Kaktus
Kita emang nggak terlepas dari salah. Kalau nggak percaya, tanya aja ustadz mimbar yang koar-koar al insanu mahalul khoto’ wan nisyan itu!
Nggak jauh
beda, antara kait salah dan benci, bonceng belakang onthel,
“Sebenarnya
lu tau nggak, Bang, hal yang membuat orang jadi membenci?”
“Kenapa
tuh?”
“Orang itu
membenci karena dua. Dari kurang kita karena ia merasa nggak bisanya kita
setara dia, lalu sombong. Dan dari lebih kita karena ia nggak bisa setara kita,
lalu iri. Kita nggak bisa terlepas dari benci. Karena kita memang kurang dan lebih
itu.”
Gua
setuju-setuju aja kalaupun gua disalahin, selama masih dalam koridor gua emang
salah. Tapi, ya nggak seharusnya ada benci-bencian. Gau nggak pernah nyalahin
orang buat peduli sesama. Toh nyatanya, orang-orang nggak pada peduli akan
salah orang. Harus tetap mengingatkan. Tetap harus ada empati dan simpati.
Tapi, ada
yang kadang bikin malesin; cara mereka ngingetin. Dengan menampik segala
kehuha-huhaannya, sekilas, gua lebih setuju dengan segala sindiran. Seenggaknya
ada sedikit clue tipis-tipis di iri sindiran yang entah pada siapa.
Lah ini,
tiba-iba jadi aneh. Tiba-tiba jadi batu, diam aja sambil merengut. Gua tau, dia
begitu, berarti ada yang salah pada diri gua dan harus mikir sendiri sampai ketemu
salahnya di mana.
Dalam posisi
begitu, tentu kan jadi serba salah. Kita udah ngikutin dia dengan coba mikir
letak salahnya di mana dan tetap nggak nemu salahnya di mana. Boro-boro mau
ngajak ngomong, dipanggil aja nggak nengok. Gimana coba?
Ini tentang
sosial kita yang di pondok kalau punya musuh sama orang jadi rada gimana gitu,
nggak enak. Kita tau, nggak mungkin dengan mengaharapkan dia yang andil, tentu
kita sendiri yang harus turun tangan kalau dia pakai cara ngediamin gitu,
Masa kita
harus ego kayak dia? Masa api dibalas api? Yah, kebakaran jadinya.
Bagi orang
yang pikirannya rada benar, mungkin akan intropeksi dengan ngikutin alur
mainnya, sampai ketemu mungkin salahnya di mana. Lah kalau si korban tuduh
stigma kayak gitu pikirannya rada nggak benar? Pasti akan ikut jadi api, terus
panasnya ia bagi rentet bakarnya pada siapapun, hasud pada siapapun yang
sekiranya masih orang-orangnya. Kan jadi nggak benar cara ngingetin kayak gini.
Efeknya malah lebih panas.
Nggak tau,
gua bingung aja ada orang yang kayak gitu.
Ah, taulah!
Lu kenapa
sih diam bae?
Marah?
Lapar?
Mules?
Apa salah
gua?
Komentar
Posting Komentar