Melati

“Di sini nggak boleh baca buku selain pelajaran, Kak!”

Sungguh gua kaget. Juga sedikit sesak yang tiba-tiba muncul bersarang di dada. Entah kenapa, begitu menaruh hati pada mereka.

Beruntungnya gua bisa belajar bareng dengan anak-anak tsanawiyah itu. Meski nggak sering, tapi cukuplah untuk dibilang teratur. Kita sharing-sharing tentang buku bacaan yang bagus, cara menulis yang baik, manfaat membaca dan menulis, juga tentang cerita orang-orang hebat yang menjadikan pena dan kertas adalah teman hidup.

Mereka senang-senang aja mendapat hal baru, sedikit menepi dari kesumpekan monoton kegiatan pondok. Jangan tanya gua, senyum mereka dan wajah polos saat bertanya adalah arti bahasa yang sederhana.

Tentu sama harus dikerahkan, dicoba untuk semua unsur belajar; membaca, menulis, mendengar, berbicara. Bukankah seperti ucap dosen Studi Indonesia yang rajin itu?

Membaca, menyampaikan materi dengan menulisnya di papan tulis putih besar kelas itu dengan bahasa sesederhana mungkin. Biarkan mereka membaca tulisan papan yang berusaha gua tulis sebagus dan sejelas mungkin pula.

Menulis, pastinya mereka harus menulis, menyalin dari apa yang ada di papan tulis itu. Tentunya gua harus sabar, perlahan untuk lanjut tulis materi selanjutnya; menunggu mereka selesai menulis. Tentunya juga untuk tugas di akhir jam dan mengumpulkannya di pertemuan selanjutnya; tentang materi tadi.

Mendengar, gua juga harus menjelaskan dari apa yang tertulis. Merubah huruf-huruf tegak itu menjadi suara ringan agar mudah diterima. Menyesuaikan dengan bobot bahasa mereka. Nggak hanya itu, untuk mendukung materi dan menambah ghirah mereka, gua menceritakan dari buku-buku yang gua bawa; buku-buku yang nggak diperkenankan di sana.

Berbicara, gua bilang berkali-kali, jangan pernah malu dan jangan pernah takut untuk bertanya. Jika belum ada yang dipaham, ya ditanyakan. Begitu juga, jika mereka tau, memiliki pendapat, silahkan diutarakan. Malah di luar dugaan, mereka begitu antusias. Gua jadi pusing sendiri.

Sungguh nggak banyak yang bisa gua katakan selain dari senang dan beruntung bisa bertemu, belajar bareng mereka. Bagaimana mereka memperhatikan, mereka bertanya, mereka berpendapat, ataupun juga rengek nggak sabar mereka minta diceritakan dari buku yang gua bawa, buku berbeda di setiap pertemuan.

Lalu yang disayangkan dari anak-anak hebat itu adalah lagi-lagi soal peraturan pondok pesantren yang membuat gua harus menarik nafas panjang. Bukan hanya tentang nggak boleh baca buku selain pelajaran, mereka juga nggak boleh memiliki buku-buku seperti novel, antologi cerpen, ataupun opini-opini ilmiah buku penulis hebat bangsa ini. Mungkin maksudnya bagus, agar para santri fokus terhadap pelajaran. Meski setiap buku itu mengandung pelajaran, yang dimaksud pelajaran di sini adalah kitab-kitab dan lks-lks sekolah formal.

Ya kalau udah begitu, gua bisa apa? Sam’an wa tho’atan.

Tapi nggak hanya itu, selain tentang buku dan baca membaca itu, rada susah diterima bersih pikir dan dada lapang bahwa kenyataannya mereka juga dilarang untuk menulis, mempunyai tulisan di luar pelajaran.

“Disitanya itu pas kami lagi kegiatan. Karya aku aja se-binder disita keamanan!” Tutur seorang gadis kecil itu. Wajahnya polos, ucapnya ekspresif.

Sungguh nggak bisa dibayangkan kenyataan itu, penghalang ini benar-benar jelas. Meski kegiatan ini dirasa sia-sia, gua tetap harus menyalakan api semangat dan minat mereka pada literasi. Bagaimana agar mereka tetap semangat membaca dan menulis. Tentu untuk kembang bakat mereka. Nggak ada perjuangan yang nggak mudah. Apalagi dalam hal belajar. Nggak muluk-muluk soal hasil, kita hanya perlu usaha dan berproses.

Ini bukan mengajar, tapi belajar. Ya karena kenyataannya gua dan mereka belajar. Gua belajar dan mereka, mereka belajar dari gua. Belajar bareng. Nyatanya, gua jadi tau apa itu plot twist, hal yang sebelumnya gua belum tau.

Nggak hanya itu, gua juga benar-benar belajar dari mereka. Mereka adalah wadah belajar gua. Gemasnya melihat gadis-gadis kecil transisi dari masa kanak-kanak ke remaja, lengkap dari kelas tujuh sampai sembilan. Gua yang sedari kecil hanya mengenal perempuan dari sosok ibu dengan kenyataan ayah, gua, juga kakak dan adik yang kesemuanya laki-laki, karena mereka gua jadi belajar dan tau akan sikap dan sifat perempuan. Bagaimana mereka ingin didengar, bagaimana mereka ingin dimengerti. Tatapan dan ucapan mereka membuat gua harus belajar banyak tentang psikologis perempuan. Walau ini dalam lingkup jenjang umur 11 sampai 14. Meski begitu, bukankah perempuan ya tetaplah perempuan?

Nggak kebayang akan semua perjuangan seorang guru. Beratnya jadi orang tua.

Panjang umur segala hal-hal baik.

Teriring do’a dan limpah kebaikan untuk orang-orang baik di manapun mereka berada.

Allahumma inni a’udzubika min ilmi la yanfa wa qolbi la yakhfa wa amalin la yurfa wa du’ain la yusma.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar