Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2024

Belakang

Apapun yang terjadi, harus diterima dan disyukuri. Dalam hal pesantren, santri, dan liburan: banyak hal yang terbahas. Mungkin semua menarik. Tapi bagaimanapun, memilih nahun atau pulang, pondok atau rumah, ini menjadi hal rumit bagi sebagian orang. Meski banyak sekali narasi materi, serta contoh dan bukti perihal nahun yang luar biasa. Bisa ditarik dan dalam naung tirakat, santri ya seharusnya tirakat. Sungguh beruntung santri yang mengikuti jalan aur kiainya, para ulama sholeh.  Tapi, bukan berarti memilih atau dipaksa pulang sekalipun, -tanpa kebaikan. Semua pasti ada landasan alasan. Dengan begitu, gua mencari argument penguat.  Nggak perlu jauh-jauh dan mengaku, dari telinga yang gua dengar, guru gua pernah bilang: “Kalian, jika ada kesempatan pulang, ya pulanglah! Mumpung masih ada orang tua, terutama ibu.” Ucap Habib Muhammad bin Abu Bakar Al-Habsyi. “Pulang! Ngapain sih nggak pulang? Emang ketemu orang tua, lihat wajah, cium tangan, dan nyenengin hati orang tua, nggak barokah?”

Depan

Pertama, segala sesuatu itu diciptakan berpasang-pasangan. Kedua, nggak mungkin Allah hanya memberi senang aja. Ketiga, pasti ada maksud di setiap hal. Di detik ini gua belajar. Waktu liburan, seharusnya libur. Seharusnya sih gitu. Meskipun kenyataannya tetap ada kerjaan di waktu libur dan nggak pulang ikut rombongan. Sejujurnya, gua pengen tetap di pondok. Nggak pulang dan memilih lebaran di sini. Tentu semua punya alasan, tentu semua punya tujuan. Tapi, apa? Di saat yang tinggal menghitung hari untuk libur itu dan mulai mengaktifkan alasan juga tujuan, maklumat itu diputuskan: GUA HARUS PULANG! Dengan tanpa menimbang pentingnya pembahasan, "kenapa takut pulang?" dan "ngapain di pondok?" Dirasa emang nggak perlu dibahas, gua lebih tertarik ke hal lain. Mungkin suatu pencapaian penting dalam hidup, jika kita menemukan tantangan baru dan ternyata mampu. Sejujurnya gua baru kali ini naik bis sendirian. Karena memang, hidup di keluarga yang sangat menjunjung tinggi kep

Romantis

Suatu hari, kamar ramai aja. Ya, meskipun setiap hari perihal ramai nggak bisa dihindari dan macam-macam, seenggaknya ini cukup mengganggu, mungkin juga penasaran. Perihal apapun yang terdengar, diantar gelombang infrasonik pada telinga-telinga yang merindukan adzan maghrib. Meski dirasa cukup rendah, jika berkali-kali dan terulang? Mungkin ada peluang. Udah menjadi kebiasaan, media sosial selalu menimbulkan obsesi yang berlebih bagi sebagian orang. Terutama pada abang-abang kamar yang mendapatkan kewenangan dan fasilitas hp di sela tanggungan kerjanya. Tiba-tiba aja manusia pemakan jagung itu berceracau dengan berkala. “Kita bikin romantis!” “Kita bikin romantis!” “Kita bikin romantis!” Gua tau, nggak mungkin sebuah lagu hanya berisi 3 patah kata aja. Lah tapi tuh orang, itu aja yang dinyanyiin. Nggak hafal atau gimana, entahlah. Gua tau perihal Edgar Dale’s perihal Cone of Learning , bahwa kita hanya bisa mengingat 10% dari yang kita baca, 20% dari yang kita dengar, 30%

Rimbun

Alhamdulillah, sungguh nikmat yang tiada terkira, atas nikmat yang terberi. Sebegitunya terasa, jika sejatinya kita lebih mendalami dan meresapi nikmat tersebut, lalu bersyukur dengan lisan, dalam hati, di setiap gerak tubuh perbuatan. Tiada kata, Ramadhan selalu memberikan arti dan kesan tersendiri bagi kita. Entah, apapun, semua terasa indah lagi manis. Terutama, sebegitu terpukaunya kita saat menyempatkan berpikir atas hikmah di balik semua itu. Kenyataan yang menuntut untuk pulang di masa liburan ini, juga nggak bisa bareng dengan rombongan seperti biasa di setiap tahun, banyak hal yang berkesan. Sekecil dan sesederhana apapun. Entah untuk setiap waktu luang untuk sendiri, ataupun meluangkan waktu untuk bersama. Termasuk saat di atas tinggi bertabur hijau dan tenang itu. Semua tawa yang mengakasa lebih tinggi di atas 1340 mdpl, di sebalik pertemanan hampir 6 tahun, tetap terasa hangat. Gua rasa, tanpa perlu gua cerita, senang itu udah terasa. Pengennya gua cerita tentang ngayab yan

Kurma

“Bat, Bangun! Alarm lu bunyi tuh. Ini jadwal lu piket, kan?” Gua paksa bangun. Biasanya untuk berusaha agar tetap mele k: baca-baca atau nulis-nulis. Tapi, gimana lagi kalau udah terlanjur capek? Bising alarm aja nggak mempan. Burhan yang sepertinya habis dari kamar mandi spontan bangunin gua karena dering alarm itu. Ya, apalagi ini jadwal gua piket sahur. Kuat puasa mereka dipertaruhkan. Saat piket gini, kita harus bangun lebih awal atau paling tidak, memaksa begadang sam pa i datang waktu sahur. Melek, bangun, cuci muka berwudhu, dan menyempatkan sholat sunah. Orang islam nggak perlu kaget akan sholat! Di tengah temaram kamar dari lampu tidur, kita udah bergerak. Bersihin baskom rice cooker yang berkerak di keran. Dengan centong plastik itu, kita bergulat dengan sepi dan gelap malam, juga dengan kerak yang membatu. Berkosrak-kosrak di hening malam. Udah, kita ke kamar untuk beras dan takaran jumlah para shoimun di kamar. Lalu, k embali lagi ke keran untuk cuci beras. “Saya n

Peh!

Setelah banyak sekelumit hingga menjadikannya setumpuk tumpuk menumpuk perihal tanggungan diri, kerja penuh, di bulan Ramadhan: bulan ibadah dan libur, ya seharusnya begitu. Bukan maksud apa-apa, apalagi sampai bernada mengeluh untuk mengadu lalu menjadikannya tulisan. Bukan. Masih fine-fine aja jika itu emang tugas gua, meski dirasa tetap berat dengan terbaginya fokus kegiatan gua selain hanya kerja ini, selagi gua bisa dan usahain: mau nggak mau, itu harus. Sekali lagi dengan catatan: masih jobdes gua! Lah ini, apa-apaan? Masa semuanya dilempar ke gua? Emang penulis gua doang? Emang yang sibuk lu doang? Kalau mau dibilang capek, semua orang juga capek! “Nggak apa-apa, Bang. Kan lu anak fiksi! Masih basic, enak.” Ucap penulis itu. Meski sejujurnya emang gua yang lebih condong ke fiksi, tapi bukan berarti harus gua. Kan sama-sama penulis! Kenapa disuruh nulis kok malah menghindar dan melempar ke yang lain. Mungkin bukan gua yang terlalu basic fiksi, lu-nya aja yang nggak mau

Gigi

Suatu hari, manusia setengah takjil itu mengeluh mengaduh-aduh. “Aduh... Aduh...” “Ngapa sih, Wan?” Gua yang sedari tadi sabar, akhirnya gusar. “Ini nih, Bang. Gigi gua sakit banget.” Wajahnya Bakwan, begitu, amat, sangat, selalu, atau terlalu: sulit untuk dijelaskan dengan diksi yang normatif. Mungkin begitu komedi pasif. Dicukupkan dengan asumsi masing-masing. “Kok bisa? Emang lu makan, apa?” “Nggak tau, gigi gua emang bolong.” Telapak tangan yang memeluk pipi kirinya, kembali, semakin erat. “Gigi lu sensitif itu, kena gusinya. Gua bilang juga apa, jangan ‘berbukalah dengan yang manis!’. Karena yang manis nih biasanya nyakitin.” “Apaan sih, Bang?! Puasa malah eror!” Rasa nyeri itu, ditambah percakapan ini: mungkin menguras banyak sabarnya. Mungkin juga udah berniat batal, terus makan 5 nampan. “Serius, yang manis nih nyakitin. Karena kemarin sering buka pakai yang manis, nyatanya gigi lu sakit kan? Tapi harusnya, ‘berbukalah dengan yang setia!’ Biasanya yang setia m

Toa

“Ngaji apa?” “Nashohihul Ibad.” Jawabnya. ** Dengan mendengar nama kitab karangan Syekh Nawawi al-Bantani itu, ingatan gua di bawa jauh ke Ramadhan-Ramadhan belakangan. Cukup terkenang. Suatu hari di bulan, Si Hamdun ngajak gua ngaji kitab itu. Kebetulan karena gua punya kitabnya, ternyata orang yang akan mengisi pengajiannya adalah Pak Muslim! Sejujurnya beliau adalah dzuriyyah pondok besar ini, tepatnya dzuriyyah unit HY. Tapi, kok kenapa gua manggil beliau dengan sebutan pak? karena memang beliau adalah salah satu guru gua di MA, mapel Ke-NU-an. Dan umurnya, nggak begitu tua. Masih selayaknya seorang bapak-bapak yang gagah. Dan sejujurnya juga, hal besar yang melandasi gua ikut pengajian itu karena penasarannya gua: bagaimana sih, sosok yang ramah dan friendly seperti Pak Muslim jika sedang menyandang status dzuriyyah dan mengajar ngaji? Mungkin niat yang cukup buruk kala itu. tapi, bagaimana lagi? Itu yang terjadi. Memang seperti itu kenyataannya. Akhirnya, dengan s

Chijeu

Karena jam malam terlihat kosong dari kegiatan, mungkin juga karena tontonan konten mukbang waktu siang saat sedang lapar dan haus-hausnya dahaga: membawa ban onthel gua untuk berputar, sehabis tarawih dan mandi, sendirian. This is me time! Pakai jaket, mutar-muter nggak tentu arah ngikutin sejuk udara malam. Melewati satu bangunan ke bangunan lain, berselip di antara para pengendara. Aslinya, cukup senang aja menikmati suasana malam Ramadhan, melihat sibuk dan ramainya orang-orang. Berusaha mencari gambaran lain dari pondok, dari hanya berkutat ngaji dan kitab. Ya, walaupun sejujurnya tetap aja ada ingin untuk apa yang disebut jajan. Kayuh, kayuh, melewati satu per satu jajar tukang jajanan yang sekiranya cocok dengan rengek lidah, juga nggak melanggar konstitusi dompet yang ditetapkan. Di sisi lain, tukang jajanan mana yang tempatnya enak buat makan sendiri dan ngelamun. Akhirnya, sesosok grobak kebab turki terlihat memanggil kesepian, di pinggir pelataran indomart. Kelihatan

Nyam

Saat-saat puasa seperti ini, semua hal menuntut gerak untuk melambat, memberat, lalu lemah lemas tergelatak rebahan tanpa daya. Nggak ada yang perlu ditanggapi secara berlebihan untuk rebahan di saat puasa, sedangkan tidurnya aja dihitung ibadah? Apalagi di satu sisi, semua tanggungan dan kegiatan harian sudah terlampaui. Memang seperti itu siklusnya, saat semua kerjaan di depan layar udah selasai atau bahkan memuaskan, waktu beralih untuk hal-hal yang mengundang refresh dan mood booster. Mampir ke laman website, link-link film, hingga ke youtube. Untuk youtube pun seperti itu: makin ke sini, makin ke sana. Mulanya untuk konten kajian dan self improvement, lalu ke podcast, stand up, hingga bermuara ke konten-konten mukbang. Bukan apa-apa, sesiang ini dan suara keceplak-keceplak ngunyah ? Nggak boleh? Sejujurnya, nggak ada rasa menyerah atau bahkan sampai mau batal puasa. Nggak, sama sekali. Kan nggak mungkin juga, karena habis nonton konten mukbang, terus tiba-tiba lari cari as