kami mengejar waktu berbuka.

“Ibuku wes masak, rak penak.” Jawab Rizal, atas usul lanjut hunting dan berbuka puasa di luar.

Akhirnya, kami memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing, Rizal ke rumahnya, temannya ke rumahnya, dan gua ikut Rizal.

”Ini kita nggak beli takjil dulu? Apa gitu, es atau nggak gorengan?!”

Di perjalanan yang hampir sampai, gua kepikiran. Seenggaknya andil konsumsi biar nggak terkesan numpang makan di rumah orang.

Rizal setuju, Blitar nyatanya punya sudut sepi juga, terutama di desa, terutama di waktu maghrib.

“Ya, udah maghrib, Bang. Udah mulai pada tutup.” Sergah Rizal.

”Yaudah, es aja tuh di depan, sekalian batalin.” Gua inisiatif.

Akhirnya kami menepi di lapak es yang lebih sepi dibanding lapak es lainnya.

“Es teh jumbo 6 cup, Bu!”

Es selesai dikemas, gua bayar, kami berbuka puasa.

Motor melaju lebih kencang, Rizal mampir ke warung untuk beli rokok, lalu lanjut perjalanan dan sampai.

Di dalam rumah, ternyata keluarganya Rizal udah pada selesai makan. Ibunya kaget melihat es yang gua bawa cukup banyak. Entah apa yang membuatnya begitu kaget.

“Makan dulu, Mas.”

“Nggeh, Bu.”

Rizal mengajak gua ke dapur, bersiap untuk menu berbuka puasa hari itu: sayur bakso spesial, juga pakai nasi.

Hal lain, ini nih: ibunya Rizal ternyata juga membuat es, capucino cincau yang tentu lebih enak dan berdemage dibanding es teh pinggir jalan itu. Dari situ, gua paham keterkejutan ibu Rizal.

Semangkuk bakso dengan mie kuning, sayur, tahu putih, nasi, dan sambal, dihadapkan dengan segelas es teh jumbo dan segelas capucino cincau yang nggak kalah berembun dingin.

Membaca do’a, gua mulai makan menggunakan sendok, seanggun dan sesopan mungkin: jangan kelihatan laparnya, jangan kelihatan ngantuk dan capeknya.

Jujur, itu menu yang memanjakan lidah dan perut.

Sruput-sruput minum, gua beranjak maghriban.

“Ayo bang yang lebih tua!” Rizal menunjuk pengimaman, adiknya hanya diam menunggu.

“Lah lu aja, yang tuan rumah!”

Rizal maju, kami sholat maghrib berjama’ah.

Selesai sholat, kami kembali ke ruang keluarga, tempat berbuka puasa tadi. Awalnya hanya ada gua dan Zaki, gua menghadap es  dan sesekali melihat notif chat, Zaki buka hp dan ngerokok.

Lalu datang adiknya minta rokok, ia rebahan di kasur lantai.

”Ya Allah mas, ojo banter-banter toh lek ngerokok!”

Ya, ibunya datang. Lalu, bapaknya.

Disclaimer, hal lain yang memberatkan, meski bapaknya Zaki duduk berselonjor di kursi yang lingkar L, ibunya malah duduk dengan adiknya Zaki di kasur lantai, di bawah, di hadapan gua.

Meskipun gua tau, nggak ada kepikiran aneh-aneh bagi ibu Zaki perihal gua yang malah duduk di kursi dan lebih tinggi tanda nggak sopan, gua yang malah diserang pikiran. Hingga, duduk berlipat tangan, sedikit mencondongkan badan tanda sungkan, hp gua lepas seketika untuk menghormati dengan menyimak obrolan.

“Iki kakak kelasku, Bu.” Tanggapan Zaki, setelah satu dua pertanyaan nama dan tempat  tinggal.

Dengan begitu, cepat saja.

”Iling, Mas. Sampean ki duwe sesek. Ojo bantek-banter lek ngerokok. Oleh yo oleh. Tapi iling-ilingen kuwi seseke.”

Pembahasan ini di luar kuasa, gua sepenuhnya diam.

Di satu sisi, gua baru tau, ternyata Zaki punya sesak atau asma. Begitu juga dengan kedua adiknya. Ini sulit dibayangkan, bagaimana bisa mereka yang punya riwayat asma tetapi masih ngerokok? Apa yang ada dipikiran orang tuanya? Apa yang ada dipikiran anaknya?

”Mas, Zaki lek teng pondok banter mboten lek ngerokok?” Tanya ibu Zaki ke gua, tiba-tiba saja.

Gua jawab sejujurnya, “Nggeh, banter, Bu.”

“Tuh kan, ya Allah Mas, ojo banter-banter. Ilingen sesekmu.”

Wajah ibu Zaki tambah khawatir.

Rizal menampakkan ekspresi tawa terkejut.

Gua merasa bersalah.

Untuk sesi ’ceramah’ ini, kayaknya nggak bisa gua tampilkan deh. Hihi, agak iba. Walaupun tetap asik mendengarkannya, nggak ada kesan horor penghakiman.

”Lah, sampean mboten ngerokok?” Tanya ibu Zaki, tiba-tiba, lagi.

“Mboten, Bu.”

Gua melirik ke Zaki, tampaknya ia nggak terima.

”Saya nggak ngerokok, terus di pondok ikutan teman, coba-coba ngerokok. Dapat setahunan, terus berhenti.”

”Ini  loh mas, kasih tau caranya biar bisa berhenti.”

Zaki hanya cengar-cengir saja.

“Katanya kalau habis makan nggak ngerokok, asam mulutnya?”

Masih dari ibu Zaki, masih ke gua.

Sejujurnya, bukan asam juga. Nggak asam sebagaimana literatur asamnya cuka atau jeruk yang kecut. Sehabis makan, mulut hawanya emang pengen ngerokok aja gitu: hampa. Gua pernah mengalami itu.

“Iya, Bu.”

“Terus?”

Gua memahami pertanyaan itu.

“Awal-awal, saya ganti sama jajan, Bu. Udah lama, udah biasa sendiri.”

Lalu, ibu paruh baya itu menengok ke arah anaknya, sesi ’ceramah’ dilanjut ke part 2.

Hingga akhirnya, sesi lain harus diikutsertakan, cerita-cerita keluarga: sebuah cerita, dari perihal tetangganya yang spartan ngerokok dan perihal kakeknya Zaki yang perokok berat, sampai-sampai ngerokok menjadi permintaan terakhirnya, sebelum akhirnya meninggal di rumah sakit.

Baik tetangganya itu dengan istri dan keluarganya, atau sang kakek dengan masa muda dan penyakitnya, banyak pelajaran yang bisa diambil.

Di akhir, satu pertanyaan yang cukup meredakan, melegakan.

”Mas, Zaki di pondok piye?”

Dengan ini, menjadi sebuah kesempatan untuk gua membayar kesalahan atas jawaban di awal. Meskipun nggak ada niatan berbohong sama sekali.

“Zaki di pondok rajin, Bu. Kinerjanya bagus, saya belajar sama Zaki. Kadang sebelum tidur menyempatkan sianu kitab. Sama temannya baik.”

Ibu Zaki lebih terkejut, si yang dibahas malah tersipu.

“Dihabiskan, Mas, minumnya.”

“Nggeh, Bu.”

Tepat saja, adzan isya datang memanggil.

“Bang, tarawih di sini aja, ya?”

“Gua ikut aja.”

Dengan sisa maghrib yang masih ada, gua pakai untuk berangkat ke mushola terdekat, penduduk desa. Hanya butuh beberapa gang dan kelokan, 3 motor, keluarga itu berangkat bersama, beriringan.

Sepetak mushola sederhana nan permai, sepermai desa dan wajah pendudukanya, tidak begitu ramai dan tidak begitu sepi. Selayaknya mushola yang tergerus semangat tanggal besar Ramadhan.

Motor berhenti di parkiran.

Bapak dan ibunya Zaki mulai bersalam dengan para jama’ah yang lebih dulu datang. Gua hanya membuti Zaki dari belakang, dari tatapan-tatapan selidik jama’ah lain.

“Ini siapa?”

“Kok baru lihat?”

“Kok ganteng?”

Atau bagaimana bahasa mereka mengungkapkan pertanyaan batin.

Sholat qabliyah 2 rakaat, lalu duduk tertunduk: gua mulai ngantuk.

Ini sunguh benar-benar bahaya!

Seharian penuh belum tidur yang cukup, kenyang sehabis berbuka puasa, dan udara sejuk sisa hujan, menjadi musuh yang nyata! Sedangkan kita tau, bahwa isya 4 rakaat, tarawih 20 rakaat, dan witir 3 rakaat.

”Sholu sunnata tarawih rakataini jami’an....”

Bilal menarik suara lantang, bilal dengan suara yang nggak asing: Zaki.

Setiap 2 rakaat, salam, dan kembali bangkit; rasa-rasanya gua udah mulai hilang kesadaran, ngantuk ini benar-benar membunuh gua. Hanya tinggal menunggu malu untuk ketinggalan rakaat atau malah terjungkal nggak kuasa menahan ngantuk.

Gua hanya berharap sholat ini cepat selesai.

Di satu sisi, entah kenapa, gua pengen banget kencing. Tentu nggak bisa ditinggal, atau rakaat tarawih akan hancur berantakan. Bisa dibayangkan, ngantuk berat dan menahan keras mau kecing untuk lolos 23 rakaat.

Di luar dugaan, dengan hasrat pengen kencing itu, fokus tubuh teralihkan; ngantuk itu nggak seberapa. Sampai do’a kamilin, sampai selesai witir.

”Zak, gua mau ke kamar mandi dulu, tungguin.” Ucap gua di selepas bubar jama’ah, ngacir ke kamar mandi yang berada di pojok barat mushola.

Gua menuntaskan apa yang perlu dituntaskan; hingga, lega.

Nggak lupa cuci muka, sesegar-segarnya.

“Bang, tak mampir omah mbokku sek yo?!” Sergah Zaki.

“Gua ikut aja.”

Nggak banyak komentar, di luar di mana tempat itu dan apa yang akan Zaki lakukan di sana, gua udah terlanjur terbayang kasur dan terlelap. Tapi seenggaknya, basuh muka ini sedikit cukup membantu.

Berpisah dari motor orang tua dan adiknya, gua dan Zaki melajukan motor ke jalan lain, berkelok kanan dan kiri, sampai tibalah di sebuah rumah autentik pedesaan dengan halaman yang dihiasi oleh pohon tinggi menjulang. Lumut-lumut di dinding dan aroma basah tanah, memperkuat status suasana pedesaan rumah itu.

Di teras rumah, terduduk seorang lelaki paruh baya, meninggalkan ngerokok ngopi rianya untuk beranjak segera menyambut kedatangan kami. Entah siapa kejelasannya, yang pasti ia masih saudaranya Zaki.

Zaki bersalaman, gua ikut bersalaman.

Gua sepenuhnya nggak fokus, nggak peduli, dengan apa yang sedang diobrolkan Zaki dengan, sebutlah paman, -nya itu: gua udah terlanjur ngantuk.

Bahkan sampai kami diajak masuk ke dalam, bertemu dengan, sebutlah paman, lalu dengan seseorang yang dimaksud ‘mbokku’; seorang nenek tua yang terlihat masih lincah. Zaki menjelaskan, ia adalah ibu dari bapaknya.

Zaki bersalaman, gua ikut bersalaman.

Sampai sang si mbok menyuguhkan kopi, sesekali basa-basi menyinggung obrolan dengan gua, sisanya Zaki yang mengambil alih. Gua ngantuk. Gua nggak ada sama sekali minat untuk menyimak dan larut dalam obrolan mereka. Toh, sedari awal gua cuma disuruh untuk menemani. Gua hanya menyibukkan diri bermain dengan seekor kucing comel yang dipelihara di rumah itu, juga mencipta ngejreng dari sruput kopi yang entah apa jenisnya: rasanya aneh, asing, kuno.

Pokoknya selesai, kami berpamitan.

Sesampainya di rumah, gua cukup pede untuk melanjut perjalanan di track malam, menyimpan dendam lelap sesampainya nanti di pondok. Schedule awal memang pulang sehabis tarawih. Bukan karena apa, motor yang kami pakai, adalah hasil pinjam motor orang. Nggak enak minjam lama-lama.

“Sesok wae loh mas, iki loh seh udan!” Tahan ibu Zaki, sedang mengobrol dengan anaknya.

Zaki menghadap gua, mencoba minta pendapat terkait ibunya dan motor pinjaman itu. Dengan beberapa kedipan, gua menyampaikan pesan tersirat, “Atur aja, Zak! Gua lagi angkat telpon.”

Di satu sisi, gua emang lagi angkat telpon.

Gua menyingkir, keluar, memilih tempat di teras menghadap kolam ikan: seseorang di Semarang menceritakan harinya dalam video call.

Mungkin ngantuk itu, kembali mengalah.

Dari pembagian tugas masing-masing antara gua dan Zaki, akhirnya diputuskan bahwa kami ’terpaksa’ menginap semalaman di rumah dengan mempertimbangkan hujan yang masih turun dengan derasnya, ditambah Zaki yang berhasil berkonsolidasi dengan ’rental motor’.

Gua pun telah usai jadi juru rekam video call: suasananya, kalimatnya, senyumnya, cantiknya, semuanya.

Dengan itu, nggak perlu kiranya gua berpanjang lebar meneruskan. Pokoknya malam ini menginap, besok pulang.

Dah lah, gua ngantuk banget ini serius!

Tulisan begini aja udah 10 page dengan hampir 3000 words.

Gua ngantuk, mau tidur, bye!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terminal

Dompet

Termometer