Adonan
Mungkin banyak orang yang lu kagumin. Setiap kelebihan adalah unsur penyebab eksistensi kagum itu sendiri. Pasti berbeda. Dan terkadang juga kagum berujung iri. Tak jauh beda. Munculah bayang artis idola, pemain bola, seniman, atau siapapun itu. Mulai dari penglihatan mata, banyak tarik nafas dalam-dalam. Sebut, mungkin ada yang ngidolain rafathar. Awalnya, wih, wih, wih. Lalu, “enak, ya jadi rafathar!”, “andai jadi rafathar!” Haha. Paan si. Jadi iri.
Sama halnya santri jika melihat kiai, gus, ning, atau
habaib sekalipun. Tak apa. Beda eksoteris tak perlu bersiteru. Masing-masing
punya pandangan, punya alasan. Tapi, bahayanya dari runtut pembahasan ini
adalah jadi tak percaya kita akan jalur keturunan. Menyalahkan kenapa jadi
keturunan ini dan tidak jadi keturunan itu. Nasab bukan barang belian!
Tak seharusnya lebay dan berlebihan akan pembahasan
ini, mungkin kita kalah akan nasab. Dibanding mereka, kita orang biasa. Tapi,
bukankah sukses untuk semua orang? Mungkin kita tak bisa seperti rafathar yang
baru lahir langsung kaya atau mereka dengan back up-nya yang terjamin; ayah,
ibu, atau buyut-buyut. Kalau ada apa-apa, enak tinggal bilang, ‘gua anak si ini!”,
“gua anak si itu!” Meski tak ada yang perlu dilebihkan hebat akan ngemis dan
waris bangga dari keluarga, gua cukup tau aja. Harusnya bisa nepuk dada atas
keringat dan darahnya sendiri, di atas kaki sendiri!
Sekarang, fokus pada diri. Jika nasab tak bisa
diandalkan, menurut gua, nasib lebih universal. Fokus dan serius untuk semua
mimpi lu. Buktiin, tak ada yang perlu berlebihan akan nasab. Kita juga bisa
sukses. Toh, Allah melihat semua usaha dan do’a kita. Dilihat taqwanya. Bukan
anak siapa, cucu siapa.
Emang kalau bapak lu makan, lu bisa ikut kenyang? Bapak
lu pintar, apa ngejamin lu juga bisa ikut pintar? Belajar! Jangan bangga sama
apa yang menempel di bapak lu. Toh, sekalipun mereka tunduk hormat, hanya
semata-mata mandang bapak lu. Bapak lu mati? Hormat lu hilang.
Halah, manusia banyak omong. Kurang punya malu. Hanya
ego dan gengsi yang melulu. Potensi diri dan valuenya tak terlalu penting.
Kalau emang sekiranya lu bukan anak siapa-siapa, jadiin anak lu jadi anaknya
siapa-siapa! Ubah nasib, terubah pula nasab.
Tarik nafas, hilangkan dulu tegang pada tulisan ini.
Maaf.
Kembali. Lalu jika ada yang bertanya, “tapi kan
bukannya nasib sudah ada yang ngatur? Rezeki, sehat, jodoh, dan umur?”
Benar, tapi kurang tepat.
Di pesantren, sejak kelas bawah, kita sudah diajarkan
bahwasanya takdir itu terbagi dua; mubrom dan muallaq. Ada takdir yang tetap,
ada yang tak tetap. Ada takdir yang tak bisa diubah, ada yang bisa diubah. Umur
itu takdir tetap dan bodoh adalah takdir yang tak tetap. Jadi, dengan segala
usaha dan sungguh, seorang yang bodoh bisa jadi pintar. Dan sukses itu pun
takdir yang bisa diubah. Usaha!
“Kalau sifat, Bang? Takdir apa?” Tanya-nya.
“Maksudnya?”
“Katanya, ‘kok sifat kamu berubah?’”
Lah?
Komentar
Posting Komentar