Toa
“Ngaji apa?”
“Nashohihul Ibad.” Jawabnya.
**
Dengan mendengar nama kitab karangan Syekh Nawawi al-Bantani itu, ingatan
gua di bawa jauh ke Ramadhan-Ramadhan belakangan. Cukup terkenang.
Suatu hari di bulan, Si Hamdun ngajak gua ngaji kitab itu. Kebetulan karena
gua punya kitabnya, ternyata orang yang akan mengisi pengajiannya adalah Pak
Muslim!
Sejujurnya beliau adalah dzuriyyah pondok besar ini, tepatnya dzuriyyah
unit HY. Tapi, kok kenapa gua manggil beliau dengan sebutan pak? karena memang
beliau adalah salah satu guru gua di MA, mapel Ke-NU-an. Dan umurnya, nggak
begitu tua. Masih selayaknya seorang bapak-bapak yang gagah.
Dan sejujurnya juga, hal besar yang melandasi gua ikut pengajian itu karena
penasarannya gua: bagaimana sih, sosok yang ramah dan friendly seperti Pak
Muslim jika sedang menyandang status dzuriyyah dan mengajar ngaji?
Mungkin niat yang cukup buruk kala itu. tapi, bagaimana lagi? Itu yang
terjadi. Memang seperti itu kenyataannya.
Akhirnya, dengan segala persiapan dan ketentuan, hari pertama ngaji itu
dilaksanakan setiap subuh. Hanya gua dan Hamdun untuk pondok ini, atau
seenggaknya orang kamar asrama bawah yang ikut ngaji di beliau. Dan sisanya,
dari pondok induk dan unit lain.
Berjalan tegap sehabis sahur dan sholat subuh, ke luar pondok menuju ndalem
beliau. Menunggu, dengan udah ada beberapa santri, ternyata mengaji diarahkan
di lantai 2. Memilih tempat, bersiap Hi-Tech dan kitab.
Nggak lama, beliau keluar dan bersiap. Tapi sungguh, aura itu keluar. Aura
yang sangat berbeda. Pengajian dimulai.
Karena memang pengajian salaf, bisa dipastikan fasilitasnya pun bersifat
salaf: kitab bermeja duduk sila, -tanpa meja. Gua berusaha tegar dengan tangan
kiri yang merangkul kitab dan tangan kanan yang bergerak pena.
Bukan tanpa keluh, selain karena pengajian beliau full speed dan full
maknai tanpa menjelaskan, hal yang membuat gua geleng-geleng kepala dan
menyesali niat awal itu sampai saat ini adalah mengaji sehabis subuh sampai
setengah sebelas siang! Hampir 6 jam dan
non stop!
Bisa dibayangin!
Mungkin orang tidur karena capek ngaji, tapi gua ngaji karena capek tidur.
Jadi gambarannya, jika memang udah terlanjur capek pad saat ngaji, pasti kita
akan tertidur. Nah, nanti, pada suatu saat, akan ada suatu titik di mana kita
akan capek karena tidur itu. Karena terlalu banyak dan kelewat batas.
Gua yang udah begitu capek maknai kitab dengan berbagai posisi dan pegal
luar biasa, akhirnya memilih tidur nggak berdaya. Nggak hanya itu, jika
kebutuhan udah tercukupi, pasti badan akan spontan untuk merespon itu dengan
kita yang melek. Tapi, pada saat melek itu, ternyata beliau masih ngaji. Dengan
kenyataan lemas badan loading bangun tidur, kepala pusing, dan entah udah
sampai lafaz mana yang dimaknai: gua memilih tidur kembali.
Hal itu terulang dengan capeknya gua gonta-ganti posisi tidur dan beliau
masih belum aja selesai. Baru kali itu gua tersiksa oleh tidur. Definisi tidur
menyiksa yang sebenarnya.
Lu paham, kan?
Setelah akhirnya selesai juga di melek dan pegal yang kesekian, gua
merutuki diri sendiri dengan panjang dan dalam. Benar-benar serasa bersalah
dengan beliau. Bisa-bisanya gua punya niat buruk kayak gitu. Pikir gua, mungkin
beliau udah tau maksud gua pada saat datang ngaji: lewat tatapan matanya. Atau
mungkin, emang Allah mau ngasih tau, setiap hal ada batas dan porsi.
Bagaimanapun dzuriyyah tetaplah dzuriyyah. Punya kualitas di segala hal, punya
kualitas tiada banding!
Ya, termasuk duduk ngaji membacakan kitab hampir 7 jam non stop!
Pokoknya masya Allah buat beliau.
Do’a-do’a baik buat beliau.
Semoga bida dapat ilmu dan barokahnya, juga ridhonya.
Meskipun baru hanya ngaji satu hari, satu kali. Satu kali itu aja.
Semua demi kemaslahatan.
Buat beliau, Alfatihah...
Komentar
Posting Komentar