Sarung
Suatu malam, seorang santri yang hampir 6 tahun mondok ditanya di antara lelap orang-orang.
“Tujuan lu mondok, apa?”
Pertanyaan
yang terkesan ringan itu ternyata cukup membuatnya terkejut. Ia sempat
memandang mata yang menunggu jawaban itu, dengan kepul asap-asap rokok yang
berhamburan tak tentu arah. Penuh polos, sekedarnya, ia menjawab.
“Cari ilmu, Bang.”
“Kalau sekedar cari ilmu kan bisa di
mana-mana. SMA atau tingkat sederajat lainnya kan bisa. Kenapa harus jauh-jauh
ke sini?”
“Biar bisa sambil ngaji, Bang.”
“Emang di rumah nggak ada tempat
buat ngaji?”
Entah siapa
dan perbincangan itu, kadang kita yang katanya santri, yang katanya mondok
masih belum sadar akan niat itu. Dengan sebatas sepele mau belajar, cari ilmu,
atau ngaku mau ngaji sekalipun masih bisa dibungkam dengan pertanyaan seperti
itu.
Dan, di luar
dari itu, untuk praktek tujuan dengan kenyataan bahwa kita adalah santri, masih
bingung juga dengan aku tujuan niat sedari rumah; yang katanya mau mencari
ilmu. Mau ngaji.
“Apa kita
memang harus benar-benar dapat tuju niat itu?”
Entah dengan
kukuh keinginan sendiri atau memang karena paksaan, apapun hal yang menjadikan
kita sampai dan menetap pada tempat yang bernama pondok pesantren, seharusnya
dengan mengingat jauh dan pengorbanan orang tua, tentu kita nggak pengen buat
kecewa. Tentu kita harus bertanggung jawab pada niat itu dengan raih apa yang
dituju. Jika tujuannya cari ilmu, ngaji, berarti kita harus dapat ilmu yang
katanya dicari itu. Ngaji, harus paham dengan benar dan mendalam akan semua
sub-sub ilmu perngajian; Nahwu, shorof, akhlak, tauhid, sejarah, tafsir,
hadits, faroid, falakiyah, balaghah, mantiq, fiqih, ushul fiqh, ar-rudl,
tasawuf. Gimana?
Gua tau,
setiap orang punya basic, punya kecondongan terhadap sesuatu. Kita pasti pernah
merasa bahwa suatu sub ilmu perngajian yang nggak paham-paham, kayak nggak ada
ketertarikan terhadap suatu pelajaran yang mungkin bukan basicnya, yang mungkin
ada kecondongan lain dari diri kita pada luasnya ilmu lain. Iya nggak, sih?
Gua kadang
juga ngerasa gitu. Saat waktunya pelajaran Alfiyah, meski udah gua paksa
ngejreng neken otak sampai dua alis nekuk saking fokusnya, kok tetap susah
paham. Padahal yang kita tau, nahwu shorof adalah kunci untuk membuka pemahaman
ilmu lain. Gua yang lebih senang baca tulis umum, kadang mikir, apa nahwu
shorof bukan basic, bukan bidang gua, ya?
Tapi, nggak
bisa sepenuhnya dibenarkan. Jangan sampai ada anggapan seperti itu. Bagaimana
pun, kata santri sebagai orang yang dianggap serba bisa telah tersemat pada
kita. Apalagi untuk ukuran ilmu syari’at. Masa untuk ditanya masalah thoharoh
aja masih planga-plongo? Kan rada gimana gitu. Karena hal ini bukan hanya
menyangkut tentang harga diri kita doang, tapi juga tentang almamater pondok
dan muka orang tua yang mau ditaruh di mana saat anaknya ngawur ngejawab tetang
tujuh air yang bisa dijadikan bersuci itu. Memang seharusnya, kita harus
tanggung jawab dengan ucap niat itu, dengan paham apa yang diajarkan di pondok
pesantren.
Setelah
tetap belajar dan terkadang tatih datang akan paham itu, gua sempat menangkap
dan menampung akan kiat-kiat kunci keberhasilan belajar yang tentunya dari
orang-orang yang telah berhasil akan belajarnya.
- Bang Romi;
yang penting belajar.
- Pak Fahmi;
punya keinginan.
- Habib Muahmmad;
bersihnya hati.
- Kang Ulil;
serius.
- Bang Gembel;
yakin.
- Pak Umar;
usaha
- Kang Candra;
hafal dulu.
- Kang Rozaq;
praktek.
Gua rasa
dari kesemuanya, ada benarnya.
Nggak perlu
gua jelasin satu per satunya, karena menurut gua, setiap orang punya persepsi
baiknya masing-masing.
Jadi, janji
ya nggak nyebut-nyebut pengen boyong, lagi?
Komentar
Posting Komentar