Chijeu

Karena jam malam terlihat kosong dari kegiatan, mungkin juga karena tontonan konten mukbang waktu siang saat sedang lapar dan haus-hausnya dahaga: membawa ban onthel gua untuk berputar, sehabis tarawih dan mandi, sendirian.

This is me time!

Pakai jaket, mutar-muter nggak tentu arah ngikutin sejuk udara malam. Melewati satu bangunan ke bangunan lain, berselip di antara para pengendara. Aslinya, cukup senang aja menikmati suasana malam Ramadhan, melihat sibuk dan ramainya orang-orang. Berusaha mencari gambaran lain dari pondok, dari hanya berkutat ngaji dan kitab.

Ya, walaupun sejujurnya tetap aja ada ingin untuk apa yang disebut jajan. Kayuh, kayuh, melewati satu per satu jajar tukang jajanan yang sekiranya cocok dengan rengek lidah, juga nggak melanggar konstitusi dompet yang ditetapkan. Di sisi lain, tukang jajanan mana yang tempatnya enak buat makan sendiri dan ngelamun.

Akhirnya, sesosok grobak kebab turki terlihat memanggil kesepian, di pinggir pelataran indomart. Kelihatannya semua masuk aspek.

Onthel itu terparkir, gua mulai berpikir: kebab apa yang akan dipesan. Karena itu memang kebab turki Baba Rafi, jadi udah cukup menjamin atas bingung menu yang tersajikan. Akhirnya gua memilih menu yang sekiranya aneh menurut gua, atau mungkin familiar.

“Kebab Chijeu-nya satu, Mas!”

Buat chijeu, dibanding yang lain,  gua cukup asing dengan nama itu. Baik kebab manis atau gurih, dari lembar menu, nama chijeu beserta gambarnya cukup membuat penasaran, terlihat menjanjikan. Lalu dimasukkan ke dalam list pencapaian kuliner duniawi.

Gua terduduk di bangku plastik yang disediakan, mencoba melanjut apa yang tersajikan. Melihat ringan ke arah menu-menu di dinding-dinding gerobak, cara abang kebab meng-chef, lalu pada sekitar.

Nggak begitu lama, kebab chijeu penuh kepo itu gua tukar dengan selembar uang 10 ribuan dan dua lembar 5 ribuan. Lalu, membawanya pada teras bangku meja minimalis di pinggir pelataran indomart. Alasannya, bagi gua, indomart itu cukup nyaman dengan kenyataan pelatarannya yang cukup luas dan langsung menatap langit malam. Meskipun teras-teras tetap beratap.

Di sana hanya ada 2 meja 4 bangku. Meja pertama udah ditempati sepasang suami istri yang hp lebih dominan di antara keduanya, meja kedua hanya gua sendiri. Membiarkan satu pasang bangkunya kosong.

Tukang kebab di kanan, jalan di serong kanan, meja lain di kiri, indomart di serong kiri, dan batas parkir luar di hadapan: gua mulai unboxing apa itu kebab chijeu.

Dari ukurannya terlihat premium dengan tingkat kematangannya yang medium. Aroma khas daging dan saus tetap menyeruak dominan. Di gigitan pertama udah terlihat dan terasa, bahwa kebab chijeu terdiri dari isian daging dan telur, juga saus pedas, mayones, dan keju sebagai bumbunya. Nggak terlihat sama sekali satu potong dan helai pun dari sayur-sayuran. Sepertinya kebab ini bukan diperuntukkan bagi vegan dan vegetarian. Tapi di sisi lain, tingkat protein dari daging sapi dan telur begitu tinggi. Dan soal rasa, jangan ditanya. Kebab chijeu, begitu recomended bagi kalian yang kecewa dengan menu berbuka puasa dan lelah letih lunglai sehabis tarawih!

Haha, gimana? Udah keliatan food blogger belum? Atau malah buka channel mukbang?

Karena ingat pesan mamah, kata mamah aku, kalau habis makan itu harus minum! Supaya nggak keselek dan bengek.

Akhirnya gua beli minum di indomart, ya itu niat awalnya: beli minum. Meskipun saat keluar tetap nyangkut yupi bolicious berry dan snack pedas yang nggak bisa disebutkan mereknya karena bukan sponsor dari tulisan ini! Haha. Bagi yang mau endorsement, bisa kita urus di belakang.

“Kok banyak banget jajannya? Boros! Jajan mulu!” Protes seseorang, mungkin, korban konten motivasi bisnis yang membuat otaknya menjadi fasis.

“Lah kenapa emang? Duit-duit gua, kok lu ribet!” Sewot penulis ini, seandainya.

Bukannya apa-apa, kalau kata guru gua, nggak apa sekali-kali menyenangkan diri sendiri. Apresiasi. Itu penting!

Dan sebenarnya, topik pembahasan ini bukan perihal perjajanan duniawi dengan segala pesonanya. Itu hanya improve empiris, sebagai narasi pengantar.

Sebagaimana senangnya gua melihat dan memperhatikan sekeliling, bukan hanya soal mendapatkan hal baru. Gimana lagi, insting jurnalis emang sebegitu pekanya! Haha.

Nggak juga, yang menjadi titik, karena kita bisa mendapatkan banyak gambaran untuk pengetahuan, untuk pelajaran yang disajikan dengan cara yang berbeda dan beragam. Itu lebih berhasrat untuk mencoba mengunyah suatu ilmu yang dinilai memuakkan bagi sebagian orang. Seenggaknya, meski hanya dari mencoba meniti menapaki jalan menuju tempat, beli, lalu kunyah.

Sesosok perempuan paruh baya menghampir renta, terduduk di ujung batas parkir, dekat tong sampah biru besar, bersandar sepeda kumbang penuh loak: tepat arah depan gua!

Sepertinya ia mengemis. Meskipun kenyataannya ia hanya duduk terdiam, bahkan tanpa adanya gerakan tangan yang terngadah meminta yang menandakan ia pengemis yang nggak kreatif. Meskipun cukup cerdas dalam memilih tempat seaktif dan seefektif indomart. Pikiran gua malah ke mana-mana: kenapa bisa ngemis, mana keluarganya, kenapa nggak memilih usaha lain selain mengemis.

Mungkin karena bab zuhud kitab pengajian sore yang membahas akan tawakal dan ikhtiar, bukan maksud buruk, mengemis sama manusia itu nggak baik! Apalagi dengan kenyataan media-media yang kerap kali menampilkan berita pengemis kaya, pengemis yang padahal masih mampu dan nggak punya keterbatasan sama sekali. Hal itu gua sadari, perhatikan, bahwa cukup banyak orang yang memberi. Dan uang-uang itu ia masukan ke dalam kantong celana tidurnya yang terlihat mengembung, lalu buru-buru ia tutup kembali dengan tirai jilbabnya.

Nggak ada yang dipermasalahkan, nggak ada yang tau isi hati setiap orang. Baik urusannya, buruk urusannya. Nafsi-nafsi. Semoga ibu itu diberi kecukupan, semoga Allah meridhoi kita.

Selain itu, objek lainnya adalah perihal pengunjung indomart yang beragam. Ada lelaki, ada perempuan. Ada yang sendirian, ada yang berpasangan. Buat pasangan, ada yang sah, ada yang nggak. Mungkin juga belum. Perihal mereka yang berpasangan pacaran, pakaian dan tingkahnya pun beragam. Ada yang model dating calmly, dating trendy, lively courtship, hingga absurd dating yang lengkap dengan mimik hangat, manis, hingga murung cemberut kayak ikan cupang: sabar banget tuh abangnya punya cewek kayak gitu. Selingkuh aja, Bang! Haha.

Lalu, buat yang pasangan suami istri, nah ini nih yang paling nggak bisa. Baik yang terlihat pengantin baru, anak satu, ataupun keluarga besar. Haha, semua hal gua jadikan pertimbangan untuk aspek self improvement dan parenting: langsung dimaterikan kenyataan.

Apalagi saat salah satu orang tua mengajarkan anak perempuan kecilnya untuk memberikan uang ke pengemis itu, mengajarkan berbagi pada sesama. Terlihat sang anak begitu kikuk malu-malu, lugu, sedikit ragu. Tapi perlahan, ia memberanikan. Tangan itu tersambut. Senyum itu merekah. Bahagia gadis kecil itu terlihat begitu tulus.

Dari hal itu dan berkaca pada pribadi, gua jadi beranggapan bahwa seorang anak terbentuk sebagaimana orang tuanya. Baik dari penampilan maupun sikap. Meski entah orang tua yang membentuk anak atau anak yang secara alami terbentuk ingin seperti orang tuanya, hal itu menjadi suatu ketetapan.

Pokoknya banyak deh yang bisa dijadikan pelajaran. Kitanya aja, sadar atau nggak? Mau atau nggak?

Benar juga ungkapan Julius Caesar dalam De Bello Civili-nya yang terkenal,

“Experience is The Best Teacher!”

Udah seharusnya, sesekali kita harus belajar di luar buku dan kelas-kelas pengap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar