Peh!

Setelah banyak sekelumit hingga menjadikannya setumpuk tumpuk menumpuk perihal tanggungan diri, kerja penuh, di bulan Ramadhan: bulan ibadah dan libur, ya seharusnya begitu.

Bukan maksud apa-apa, apalagi sampai bernada mengeluh untuk mengadu lalu menjadikannya tulisan. Bukan. Masih fine-fine aja jika itu emang tugas gua, meski dirasa tetap berat dengan terbaginya fokus kegiatan gua selain hanya kerja ini, selagi gua bisa dan usahain: mau nggak mau, itu harus.

Sekali lagi dengan catatan: masih jobdes gua!

Lah ini, apa-apaan? Masa semuanya dilempar ke gua? Emang penulis gua doang? Emang yang sibuk lu doang? Kalau mau dibilang capek, semua orang juga capek!

“Nggak apa-apa, Bang. Kan lu anak fiksi! Masih basic, enak.” Ucap penulis itu.

Meski sejujurnya emang gua yang lebih condong ke fiksi, tapi bukan berarti harus gua. Kan sama-sama penulis! Kenapa disuruh nulis kok malah menghindar dan melempar ke yang lain. Mungkin bukan gua yang terlalu basic fiksi, lu-nya aja yang nggak mau belajar dan ngimbangin supaya bisa dan punya basic fiksi. Nyatanya, non fiksi pun gua belajar, gua tetap kontribusi dan aktif.

Hal ini bukannya malah sebagai bumerang ke gua soal penulis nggak mau nulis, bukan. Pertama, gua udah ada job sendiri. Kedua, kalau emang ada job tambahan dan mendadak, ya bagi-bagi biar rata, bukannya malah dilempar ke gua semua

Terserahlah!

Setau gua, orang sukses nggak butuh banyak alasan.

Jalanin, gua ambil baiknya aja.

Dengan segala tugas individu, perihal semua tugas di sebelum Ramadhan, pas Ramadhan, hingga nanti job pas liburan pun udah dibagi dan jelas. Terutama soal tulis menulis. Tapi ya bagaimana lagi, namanya jurnalis ya tetap kerja, nggak lepas dari alur kondisional. Jadi kalau ada job-job yang tiba-tiba, mendadak, banyak, dan harus selesai cepat, nggak usah kaget.

Yah, tanpa berdosa atau mungkin sungkannya mereka yang tiba-tiba,

“Bat, bikinin naskah short movie!”

“Bat, bikinin teks puisi tentang akhir Ramadhan!”

“Bat, bikinin jadwal rubrik website!

“Bat, urus bukber follow up!”

“Bat, list rekaman wawancara narasumber!”

“Bat, siapin gambaran konsep penulisan pembukuan!”

Meskipun yang akhir-akhir nggak terdengar fiksi, tetap aja dilempar dan harus gua yang ngurus. Juga perihal, “Bang, gua minta tulisan microblog!” yang mungkin terdengar beda antara ‘Bat’ dan ‘Bang’ karena memang Sang Editor masih kehitung maba, ya nggak apa-apa selagi emang jadwal gua. Tapi, ya nggak bilang tiba-tiba dan harus besok. Kan udah disepakati alur kapan nulis, kapan deadline, kapan lempar editor, kapan upload. Untung masih ada beberapa judul tulisan di tabungan yang bisa dipakai: ya meskipun jangan nyalahi kalau pembahasannya rada nggak sesuai ekspetasi. Tapi, bukannya olahan tetaplah olahan di tangan yang sama? Okelah.

Dan, ini nih, yang nggak habis fikri dan di luar nurul dengan kenyataan di tanggal yang tiket pulang udah gua pesan: masih sempat-sempatnya, “Bat, besok ikut, yuk. Persiapin buat jadi MC!”

Wah!

Apalagi ini, Tuhan?

Dengan gua yang kesetanan untuk melibas habis semua tanggungan itu dengan manis, gua kira ya udah, tenang, tinggal mikir cucian terus nge-pack barang-barang dan pulang.

Setelah tanya-tanya apa maksudnya, perihal apa, dan bla-bla-bla lainnya yang malas untuk ditanyakan: ternyata itu bukan acara main-main!

Perihal MC, gua sebenarnya hanya diserahkan sebagai MC doorprize. Aman kan kedengarannya? Tapi, nyatanya nggak seindah itu!

MC doorprize itu ternyata nggak hanya sekedar membaca pertanyaan dan bagi hadiah. Ternyata konsepnya harus dibawakan dengan narasi dan komedi. Biar hidup suasananya, katanya.  Harus lucu, bagaimanapun caranya!

“Kenapa harus gua, Kang?” Bingung gua kala itu, mungkin juga bisa diartikan protes.

“Kan, lu paling bisa kalau soal beginian!”

Nggak taulah, pikiran gua udah terlanjur semrawut hanya dengan mendengar hal itu. Belum lagi buat coba mikir gimana konsep yang akan dibawakan nanti di acara. Masa mau pulang harus stres? Masa pulang jadi stres?

Bukan hanya itu, ini juga soal acaranya MEDIA PONDOK SE-JAWA TIMUR!

“Tapi, kan cuma lingkup Kediri?!” Tawar orang itu.

Kediri? Cuma katanya? Lah, hitung aja, ada beberapa pondok di Kediri?

Tapi, gimana lagi? Akhirnya setelah pertimbangan panjang: gua mau jadi MC, kalau Said diajak. Pikir gua, seenggaknya Said cukup aman buat dijadikan partner. Atau, lebih mending dibanding yang lain: nggak ada lagi.

Di sisi lain, ada hal yang cukup menampar untuk berusaha membuat gua sadar. Entah, gua yang suka menjadikan waktu senggang buat nonton stand up, plus segala teori dan kelas pendek dari sekian konten-konten di segala channel kreatif. Terutama perihal set up dan punchline di bab pertama dan inti, jadi mikir.

“Stand up kan bentuk cara mengutarakan maksud, dengan berdiri, dan lucu. Sama aja kayak MC beginian.” Pikir gua saat itu.

Mungkin ini cara Allah buat kasih kesempatan ke gua, supaya praktekin apa yang gua tau dan dalami selama ini. Mungkin Allah ngetes: seberapa senang sih gua sama stand up dan komedi?

Hal itu, akhirnya gua pikirin juga, dengan kenyataan Si Said mau dan konsekuensi mumet.

Sat set sat set, acara itu tiba!

Karena acara diselenggarakan di pondok besar, mau nggak mau, pondok unitnya harus ikut berkoordinasi dan bersinergi dalam kepanitiaann. Mungkin itu kenapa gua dan Said ditunjuk menjadi salah satu pihak yang andil dalam acara.

Di selepas ashar itu, acara diikuti oleh 15 pondok pesantren yang mengirim lebih dari satu perwakilan. Cukuplah untuk 100-an orang. Di pra acara, gua, Said, kang itu berawal menjadi penerima tamu. Terutama untuk mereka yang bukan bagian dari pondok besar dan unitnya. Acara itu, alhamdulillah, hadir jurnalis putra, putri, yang santri. Gedung besar itu ramai!

Sekilas gua merasa waw dan wah!

Keren!

Acara itu dimulai oleh MC perempuan membacakan susunan yang dimulai dari perkenalan nama, asal pondok, dan bagian apa di media. Hingga di bagian gua selepas Said, iseng aja gua selipin promo majalah keren pondok ini yang baru aja terbit di edisi 28 bertema politik, cuma 18 ribu dan full colour!

Haha, untuk pemesanan bisa lihat link deskripsi atau japri salesnya!

Selepas itu, sambutan perwakilan panitia, lalu sambutan atas nama pembina oleh Pak Zainul Haq: jurnalis senior, jurnalis hebat, jurnalis senior yang hebat.

Banyak hal yang disampaikan beliau. Perihal asal usul berdirinya organisasi ini, juga teknik, isu, dan tentu motivasi-motivasi.

Seharusnya ada doorprize, seharusnya ya sebelum adzan maghrib dan makan. Gua dan Said makin ketar-ketir menerka di setiap ujung akhir ucapan Pak Zein: semoga aja keburu maghrib, semoga aja nggak ada doorprize.

Hal yang mengalasi itu, semua hal yang udah gua perisiapin matang-matang dan penuh mumet, di sana seolah sirna dan pupus: nggak masuk. Bukannya apa-apa, audiens dan seluruh peserta di sana tua-tua! Wah, setelah tes ombak, kayaknya bukan panggungnya deh. Konsumsi gigi dan gusi muda berbeda dengan gigi dan gusi tua. Gimana nih? Joks benar-benar nggak masuk!

Akhirnya adzan maghrib itu terdengar, alhamdulillah. Terka gua kayaknya nggak jadi doorprize, karena memang setelah adzan terdengar, pasti langsung makan dan pulang. Awalnya gua kira begitu. Ternyata nggak. Selepas maghrib acara masih berlanjut dengan diskusi tanya jawab dan doorprize.

Untungnya, alhamdulillahnya, syukurnya tuh si kang-kang pengongkon akhirnya sadar: ruang ini memang bukan panggung gua. Karena selain beda objek, momen, kapasitasnya memang berbeda. Di luar itu, ternyata pertanyaannya harus diimprove dan harus sesuai perorganisasian yang tentunya di luar konsep. Di luar itu pula, ternyata doorprize ini sistemnya seperti moderator pembawa acara yang sangat jelas-jelas berbeda jauh dari yang direncanakan. Nggak kebayang jika gua dan Said benar-benar jadi MC dan ngisi doorprize: jadi perusak acara.

Tapi, hal yang bisa gua petik dan simpulkan, mungkin Allah ngetes mental gua dan balasannya gua jadi dapat pembelajaran dari acara ini: kenal orang-orang baru, acara dan keorganisasian lingkup besar, dan tentunya pembahasan.

Namun sayangnya, hal yang bikin cukup menyesakkan adalah gua yang nggak dapat tulisan keterangan apapun karena terlalu fokus atau mungkin ketar-ketirnya mikirin per-MC-an. Jadinya hanya bisa bersyukur dengan kepingan-kepingan yang terekam di pikiran. Terutama dari ucapan Pak Burhanudin selaku perwakilan panitia, Pak Zainul Haq selaku pembina, dan Pak Hudori selaku moderator.

“Acara ini menjadi wasilah kita untuk bertukar pikiran, pengalaman, dan kekeluargaan. Untuk membangun ukhwah di pesantren yang berbeda dengan tujuan yang sama!” Ucap Pak Burhan.

“Pesantren itu terdiri dari 2 unsur: pendidikan dan budaya. Tapi sayangnya, kebanyakan media itu hanya terfokus pada pendidikan pesantren, namun tidak pada budayanya.” Ucap Pak Zain.

“Jika pesantren kita mendapatkan stigma buruk yang seharusnya tidak, salah sasaran, pilihannya hanya ada 2: ikut menyerang atau bertahan. Sebaiknya pula melakukan klarifikasi.” Ucap Pak Dori.

Selain itu, banyak sekali hal yang ditanyakan dan didiskusikan dalam forum itu. Terutama tentang isu dan pengembangan. Bahkan, menariknya, isu viral perihal bullying suatu pondok yang berdampak pada kematian itu pun dibahas.

“Saya pun bingung, kenapa pihak lain, pihak luar itu begitu sentimen kepada pondok pesantren. Perihal kejadian yang jarang ini, begitu mudah naik. Padahal kejadian ini sebenarnya pun sudah lumrah dilakukan oleh instansi di luar pondok pesantren, tetapi isu ini jarang naik jika mereka yang menjadi subjek. Inilah tugas kita selaku media untuk kembali menunjukkan citra baik pondok, menunjukkan bahwa pondok adalah tempat belajar yang baik dan menyenangkan. Baik lewat konten vidio ataupun tulisan. Itu mengapa sempat ada postingan yang mengatakan, ‘jika ada hal jelek, jangan lihat pondoknya, tapi lihat orangnya!’” Jelas Pak Zain panjang lebar dan begitu persuasif, cukup memahamkan.

“Untuk perihal membangun eksistensial pondok, tentu jawabannya adalah konten. Anak media harus ngonten. Dan hal yang perlu diperhatikan, media pondok itu harus punya ciri khas dalam kontennya yang kemudian harus diarahkan ke 2 hal: mengikuti trend atau membuat trend!” Jelas Pak Zain lagi-lagi, kali ini perihal pengembangan media pondok.

Sebenarnya masih banyak hal yang dibahas dan bermanfaat, lagi berkesan. Tapi gua lupa! Nanti gua ingat-ingat lagi. Coba aja, waktu itu gua ikut nyatat: ah elah!

Banyak hikmah bagi mereka yang berani dan mau mencoba.

Gua jadi ingat ucapannya Sutan Sjahrir, Sang Diplomator:

“Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan!”

Ucapan itu sekaligus menutup tulisan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar