Gigi

Suatu hari, manusia setengah takjil itu mengeluh mengaduh-aduh.

“Aduh... Aduh...”

“Ngapa sih, Wan?” Gua yang sedari tadi sabar, akhirnya gusar.

“Ini nih, Bang. Gigi gua sakit banget.”

Wajahnya Bakwan, begitu, amat, sangat, selalu, atau terlalu: sulit untuk dijelaskan dengan diksi yang normatif. Mungkin begitu komedi pasif. Dicukupkan dengan asumsi masing-masing.

“Kok bisa? Emang lu makan, apa?”

“Nggak tau, gigi gua emang bolong.” Telapak tangan yang memeluk pipi kirinya, kembali, semakin erat.

“Gigi lu sensitif itu, kena gusinya. Gua bilang juga apa, jangan ‘berbukalah dengan yang manis!’. Karena yang manis nih biasanya nyakitin.”

“Apaan sih, Bang?! Puasa malah eror!” Rasa nyeri itu, ditambah percakapan ini: mungkin menguras banyak sabarnya. Mungkin juga udah berniat batal, terus makan 5 nampan.

“Serius, yang manis nih nyakitin. Karena kemarin sering buka pakai yang manis, nyatanya gigi lu sakit kan? Tapi harusnya, ‘berbukalah dengan yang setia!’ Biasanya yang setia mah nggak nyakitin, malah ngobatin.”

“Ah, makin nggak jelas lu, Bang. Nih, air nih! Minum!”

Ledak sudah.

Segelas air disodorkan ke mulut gua. Lalu Si Bakwan, pergi dengan mangkel yang nggak tertahan. Tetap dengan nyeri dan megang pipinya. Haha.

Wah!

Yah!

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar