Palu
Dalam hidup nggak terlepas dari peraturan. Karena memang pada dasarnya, peraturan menurut gua, konsep dasar adanya peraturan itu ada 2; ada peraturan untuk mengantisipasi kasus yang kemungkinan terjadi. Ada juga, adanya timbul kasus terlebih dahulu, baru diciptakan peraturan untuk menanggulangi kasus agar nggak terulang kembali.
Tapi,
bagaimana pun peraturan nggak menutup kemungkinan bisa diselewengkan oleh
kekuasaan. Nggak menutup kemungkinan lagi hal itu terjadi di pondok pesantren,
tempat hidup dan berkembang biaknya telur pemikiran kitab adzifa anil wathon
dan idhotun nasyi’in.
Kesel aja
gua sama orang-orang sok jago, sok berkuasa, sok paling capek. Masa sepeda gua
dibuang ke comberan. Lu jangan pada ketawa. Mau gua tampol? Nggak tau orang lagi
kesel apa!
Sebelum lu
berkesimpulan, lu harus dengar dulu kronologi cerita dari gua. Pasti lu paham
kenapa gua berhak marah. Lu juga berhak ikutan marah setelah dengar ini.
Jadi gini.
Di pondok untuk soal sepeda itu udah ada parkirannya. Parkiran sih parkiran,
tapi prosentase banyak sepeda dan luas parkiran itu nggak sebanding. 1:2. Meski
cuma mahasiswa yang boleh punya sepeda, tapi kan tau sendiri kalau mahasiswa
juga nggak sedikit jumlahnya. Kebayang semrawutnya kayak apa. Ada yang parkir
madep sini, miring sono, ada yang ambruk. Apalagi secara kalau mau ngobok kaki
bagi yang nggak pakai sandal ya jalurnya emang harus lewatin parkiran itu.
Mendadak ninja warior dulu.
Dengan
menimbang agar memudahkan tim kobok dan sepeda gua biar nggak lecet, gua pindah
parkir ya kan. Akhirnya gua parkir di belakang Warung Pak Heng. Secara emang
ada lahan kosong dan di situ biasa dijadiin parkiran.
Lah kok,
malam-malam pulang madin, gua dibilangin, “Bat, sepeda lu dibuang ke comberan!”
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Si Biang Kerok.
Pas gua
lihat, emang sepeda gua udah nyemplung di comberan yang ada di belakang warung
itu. Bareng sepeda lainnya.
Yang bikin
gua kesel nih, pertama emang karena fasilitas parkiran yang nggak memadai.
Kedua, ya karena parkiran darurat belakang warung itu. Kalau emang di situ
nggak boleh parkir, harusnya dikasih peringatan. Lagian juga dari dulu
aman-aman aja.
Kalau emang
mau ngamalin kata kitab soal konsep amal ma’ruf nahi munkar yang dimulai dengan
tangan, kalau nggak mampu dengan lisan, dan kalau masih nggak mampu yaitu dengan
inkar fi qolbi. Tapi, apa itu relevan diterapkan di setiap kondisi dan
tempat? Apa bedanya dengan golongan garis kiri yang dikit-dikit takbir itu.
Kan kalu
lihat konsep penerapan peraturan dari lingkup sosial, kan harus ada peringatan
tertulis, entah dalam undang-undang atau lainnya. Lalu, kalau emang terbukti
melanggar, ya ditegur, diingatkan. Terus jika masih ngeyel, baru tindak. Toh,
ini cuma masalah sekecil hal sepeda. Otoriter sekali orang itu.
Lah ini,
larangan tertulis nggak ada. Omongan nggak ada. Tiba-tiba main buang aja sepeda
orang. Yang bikin tambah kesel, kenapa cuma sepeda-sepeda doang? Kenapa nggak
motor juga yang jelas-jelas ikutan parkir di situ? Kan motor juga ada
parkirannya sendiri.
Berantem lah
ayo!
Kalau nggak
salah ngapain gua takut?
Penguasa
dzolim.
Naar.
Komentar
Posting Komentar