Beruang
Dalam hal apapun, sudah seharusnya kita berniat baik. Rumusnya tentu nggak keluar dari ikhtiar, do’a, dan tawakal. Kita belajar, ibadah, sosial, atau bahkan untuk me time diri kita sendiri butuh langkah yang tepat. Nggak usah membahas banyak, kita bahas ikhtiar aja terlebih dahulu.
Dalam setiap
ingin melangkah, melakukan sesuatu, niat dan tujuan sangat perlu diperhatikan.
Jika niat dan tujuannya itu baik, maka dihitung baik pula segala ikhtiar usaha
kita. Begitu pun sebaliknya, jika buruk niat dan tujuan itu, maka dihitung
buruk pula. Bukankah kita memetik sesuai apa yang kita tuai? Segala sesuatu
tergantung niatnya, bukan? Tentu nggak berseberangan dengan hukum syariat.
Untuk
prosesinya, nggak ada yang perlu dirisaukan. Karena memang Tuhan nggak akan
menimpakan beban di luar batas kemampuan hambanya. Semua yang kita hadapi
adalah hal-hal yang mampu, sesuai porsi kita masing-masing.
Lagi pula
Tuhan nggak muluk-muluk menekan hambanya melakukan segala sesuatu. Harus
begini, harus begitu. Makanya sering kita dengar tentang konsep rukun sholat
ada kata-kata lilqodir bagi orang yang qiyam. Kalau nggak mampu ya, duduk.
Kalau masih nggak mampu, ya tidur miring. Hingga sholat dapat dilakukan dengan
hanya hati, jika isyarat mata saja ia sudah benar-benar nggak mampu. Begitu
juga dalam konsep khusyu’ dan menunaikan ibadah haji. La ikraha fiddin!
Nggak ada paksaan dalam agama.
Tapi, bagi
orang-orang yang aman-aman dan mampu dalam menjalankan segala kegiatan, bukan
serta menjadikannya meremehkan.
“Halah,
kecil ini!”
“Halah,
remeh ini!”
Iya, meski
hanya tentang hal yang remeh sekalipun. Bukannya besar indukan gajah afrika
juga berasal dari kecil anakan gajah? Begitu pun tentang cerita orang sukses
yang jika cerita pasti dimulai dari orang yang remeh? Gampangnya, banyaknya
deret angka nominal pasti dimulai dari angka nol.
Aslinya gua
cuma mau cerita aja. Pembahasan so serius di atas, hanya variasi. Biar keliatan
mantap aja. Biar kesannya rada gimana gitu. Hehe.
Nggak,
nggak. Tapi, cerita ini tetap nggak keluar dari konsep ikhtiar dan meremehkan
hal-hal kecil.
Jadi gini
ceritanya; bertahun-tahun lalu, seorang anak SD yang digadang-gadang dapat
dengan mudah masuk SMP Negeri favorit yang orang mati-matian agar bisa masuk
dengan NEM yang memadai, malah milih masuk pesantren. Sungguh bisa ditebak,
emak dari anak itu menjadi cecaran pertanyaan rempong emak-emak lain saat
pengambilan rapot.
“Kenapa
anaknya masuk pesantren?”
“Sayang
banget loh, Bu!”
“Nggak mau
dipikir dulu, Bu? Jarang-jarang loh bisa masuk SMP 9!”
“Sekarang
mah realistis aja, lulusan pondok bisa, apa?”
Dan bla,
bla, bla lainnya rempong cerewet emak-emak yang anaknya bloon. Haha,
nggak-nggak. Mungkin bahasanya hanya kurang beruntung. Emak dari anak-anak yang
kurang beruntung.
Sampai
berjalannya waktu, anak itu memilih mendamparkan diri di Karawang, 1 jam lebih
dari rumah sederhananya yang biasa dengan kehangatannya yang luar biasa. Di
sana tanpa ada kenal siapa-siapa sebelumnya dan harusnya berbahasa sunda.
Tentunya ia planga-plongo nggak paham. Komunikasi jadi terhambat. Kata betah
nggak kunjung datang di 2 bulan pertama semenjak ia memilih untuk menjadi
santri dan bagian dari pondok pesantren itu.
Hidupnya
tetap berjalan, hingga waktu yang banyak.
Dari sekian
banyaknya segala kegiatan santri yang masya allah, bisa diambil dari hal yang
kecil dan remeh; salaman setelah sholat berjama’ah.
Sebelum
dilanjut, biar menambah nilai estetika diksi tulisan ini, bagaimana kalau kata
‘anak itu’ diganti dengan inisial ‘aku’? biar lebih mudah aja. Oke.
Selain dari
masya allah-nya kegiatan salaman sehabis sholat berjama’ah itu, yang nggak
kalah masya allah-nya lagi, si aku nih selalu salaman dengan raih kedua
tangannya. Nggak hanya satu tangan yang menjadi kebanyakan santri. Nggak tau
kenapa tuh si aku. Begitu ia lakukan. Sehabis sholat berjama’ah.
Eh, tapi,
kalau dibaca-baca masih rada nggak enak. Bagaimana untuk menambah kuatnya
karakter subjek tulisan ini, yang awalnya ‘aku’ diganti menjadi ‘gua’? Hitung-hitung
bentuk loyalitas sebagai penulis. Oke.
Lalu, pada
suatu subuh, setelah sholat berjama’ah yang diimami oleh Kiainya pondok itu,
gua pasti bersalaman dengan santri lain, di sekitaran tempat gua sholat. Depan
belakang, kanan kiri. Tapi, siapa sangka, hal kecil dan remeh berupa salaman
sehabis sholat berjama’ah dengan raih kedua tangannya dan sedikit menundukan
kepala bisa membuat seseorang terkesan.
Saat ditanya
pada suatu waktu ke depan, ia memberi kesaksian, “Gimana ya, Bat. Dengan sikap
kamu begitu (salaman sehabis sholat berjama’ah dengan raih kedua tangannya dan
sedikit menundukan kepala) masya allah banget. Kok sopan banget anak ini, batin
aa dulu! Ternyata setelah kenal, kamu emang benar-benar anak yang sopan.
Walaupun kadang-kadang ngeselin!”
Berawal dari
situ, gua sama ia yang udah gua anggap seperti abang sendiri, karena memang ia
adalah kakak kelas satu tahun di atas gua, semakin akrab. Di pondok itu,
enaknya bilang, gua sama dia malah jadi adek abang-an. Tentu hal itu sangat
berguna bagi gua yang masih menjadi santri baru di kelas 7. Dia gua jadiin
tempat buat tanya, minta pendapat, cerita, belajar. Apapun. Ia menjadi seorang
yang sangat berperan penting terhadap betah tidaknya gua saat itu, di pondok
itu.
Nggak hanya
dari dan soal teman, banyak hal yang berkesan saat gua bareng dia. Gua
manggilnya beruang. Bukannya mirip-miripin, tapi emang mirip. Beruang kutub.
Putih, gemuk, gemoy. Nggak gembrot dan mustahil untuk kata ceking; berisi,
ideal. Haha.
Karena emang
dia anak terakhir dan nggak punya adek, sikap seorang kakaknya begitu kerasa.
Bagaimana ia selalu ada saat gua butuh, selalu mengingatkan saat gua udah
terlalu jauh. Termasuk jadi figure bank dadakan di akhir bulan. You know
lah, kata betah santri begitu dipertaruhkan saat uang menipis di akhir bulan!
Yaaah.
Nggak banyak
yang gua bisa jelasin untuk hal-hal yang membuat senang seperti ngobrol di
lantai dua menghadap atap rumah-rumah warga, juga pada saung di tengah hamparan
sawah dengan padi yang menguning. Viewsnya, kesannya, isi obrolannya yang
membangun. Udah bikin senang.
Salah satu
dari sekian obrolannya yang banyak dan panjang, gua paling ingat ia pernah
bilang, “Bat, kalau kita disakiti orang, obatnya ya orang lagi. Jangan cengeng!”
Mungkin
untuk segala kata yang nggak bisa, nggak mampu gua tulis di sini, gua hanya
bisa bilang makasih dan maaf.
Beruang,
makasih pernah hadir. Makasih atas segala kesan dan pelajaran yang sangat
berarti. Makasih telah menjadi salah satu faktor Ahbat betah mondok dan terus
menulis. Karena beruang, 2 buku ala kadar itu berhasil selesai tepat waktu di
penghujung perpisahan wisuda 5 tahun lalu. Makasih juga untuk 2 buku
balasannya. Ahbat senang.
Maaf untuk
segala salah, luput, dan apapun yang bikin nggak nyaman. Juga hal-hal ngeselin
yang mungkin masih membekas di hati. Maaf waktu dulu udah ngerepotin. Udah
bikin susah. Sekali lagi maaf, cuma bisa ini.
Semoga
beruang sehat selalu, lancar rezeki, kerjaan, dan kuliahnya. Selalu diberikan
kebahagiaan dan dikelilingi orang-orang baik. Nitip salam buat bapak sama umi,
do’a-do’a baik buat beruang sekeluarga.
Oh iya, sama
ini; kalau nikah, ngundang-ngundang, ya! Haha.
15 September 2016 – Sekarang
Kuda Laut
Komentar
Posting Komentar