Ranting
Nggak akan pernah ada ruginya jadi santri. Berbanggalah. Rasanya akan sulit menjelaskan pada mereka yang nggak pernah mondok, cukuplah kita-kita saja yang tau.
Senangnya untuk
kata santri dan menjadi bagian dari pondok pesantren di saat perputaran keadaan
yang seperti ini. Saat orang di luar sana berkasar-kasar untuk memenangi
kehidupan, di sini kita malah berlembut-lembut saling berbagi kekuatan untuk dimenangi
hidup. Tekad, niat, harap, ilmu, guru, dan teman adalah kita. Kita adalah tekad, niat, harap, ilmu, guru, dan teman.
Seperti malam
itu, gua ikut Penataran Keroisan yang diselenggarakan oleh LBM. Acara seminar
tentang peroisan itu dipematerikan oleh beliau, Agus H.Abdurrohman Kafabihi
atau yang dikenal Cak Iman.
Bukannya nggak
mau atau malas, jujur-jujuran saja, tentu terasa berat kaki ini melangkah
aktivitas di hari libur yang seminggu sekali dan ditunggu-tunggu ini; malam
jum’at. Mending tenang-tenang, senang-senang, ngopi, rebahan, baca buku, atau
apapun yang disenangi, pikir banyak santri lainnya.
Kenapa
acaranya harus malam, panitia? Ah elah.
Dengan berbagai
alasan, akhirnya gua berangkat juga. Ikut acara.
Datang, dibagi
konsumsi dan buku, duduk nimbrung bareng teman lainnya, dan hingga acara itu
benar-benar dimulai. Setelah MC dan sepatah dua kata beberapa sambutan,
moderator memimpin alur seminar. Lalu, beliau memegang mic berbicara
menyampaikan materi.
Dari awal gua
udah begitu antusias menyimak kata demi kata yang disampaikan beliau. Tau, tiba-tiba malas ini hilang, berganti
binar dan decak-decak. Hingga akhirnya harus mengakui bahwa gua benar-benar terkagum terbawa pembahasan. Serius, beliau adalah arti dari
gudang pengetahuan dan pengalaman. Tentu nggak cukup untuk hanya sekedar
mengandalkan lihat, dengar, dan hafalan. Gua pasti bawa pulpen dan buku. Lembar
kertas itu penuh, tangan pegel, otak ngebul, tapi hati gua malah senang. Puas.
Dapat semua. Huhu.
Sayangnya, gua
nggak bisa sharing semua. Nggak memungkinkan.
Tapi, gua akan
sharing dari apa yang gua dapat dari beliau. Dari apa yang sempat gua tulis. Beberapa aja, ya?
Beliau sempat bilang, “Jika kalian ditunjuk
sebagai rois, bukan karena berarti kalian dianggap mumpuni. Tapi karena kalian
diberikan kesempatan untuk mumpuni. Berproses.”
Dalam setiap
kelas di Madrasah Diniyah, pasti ada siswa yang ditanggung jawabi satu mata
pelajaran untuk memimpin diskusi di setiap jadwalnya. PJ mapel, rois namanya.
Dan untuk pemilihan penetapan menjadi rois itu kadang nggak jelas kriterianya.
Tiba-tiba aja dipilih sama rois ‘am. Terus bingung dan rada keselnya, kok gua
bisa ditunjuk rois. Tafsir lagi. dengan kesadaran diri, kan ada yang lain, yang cerdas-cerdas! Kenapa
harus gua yang bloon ini? Bukannya apa-apa, tafsir berat, bos! Qur’an! Selain tentang mimpin
diskusi, masih banyak kewajiban dan sanksi jika melanggar. Jangan ditanya soal
ketar-ketir.
Ucap beliau itu
justru menampar gua. Dengan terpilih dan terpaksanya jadi rois, bukan berarti
tandanya gua udah dianggap mampu. Malah beruntungnya gua diberi kesempatan dan
wadah untuk menjadi mampu, mumpuni dalam pelajaran tafsir. Dan tentunya harus
berproses. Gua jadi rada tenang dikit. Okelah.
Selain dari
itu, gua jadi mikir jauh. Mikir panjang. Bukan hanya sekedar rois, kita bisa
mengrefleksikan dari ucap beliau itu. Mungkin kita yang diberi amanat untuk menjadi ketua kelas, ketua kelompok,
atau status jabatan dalam organisasi lainnya. Kembali ke awal, itu semua harus
dijadikan ladang syukur untuk kesempatan yang diberikan. Kesempatan yang tidak
diberikan untuk orang lain. Bukan malah ngeluh.
Untuk yang
kedua, beliau juga bilang, “Ilmu itu diperuntukkan bagi mereka yang pemberani.
Bukan untuk mereka yang penakut. Bukan untuk mereka yang pemalu.”
Ini nggak jauh
juga dari kita, dari gua yang biasanya merasa takut untuk mencoba. Takut gagal
sebelum melangkah. Takut salah. Padahal kalau kata guru gua yang lain, sudah
seharusnya bagi pencari ilmu itu salah. Apalagi yang pemula, wajib salah.
Karena salah itu tanda kita adalah seorang pemula pencari ilmu yang masih
bodoh. Toh, para guru pun nggak luput dari salah. Apa yang harus ditakutin?
Kadang juga
takut atau malu itu menjadikan kita penghalang untuk bertanya yang padahal
bertanya itu adalah salah satu jalan meraih paham. Entah karena apa; karena
ketidak percayaan diri dengan terbenturnya oleh gelap bodohnya kita dan silau
cerdasnya orang lain, kita jadi tidak berani untuk bertanya. Begitu juga tentang menyampaikan pendapat
dan argumentasi pada khalayak. Hal itu harus dicoba. Hal itu harus dicoba
dengan keberanian. Bukannya hidup adalah keberanian menghadapi tanda tanya?
Bukankah begitu ucap Soe Hok Gie?
Bahkan dalam
acara seminar itu, karena gua kira acara penataran keroisan yang nggak jauh
tentang unsur musyawaroh, kitab-kitab, metode dan motivasi yang dihidangkan lewat penjelasan dan tanya jawab.
Awalnya gua kira begitu. Tapi, ternyata, beliau bahas banyak tentang membaca dan menulis. Banyak, panjang, dan dalam.
Hingga akhirnya gua kira pembahasan acara ini melenceng dari tujuan awal. Haha. Panitia agak lain mukanya.
Bahkan yang
lebih tambah kagumnya lagi, saat penyampaian pembahasan dan sesi tanya jawab,
beliau membawa binder catatannya. Materi atau jawaban dari pertanyaan abstrak peserta itu ada semua tercatat di sana. Beliau menulis dibinder yang
setebal itu. Hp nggak dilibatkan sedikitpun. Kata beliau, menulis itu harus mendarah daging bagi santri.
“Dalam belajar,
daya tangkap orang yang menulis dengan yang tidak (menulis) itu berbeda.” Ucap beliau menutup tulisan
ini.
Komentar
Posting Komentar