Rimbun

Alhamdulillah, sungguh nikmat yang tiada terkira, atas nikmat yang terberi. Sebegitunya terasa, jika sejatinya kita lebih mendalami dan meresapi nikmat tersebut, lalu bersyukur dengan lisan, dalam hati, di setiap gerak tubuh perbuatan.

Tiada kata, Ramadhan selalu memberikan arti dan kesan tersendiri bagi kita. Entah, apapun, semua terasa indah lagi manis.

Terutama, sebegitu terpukaunya kita saat menyempatkan berpikir atas hikmah di balik semua itu.

Kenyataan yang menuntut untuk pulang di masa liburan ini, juga nggak bisa bareng dengan rombongan seperti biasa di setiap tahun, banyak hal yang berkesan. Sekecil dan sesederhana apapun.

Entah untuk setiap waktu luang untuk sendiri, ataupun meluangkan waktu untuk bersama. Termasuk saat di atas tinggi bertabur hijau dan tenang itu. Semua tawa yang mengakasa lebih tinggi di atas 1340 mdpl, di sebalik pertemanan hampir 6 tahun, tetap terasa hangat.

Gua rasa, tanpa perlu gua cerita, senang itu udah terasa.

Pengennya gua cerita tentang ngayab yang lain, setelah ditulisnya tulisan ini, terhitung yang kedua kalinya: bertamu ke rumah beliau, Pak Ali Imron.

Perkenalan sekilas, beliau adalah mustahiq kelas tamatan di pondok ini, berpengalaman, cerdas, dan memiliki selera humor tinggi. Penuh ta'zhim buat beliau.

Hal yang mengalasi bertamu ini, karena beliau adalah bagian dari puluhan orang dalam ruang lingkup sosial yang sama: penghuni, atau pernah menghuni kamar M. 12 tercinta ini!

Semua bermula dari acara buka bersama kamar kami, penghuni kamar dan turut mengundang orang-orang lama selaku penghuni lama yang udah nggak menghuni, sekarang. Mungkin bernada temu kangen.

Lalu, dari monster rawa yang tersisa, memunculkan ide itu, " Bat, sahur di rumah Pak Ali, yuk!"

Ide itu tersiar luas dan jelas, untuk seluruh penghuni lama.

Dengan kenyataan gua yang belum pernah ke sana, terbayang kesan seru, dan cekik akhir bulan, ide itu terdengar menarik dan cemerlang!

Di pertemuan pertama, tentu ramai. Karena memang yang datang pun ramai. Terutama dari golongan beliau-beliau, para panutan. Obrolan dan bercandaan nggak terelakan. Termasuk gagal bersamanya mulut gelas dengan mulut itu karena adzan subuh memutus takdir, tapi malahnya menyambung gelak dan ledak: sahur tanpa minum, puasa di bawah minimum.

Tapi, dibanding pertemuan pertama yang hanya numpang makan, di bertamu yang kedua ini berkesempatan untuk merasakan rasanya asin lain selain garam: keringat masak.

Karena menimbang beliau seorang peternak dan akan pulang kerumah, khawatir akan semua ternak, ide menyembelih bantai habis ayam satu kandang adalah kemaslahatan.

Dan semua dimulai dari ngejar, nangkap ayam-ayam. Dari 3 ayam Bangkok yang tersisa, semua diangkut masuk ke dalam list pembantaian jagal. Penuh berkah, ayam-ayam tinggi besar itu langsung disembelih beliau.

Darah mengalir.

Rebus air, rendam ayam, cabut bulu, urus jeroan, dan potong memotong sesuai ukuran: mungkin asosiasi tukang ayam internasional auto mengsedih melihat ukuran hasil potongan ayam-ayam itu yang dilandasi feeling dan dibalut kreativitas tanpa batas!

Potongan ayam itu direbus sampai empuk dan kaldunya. Step selanjutnya ialah, perihal bumbu!

Dengan kenyataannya, masak kali ini bukan sekedar masak-masakan. Nge-chef ini langsung ditemani Kang Rizal selaku chef asli! Seenggaknya sedikit tertolong dari kehancuran bumbu masakan itu.

Mungkin sedikit berbaik dan berbagi untuk listnya: bawang merah, bawang putih, cabai, kunyit, ketumbar, garam, mecin, royko, minyak, air kaldu rebusan ayam dan 2 bungkus bon cabe level 50!

Untuk takaran, mungkin rahasia dapur!

Sambil menunggu ayam direbus, bumbu-bumbu itu digoreng setengah matang: sampai berwarna emas dan harum. Lalu diblender, dan kembali ditumis. Semua bumbu masuk, semasuknya semua ayam.

Jika lauk dan per-ayam-an dirasa aman, semua beralih ke per-nasi-an. Cuci beras dan terkait takaran, lalu cook, sampai warm. Lalu pada nampan-nampan. 

Tralala, menu ala-ala siap disajikan!

Tak lupa, 2 bungkus es buah itu pun tetap disantap berenam kepala: tetap pada manis, segar, dan kekeluargaannya.

Meski beliau dan Kang Rizal nggak langsung makan yang hanya berbuka dengan es dan rokok, sekelompok gua nggak membantah akan perintah, "awakmu Kabeh mangan'o disek!"

Bukan maksud membanggakan hasil tangan sendiri, sejujurnya, masakan itu enak banget! Bahkan lebih enak dari menu bertamu pertama, yang dimasak oleh chef masyhur.

Bahkan, nggak dibuat-buat, pada sesampainya beliau makan, sehabis terawih.

"Masakannya pripun, pak? Keasinan, mboten?" Tanya gua ketar-ketir, sedikit menunduk ragu.

"Nggak, aman kok Iki. Enak-enak!"

Alhamdulillah.

Di sela nyam-nyam belakangan, mungkin ada saksi mata yang nyeletuk bingung geleng-geleng kepala penuh heran terpukau,

"Bat, lu makan banyak banget. Lapar atau kesurupan?"

Haha. Mungkin ngajinya kurang lama, kitabnya kurang tebal!

"Makanan orang alim itu obat!" Sanggah Imam Syafi'i untuk kritik banyaknya porsi makan saat bertamu ke rumah gurunya, Imam Malik.

Intaha.

Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar