Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2023

Melati

“Di sini nggak boleh baca buku selain pelajaran, Kak!” Sungguh gua kaget. Juga sedikit sesak yang tiba-tiba muncul bersarang di dada. Entah kenapa, begitu menaruh hati pada mereka. Beruntungnya gua bisa belajar bareng dengan anak-anak tsanawiyah itu. Meski nggak sering, tapi cukuplah untuk dibilang teratur. Kita sharing-sharing tentang buku bacaan yang bagus, cara menulis yang baik, manfaat membaca dan menulis, juga tentang cerita orang-orang hebat yang menjadikan pena dan kertas adalah teman hidup. Mereka senang-senang aja mendapat hal baru, sedikit menepi dari kesumpekan monoton kegiatan pondok. Jangan tanya gua, senyum mereka dan wajah polos saat bertanya adalah arti bahasa yang sederhana. Tentu sama harus dikerahkan, dicoba untuk semua unsur belajar; membaca, menulis, mendengar, berbicara. Bukankah seperti ucap dosen Studi Indonesia yang rajin itu? Membaca, menyampaikan materi dengan menulisnya di papan tulis putih besar kelas itu dengan bahasa sesederhana mungkin. Biarka

Kaktus

Kita emang nggak terlepas dari salah. Kalau nggak percaya, tanya aja ustadz mimbar yang koar-koar al insanu mahalul khoto’ wan nisyan itu! Nggak jauh beda, antara kait salah dan benci, bonceng belakang onthel, “Sebenarnya lu tau nggak, Bang, hal yang membuat orang jadi membenci?” “Kenapa tuh?” “Orang itu membenci karena dua. Dari kurang kita karena ia merasa nggak bisanya kita setara dia, lalu sombong. Dan dari lebih kita karena ia nggak bisa setara kita, lalu iri. Kita nggak bisa terlepas dari benci. Karena kita memang kurang dan lebih itu.” Gua setuju-setuju aja kalaupun gua disalahin, selama masih dalam koridor gua emang salah. Tapi, ya nggak seharusnya ada benci-bencian. Gau nggak pernah nyalahin orang buat peduli sesama. Toh nyatanya, orang-orang nggak pada peduli akan salah orang. Harus tetap mengingatkan. Tetap harus ada empati dan simpati. Tapi, ada yang kadang bikin malesin; cara mereka ngingetin. Dengan menampik segala kehuha-huhaannya, sekilas, gua lebih setuju d

Sarung

Suatu malam, seorang santri yang hampir 6 tahun mondok ditanya di antara lelap orang-orang.             “Tujuan lu mondok, apa?” Pertanyaan yang terkesan ringan itu ternyata cukup membuatnya terkejut. Ia sempat memandang mata yang menunggu jawaban itu, dengan kepul asap-asap rokok yang berhamburan tak tentu arah. Penuh polos, sekedarnya, ia menjawab.             “Cari ilmu, Bang.”             “Kalau sekedar cari ilmu kan bisa di mana-mana. SMA atau tingkat sederajat lainnya kan bisa. Kenapa harus jauh-jauh ke sini?”             “Biar bisa sambil ngaji, Bang.”             “Emang di rumah nggak ada tempat buat ngaji?” Entah siapa dan perbincangan itu, kadang kita yang katanya santri, yang katanya mondok masih belum sadar akan niat itu. Dengan sebatas sepele mau belajar, cari ilmu, atau ngaku mau ngaji sekalipun masih bisa dibungkam dengan pertanyaan seperti itu. Dan, di luar dari itu, untuk praktek tujuan dengan kenyataan bahwa kita adalah santri, masih bingung juga denga

Ban

Pada suatu saat, ada capeknya juga jadi manusia. “Sosial!” “Sosial!” “Sosial!” Kadang capek, kadang muak kita bersosial. Bukan maksud anti sosial, kita yang sudah, maksimal dan fokus untuk sosial yang seimbang, malah dijejali segala kepahitan. Jadi, nggak percaya pada manusia. Susah untuk kembali percaya pada manusia. Terlanjur kecewa. Sekarang gua tanya, “Untuk sekarang atau nanti, manusia mana yang bisa lu percaya?” Teman? Mereka semua bohong! Omong kosong! Mereka hanya mengambil manfaat dari lu doang. Persetan untuk teori teman dan susah senang bersama. Bullshit. Apakah pantas mempercayai, menyerahkan seluruh diri kita, sisi kita yang lain pada seseorang makhluk yang juga punya otak, punya nafsu? Sudah gua bilang, manusia nggak perlu diajari tentang drama dan bertopeng. Sudah biasa, di sini ngomong ini, di situ ngomong itu. Nggak habis pikir, diciptakannya mulut di depan, tapi senangnya ngomong di belakang. Atau lu mau ngebantah dengan mengangkat argumen, orang tua ata

Adonan

Mungkin banyak orang yang lu kagumin. Setiap kelebihan adalah unsur penyebab eksistensi kagum itu sendiri. Pasti berbeda. Dan terkadang juga kagum berujung iri. Tak jauh beda. Munculah bayang artis idola, pemain bola, seniman, atau siapapun itu. Mulai dari penglihatan mata, banyak tarik nafas dalam-dalam. Sebut, mungkin ada yang ngidolain rafathar. Awalnya, wih, wih, wih. Lalu, “enak, ya jadi rafathar!”, “andai jadi rafathar!” Haha. Paan si. Jadi iri. Sama halnya santri jika melihat kiai, gus, ning, atau habaib sekalipun. Tak apa. Beda eksoteris tak perlu bersiteru. Masing-masing punya pandangan, punya alasan. Tapi, bahayanya dari runtut pembahasan ini adalah jadi tak percaya kita akan jalur keturunan. Menyalahkan kenapa jadi keturunan ini dan tidak jadi keturunan itu. Nasab bukan barang belian! Tak seharusnya lebay dan berlebihan akan pembahasan ini, mungkin kita kalah akan nasab. Dibanding mereka, kita orang biasa. Tapi, bukankah sukses untuk semua orang? Mungkin kita tak bisa se

Kardus

“Udah, kamu di rumah aja!” Pulang adalah berat. Satu sisi kita senang karena bisa kembali ke habitat dan kembali bertemu dengan orang tercinta. Tapi, di satu sisi, banyak hal yang membuat kita belum siap. Kita merasa belum cukup. Ditambah lagi, orang tua dengan segala background intitusi seolah tak mnedukung usaha juang ini. Hal yang dikejar-kejar susah payah mati-matian perlahan pupus. Kita sedang tersiuk-siuk memanjat pada tiang harapan, tapi orang tua malah perlahan memberi minyak pada tiang itu. Kita tanpa pendukung. Banyak hal yang membuat kita untuk bertahan. Segala hal yang mengikat, sulit rasanya untuk melepas. Apalagi harus benar-benar melupakan. Tunjuk arah masa depan orang tua, malah mengacak-acak jalan bayang-bayang masa depan kita sendiri. Tak terbayangkan kita harus kembali adaptasi, basa-basi di tempat asing yang tentunya belum lebih baik dari tempat ini. Tak ada yang begitu ku khawatirkan tentang pergi dan tempat baru, hanya saja, apa jadinya aku di sana tanpamu

Palu

Dalam hidup nggak terlepas dari peraturan. Karena memang pada dasarnya, peraturan menurut gua, konsep dasar adanya peraturan itu ada 2; ada peraturan untuk mengantisipasi kasus yang kemungkinan terjadi. Ada juga, adanya timbul kasus terlebih dahulu, baru diciptakan peraturan untuk menanggulangi kasus agar nggak terulang kembali. Tapi, bagaimana pun peraturan nggak menutup kemungkinan bisa diselewengkan oleh kekuasaan. Nggak menutup kemungkinan lagi hal itu terjadi di pondok pesantren, tempat hidup dan berkembang biaknya telur pemikiran kitab adzifa anil wathon dan idhotun nasyi’in . Kesel aja gua sama orang-orang sok jago, sok berkuasa, sok paling capek. Masa sepeda gua dibuang ke comberan. Lu jangan pada ketawa. Mau gua tampol? Nggak tau orang lagi kesel apa! Sebelum lu berkesimpulan, lu harus dengar dulu kronologi cerita dari gua. Pasti lu paham kenapa gua berhak marah. Lu juga berhak ikutan marah setelah dengar ini. Jadi gini. Di pondok untuk soal sepeda itu udah ada parkir

Lelucon

“Apa-apaan lu!?” Teriak seorang lelaki di tengah keramaian. “Lu apain Si Citra?” Lanjutnya. Sang Lawan bicara, seorang lelaki mendekatinya, “Oh jadi lu pacarnya Citra?” “Kalo iya, mau apa?” Suaranya meninggi. Mereka begitu dekat. Berhadapan. Terik siang hari itu tak ada apa-apanya. Panas amarah sepasang lelaki itu benar-benar sudah di puncaknya. Hingga, baku hantam tak bisa dihindari. Mereka benar-benar kesetanan. Begitu mengerikan. Bercak darah berlumuran di seragam mereka. Seorang gadis malah terduduk menangis tersedu di pojokan.   *** “Hahaha.” Kencang sekali gelak pemuda itu. “Novel ini benar-benar lucu!” Ucapnya sekali lagi. Tak berhenti ia tertawa. Benar-benar lucu. Ketawa itu tak terputus sampai 5 hari ke depan. Saking lucunya.  

Mim

Dalam hidup, ada hal yang harus kita tuju. Ada goal yang harus kita capai. Biar hidup terus menerus meningkat dan berkembang pada arah kemajuan. Upgrade diri sendiri. Terus, kalau nggak ada yang ingin kita tuju, ngapain kita kita hidup? Makan, berka, tidur-makan, berak, tidur? Sebahagia itu? Penuh-penuh bumi aja! Cita-cita menjadi hal yang tergenggam di telapak tangan. Dengan beban dan tuntut di pundak, otak harus memberi jalan keluar atas segala kerumit itu. Setiap orang; siapapun, kapanpun, di manapun, dan bagimanapun, harus memiliki cita-cita setinggi langit. Tinggi membumbung-bumbung. Menabrak atmosfer. Sejak kecil kita telah ngecaprak tentang harap impian dan cita-cita ketika sudah besar nanti. Mau jadi dokter, jadi guru, jadi polisi, dan bla-bla-bla lainnya. Pikiran masa kecil itu lepas aja pada siapapun yang mendengar. Seakan begitu optimis. Mikirnya, keren aja waktu itu. Makin ke sini, makin gede, baru tau rasanya. Realitas hidup dan injak-menginjak satu sama lain, menyadar

Ranting

Nggak akan pernah ada ruginya jadi santri. Berbanggalah. Rasanya akan sulit menjelaskan pada mereka yang nggak pernah mondok, cukuplah kita-kita saja yang tau. Senangnya untuk kata santri dan menjadi bagian dari pondok pesantren di saat perputaran keadaan yang seperti ini. Saat orang di luar sana berkasar-kasar untuk memenangi kehidupan, di sini kita malah berlembut-lembut saling berbagi kekuatan untuk dimenangi hidup. Tekad, niat, harap, ilmu, guru, dan teman adalah kita. K ita adalah tekad, niat, harap, ilmu, guru, dan teman. Seperti malam itu, gua ikut Penataran Keroisan yang diselenggarakan oleh LBM. Acara seminar tentang peroisan itu dipematerikan oleh beliau, Agus H.Abdurrohman Kafabihi atau yang dikenal Cak Iman. Bukannya nggak mau atau malas, jujur-jujuran saja, tentu terasa berat kaki ini melangkah aktivitas di hari libur yang seminggu sekali dan ditunggu-tunggu ini; malam jum’at. Mending tenang-tenang, senang-senang, ngopi, rebahan, baca buku, atau apapun yang disenangi

Beruang

Dalam hal apapun, sudah seharusnya kita berniat baik. Rumusnya tentu nggak keluar dari ikhtiar, do’a, dan tawakal. Kita belajar, ibadah, sosial, atau bahkan untuk me time diri kita sendiri butuh langkah yang tepat. Nggak usah membahas banyak, kita bahas ikhtiar aja terlebih dahulu. Dalam setiap ingin melangkah, melakukan sesuatu, niat dan tujuan sangat perlu diperhatikan. Jika niat dan tujuannya itu baik, maka dihitung baik pula segala ikhtiar usaha kita. Begitu pun sebaliknya, jika buruk niat dan tujuan itu, maka dihitung buruk pula. Bukankah kita memetik sesuai apa yang kita tuai? Segala sesuatu tergantung niatnya, bukan? Tentu nggak berseberangan dengan hukum syariat. Untuk prosesinya, nggak ada yang perlu dirisaukan. Karena memang Tuhan nggak akan menimpakan beban di luar batas kemampuan hambanya. Semua yang kita hadapi adalah hal-hal yang mampu, sesuai porsi kita masing-masing. Lagi pula Tuhan nggak muluk-muluk menekan hambanya melakukan segala sesuatu. Harus begini, harus b