Kurma

“Bat, Bangun! Alarm lu bunyi tuh. Ini jadwal lu piket, kan?”

Gua paksa bangun. Biasanya untuk berusaha agar tetap melek: baca-baca atau nulis-nulis. Tapi, gimana lagi kalau udah terlanjur capek? Bising alarm aja nggak mempan.

Burhan yang sepertinya habis dari kamar mandi spontan bangunin gua karena dering alarm itu. Ya, apalagi ini jadwal gua piket sahur. Kuat puasa mereka dipertaruhkan.

Saat piket gini, kita harus bangun lebih awal atau paling tidak, memaksa begadang sampai datang waktu sahur. Melek, bangun, cuci muka berwudhu, dan menyempatkan sholat sunah. Orang islam nggak perlu kaget akan sholat!

Di tengah temaram kamar dari lampu tidur, kita udah bergerak. Bersihin baskom rice cooker yang berkerak di keran. Dengan centong plastik itu, kita bergulat dengan sepi dan gelap malam, juga dengan kerak yang membatu. Berkosrak-kosrak di hening malam. Udah, kita ke kamar untuk beras dan takaran jumlah para shoimun di kamar. Lalu, kembali lagi ke keran untuk cuci beras. “Saya niat bersihkan kotor hati dan pikiran saya, ya Tuhan!”

Dicolok dan ditekan, tombol cook itu menyala.

Tak hanya sekali, perbedaan kultur dan tekad, menjadikan kubu sahur pun berbeda. Setelah masak beras putih, gua harus masak beras kuning, beras jagung bagi mereka yang ngerowot. Step itu terulang. Nampan-nampan menunggu butir nasi-nasi itu kembali pulang.

Tak hanya itu, tak mungkin sahur tanpa lauk. Bukan tak bisa masak. Lebih tepatnya karena tak memungkinkan kompor, bumbu dapur, dan izin pondok. Jadi, terpaksa harus beli lauk. Mencari warung-warung yang sudah buka sedini ini. Pondok induk sudah libur, hanya menyisakan beberapa warung yang buka dengan penjaganya yang memilih tak mudik dengan berbagai alasan. Dan belum tentu boleh untuk, kang, beli lauknya aja!

Akhirnya memilih keluar pondok, memilih warung-warung kecil pinggir jalan. Motor yang sengaja dipinjamkan untuk suksesnya sahur ini, berjalan melandai. Bukan tak berani ngebut, tapi siapa yang kuat jika dingin menyambut? Kediri begitu sepi di malam hari. Juga hati ini.

Setelah beli lauk secukupnya, langsung pulang dan menyiapkan semuanya: nasi, lauk, nampan, air, dan membangunkan dari lelap-lelap mereka. Rasanya nggak perlu gua ceritain perjuangan bangunin para Abu Naum dan membangkainya mereka. Lelahnya mereka habis berbagai ibadah.

Kalau bersusah payah gini, kita jadi ingat ibu kita di rumah. Bagaimana ia menyiapkan sahur dan memasaknya di tengah malam. Melawan kantuk, melawan dingin, melawan lelahnya badan. Tanpa lupa qiyamul lailnya, ia membangunkan suami dan anak-anak. Ia masuk ke kamar kita, mengusap kepala kita, Nak, bangun. Ayo kita sahur!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar