Depan

Pertama, segala sesuatu itu diciptakan berpasang-pasangan.

Kedua, nggak mungkin Allah hanya memberi senang aja.

Ketiga, pasti ada maksud di setiap hal.

Di detik ini gua belajar.

Waktu liburan, seharusnya libur. Seharusnya sih gitu. Meskipun kenyataannya tetap ada kerjaan di waktu libur dan nggak pulang ikut rombongan.

Sejujurnya, gua pengen tetap di pondok. Nggak pulang dan memilih lebaran di sini. Tentu semua punya alasan, tentu semua punya tujuan.

Tapi, apa? Di saat yang tinggal menghitung hari untuk libur itu dan mulai mengaktifkan alasan juga tujuan, maklumat itu diputuskan: GUA HARUS PULANG!

Dengan tanpa menimbang pentingnya pembahasan, "kenapa takut pulang?" dan "ngapain di pondok?" Dirasa emang nggak perlu dibahas, gua lebih tertarik ke hal lain.

Mungkin suatu pencapaian penting dalam hidup, jika kita menemukan tantangan baru dan ternyata mampu. Sejujurnya gua baru kali ini naik bis sendirian. Karena memang, hidup di keluarga yang sangat menjunjung tinggi kepedulian nggak semata-mata bisa bikin orang tua itu mudah melepas nasib 4 anak laki-lakinya pada alur dan alir. 

Rasanya sedikit menarik pembahasan ini dengan banyak hal penting yang pengen gua tulis. Tapi, sebagai penulis, tentu harus fokus dan konsisten. Jadi, ini aja dulu selesain, baru explore dan expose hal lain.

Itu kenapa, pas orang rumah tau bahwa gua jadi pulang, mereka senangnya bukan main. Mungkin karena lamanya waktu menunggu. 

Tapi, saat gua bilang, bahwa gua pulang nge-bis sendirian nggak ikut rombongan, mereka marahnya juga nggak main-main. Kali ini 'main'-nya dua. Karena emang lebih dahsyat marahnya.

Dengan itu, gua jelasin semuanya. Bahwa, gua juga udah terlanjur bilang nahun nggak pulang ke rombongan. Ya jadinya nggak masuk list, jadinya ya harus naik bis sendiri kalau pulang. Kedua ya karena job itu yang mengharuskan gua pulang.

Mereka akhirnya setuju, mungkin mikirnya, "dari pada anak gua nggak pulang dan nggak ketemu tahun ini!"

Di hari per-packing-an duniawi, adalah definisi waktu tenang yang sesungguhnya. Bisanya Gua tenang dari kenyataan telah melibas habis semua job dengan pantas dan tuntas. Fiuh.

Sebenarnya hari-hari menuju pulang itu, gua ngerasa ada yang aneh dengan orang rumah. Kok perpulangan ini orang rumah terkesan nggak excited. Pada biasa aja gitu. Sehabis TF tiket, udh. Senyap aja. Nggak ada pembahasan, atau sebaris pertanyaan apapun. Dan semua status di WhatsApp, gagal! Nggak ada satupun umpan yang tersambar.

Hingga, deg!

Tepat di malam sebelum pulang, dari status Abang dan adek gua, ternyata gua salah besar. Mungkin juga dosa karena sempat berpikir buruk. Tanpa disangka: ibu gua diopname dan hanya gua yang nggak tau, nggak dikasih tau akan kabar itu.

Auto gua telpon semua nomer orang rumah, auto nafsu makan buka dan sahur gua hancur berantakan. Apa jadinya hancurnya nafsu makan orang yang setiap hari hanya makan 5 suap? Seberapa erat kurus memeluknya? Mungkin sampai kering. Sekering air matanya.

Semua hal nggak mengubah apapun. Baik menu makanan itu, lucu bercandaan dan ngkakak tawa, waktu luang dan sepi ruang, hangat pertemanan dan dingin pegunungan, ataupun telpon manis berujung pahit di akhir malam: sama sekali.

Jam 16.00, selepas ashar dan sesuai arahan, gua berangkat ke agen itu untuk bersiap dengan semua barang bawaan yang banyak dan berat. Boarding pass, konfirmasi, dan jreng jreng jreng!

"Maaf, mas. Untuk tujuan Jati asih itu ada pemindahan jadwal! Harusnya tadi siang, emang pesan dari kami nggak masuk?"

Apalagi ini, Tuhan?

Dengan kepala dan isinya yang begitu pusing, gua mencoba mencerna ucapan itu, perlahan, dan tanpa emosi.

Setelah itu, ternyata nomer gua salah di data sana. Ya, pantes nggak masuk. Gua nggak habis pikir lagi harus gimana: kenyataan rumah dan ibu gua yang diopname, meluluh lantakkan apapun saat itu.

"Yaudah, Pak. Ini jadinya gimana?" Tanya gua sekenanya.

"Opsinya 2, mas. Uang saya kembalikan dan mas silahkan cari PO lain, atau pindah jadwal? Kalau mau pindah jadwal, kebetulan besok ada. Sama, jam sore."

'Yaudah pindah jadwal aja, Pak."

Selepas itu, ganti jadwal pemberangkatan, konfirmasi nomer hp, dan nitip barang. Ya kali gua bawa lagi tuh barang-barang yang beratnya nauzubillah. 

Dan, sudah dipastikan, gua planga-plongo setelah itu. Kenyataannya orang rumah udah kasih kabar dan siap jemput, gua harus kasih tau hal ini. Gua telpon ayah, semua gua jelasin. Ia memaklumi, meski ada nafas panjang terdengar.

Adzan ashar itu, mencukupkan obrolan. Ayah sempat mengingatkan untuk lebih teliti dan bersiap, sebelum gua ke mushola jalan kaki mengejar sholat ashar yang udah diniati jama taqdim sebelumnya.

Tapi, nggak lama, ibu gua nelpon, telpon pertama dari kebisuan yang yang cukup lama. Ia menanyakan apa yang terjadi, dengan suara lembut, semua serasa mengalir dari telinga, aliran darah, otak, lalu ke hati, hingga buang nafas berat itu.

"Ambil hikmahnya! Ambil hikmahnya! Mungkin Allah udah rencanain sesuatu yang kita nggak tau. Udah nggak apa-apa. Besok kita akan segera bertemu!" Ucapnya, sejuk, tenang.

Telpon ditutup setelah berkirim dalam harap panjang lagi dalam.

Sehat-sehat, Bu. Maaf buat segala hal yang membuatmu resah dan khawatir, ataupun keinginan dan harapan yang belum kau temui di anak laki-lakimu ini.

Meskipun Ahbat yakin, akan do'a dan ibu yang selalu mendo'akan. Entah, diri ini belum bisa sepenuhnya percaya diri tanpa ucapan, "Do'ain Ahbat ya, Bu!"

Buat ibu, Ya Allah! Al Fatihah....


*Di awal berangkat, di antara bis yang sepi dan rindu yang ramai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar