Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2023

Miaw

Entah kenapa pesantren dirasa nggak pernah habis akan hal unik. Subjek dan objek penghuninya, bahkan mereka-mereka yang sama sekali nggak ada niatan mondok sekalipun. Lihat aja kucing itu! Bagaimana pintarnya ia beradaptasi. Lingkungan dan pola hidup. Tidur dan makannya. Semua dimakan. Tanpa pilah-pilih. Qona’ah sekali. Ada ikan, ya dimakan. Ada roti, ya dimakan. Ada bakwan, ya dimakan. Seadanya. Selalu sembah syukur di setiap berisik miaw-miawnya. Tapi sebelumnya, selapar-lapar dan serakus-rakusnya kucing, dia nggak bakal makan teman. Ingat gua nggak bahas siapapun, hanya kucing. Ya, kucing. Kucing garong juga termasuk kucing, kan? Kayak kucing warna putih hitam ini. Ngikut-ngikut aja rebahan di karpet. Golar-goler. Ngedusel-ngedusel. Bikin kesel. Gua nggak jadi tidur. Tapi, kalau mau ngikutin pikiran oncom, “nih kucing kok bisa hidup? Aman-aman aja?” Maksud gua, nih kucing yang masih cukup dibilang kecil kok aman-aman aja hidup. Realitanya, dia sendirian. Kemana-mana sendiri. M

Tubuh

Sambangan adalah hari raya. Sambangan menjadi momen yang ditunggu bagi sebagian santri, tentunya untuk semua desak rindu hati pada orang tersayang dan rengek lidah pada selera masakan rumah. Meski kadang di setiap nelpon bokap nyokap gua sering minta buat nyambang, gua nggak pernah ngasih. Nggak pernah mau ngasih. Iya, meski gua tetap percaya bahwa sambangan adalah hari raya dan tetap nggak berbohong untuk desak rindu hati pada orang tersayang, juga rengek lidah pada selera masakan rumah; ada hal yang menjadi alasan. Bagi santri HMP, tentunya kerap kali, sehabis madin larut tengah malam, melihat beberapa orang tua wali santri yang menunggu berdiri akan anaknya. Di depan parkiran kantor pondok, memakai pakaian rapih lengkap, kadang berjaket jika sudah terlewat dingin malam, muka lesu dan mata sayup mereka; gua jadi kebayang orang tua gua. Orang tua nggak akan tenang jika nyambang, tapi belum bertemu anaknya. Nggak memungkinkan untuk seperti tadi, berdiri di depan parkiran kantor p

Keringat

“Olahraga yuk, Bang! Lu jarang olahraga, kan? Baru sembuh, biar rada banyak gerak.” Efek dari kuliah libur ya gini, sehabis Madrasah Qur’an, waktu pagi jadi kosong. Nggak ada kegiatan pasti. Kecuali sarapan. Mandi kondisional. Fleksibel. Si Said malah ngajak olahraga. Hingga akhirnya gua mau mengiyakan ajakan Si Said, bukan karena kalimat gua jarang olahraga. Tapi, karena baru sembuh dan pastinya untuk sehat. Gua ngikut aja. Emang karena nggak niat-niat dan semangat-semangat banget, gua olahraga tetap sarungan pecian kaosan. Nggak kayak Si Said dengan atribut lengkap, plus celana trainingnya. Pondok emang rada sempit untuk ruang olahraga. Bahkan bisa dibilang nggak ada. D engan begitu, bukan berarti santri nggak ada akal dan kesempatan merasakan sehat dari olahraga. Gua dan Si Said menepi, melipir ke luar pondok dikit. Dekat ladang jagung. Diapit rumah-rumah. Meski c uma berdua dan yang lain susah diajak karena pagi adalah jam tidur, olahraga tetap dimulai. Si Said yang ema

Pelangi

“Kamu naik, apa?” Di teras sebuah rumah, berbangku kayu, mereka hangat di tengah dingin rintik gerimis. “Naik ojek.” “Kok maksain banget, kan masih gerimis!” Rintik hujan masih sayup-sayup berkelayaban. Menyapa dedaunan, juga aspal-aspal yang dahaga. “Dengar kamu sakit, aku langsung ke sini. Dimakan dulu buah sama baksonya!” “Iya. Tapi, kenapa bawa bakso?” “Bakso kan obat segala penyakit. Sakit apa aja kamu mah kalau makan bakso pasti sembuh.” “Haha. Tau aja.” Dia menyentuh leherku. “Kamu panas banget!” “Nggak apa-apa. Nanti juga sembuh.” “Udah minum obat?” “Udah.” “Udah makan bubur?” “Udah.” “Buah?” “Udah.” “Wah, sakit lahap juga ya makannya?” Aku hanya tersenyum. “Yaudah baksonya dimakan dulu!” “Tuh. Udah habis dua mangkuk. Hehe.” Seraya menunjuk pada dua mangkuk di bawah meja yang menyisakan genang kuah . Ia hanya geleng-geleng kepala dengan bulir sisa gerimis di bawah kantong mata, lalu pada pipinya. Aku hanya tersenyum melihat ia yang

Termometer

Nggak ada kata enak saat sakit. Nggak bisa apa-apa. Cuma rebahan selimutan, lihat orang-orang yang mondar-mandir dengan sibuknya masing-masing . Apapun jadi nggak berguna saat itu. Jangankan uang, sehebat apapun chef , tetap aja di lidah rasa masakan nya tetap pahit. Hanya ingin sehat. Sebelum seambruk ini, justru gua merasa tertampar waktu ngaji adabu ad-dunya wa ad-diin , ba’da jum’at yang diisi Gus Reza. Beliau bilang, “Biasanya saat sakit, orang itu jadi mudah ingat Allah. Ingat dosa. Ingat mati. Menyesali segala hal buruk yang sudah dilakukan, hal-hal yang waktu sehat kadang dilupakan.” Emang benar, hal itu gua rasakan. Kadang hikmahnya ngaji tuh kayak gini; terjawab persoalan diri. Dengan begitu, bukannya Allah butuh diingat hambanya. Allah nggak butuh itu. Hanya saja, gua anggap, Allah masih sayang dengan mengingatkan gua sebagai makhluk dan dosa-dosa yang dilakukan . Terus gua malah jadi ingat suatu keterangan di kitab Ushfuriyah karangan Syekh Muhammad bin Abu Bakar A

Lumpur

Lihatlah orang itu! Lihatlah ia yang menjijikan! Berulang kali ia berlari. Berulang kali pula ia terjatuh. Wajah layunya habis sudah tertampar debu-debu. Bajunya lusuh, lumpur hitam membasuh. Kulitnya berdarah-darah, tulang-belulangnya terpatah-patah. Ia tetap berdiri, berusaha tegap. Memaksa bangkit meski dirasa sulit. Berjuta pasang mata yang mengawasi bukanlah lagi menjadi momoknya. Ia tak pernah peduli mulai saat itu. Apa yang harus dirisaukan? Tubuhnya kembali ambruk dalam kubang lumpur itu. Berdiri, terbentur batu, berdiri, terkubang lumpur, berdiri, terpa debu-debu, busuk aroma badannya. Ia tertatih. Ia merintih. Ia merangkak menahan perih. “Tuan…” Hadapnya bersimpuh. “Tuan…Tuan…” Derai air matanya tak terbendung. “Hei, kenapa kau menangis?” “Aku rasa tak pantas berhadap engkau, Tuan. Aku penuh kotor, aku penuh busuk! Tetapi kepada siapa lagi aku berteduh? Aku hanya memiliki engkau, Tuan.” “Dengan kau berkata seperti itu, sama saja kau meremehkan aku! Bukankah Aku Maha Kuasa? Ap

Pagar

“Lu ada suka sama seseorang?”  Ketertarikan terhadap lawan jenis nggak bisa dipungkiri. Kita makhluk berperasaan. Rasa suka dan dorong adalah bentuk implementasi perasaan itu sendiri. Meski ada banyak sebab, cara, dan bentuk, gua nggak mau ngebahas itu. Hanya ada sedikit yang gua resahkan. Status itu memang penting untuk suka ini. Walau diam-diam belum berani mengungkapkan bukan berarti tanpa kepedulian. Mungkin menimbang banyak hal. Mungkin menunggu waktu yang tepat. Indah ‘sukses’ bukannya tentu butuh perhitungan? Lalu, seseorang yang jadi objek rasa ini, entah kenapa setiap sisi hidupnya buat kita penuh tarik; cara dia berbicara, cara dia berjalan, cara dia memperhatikan, cara dia tertawa. Tentu kita akan suka rela melakukan apapun demi kebahagiannya, meski nggak diminta sekalipun. Begitupun sebaliknya, kita nggak akan rela apapun yang membuatnya nggak nyaman. Atau pada hal yang sebetulnya ia nggak apa, tapi bagi kita itu sesuatu hal yang mengusik. Pahami setiap kata ini, lu pasti s

Kipas

Yah, kita harus bahas ini. Percintaan dengan segala tetek bengeknya kadang begitu uwuww bagi sebagian orang, juga uwekk bagi sebagian lainnya. Bukan maksud apa, ya kita memang terlahir dari cinta itu. Di masa labil sekalipun, antara status santri dan mahasiswa, jangan anggap kami memfosil tanpa ada perasaan. Kami, kita juga berperasaan. Nggak perlu bahas orang lain, gua sendiri kadang perlu hati-hati, mikir-mikir, dan jadi kepikiran beneran. Jujur, kita yang minim pengalaman dan kurang materi mengenai hal ini memang perlu gerak. Kita yang butuh, kita yang gerak. Hingga, terlihatlah niat itu. Tentu kita bercermin. Bercermin pada sesuatu yang lebih baik dan itu harus. Lu mau jadi pemain bola, tentu ada satu dua orang yang lu jadiin kaca untuk mimpi lu itu. Percintaan pun seperti itu. Berkaca adalah bentuk sadar untuk progres kurang kita. Setelah tanya jawab, jawab tanya. Baca tulis, tulis baca. Lalu, scroll-scroll dunia luas. Gua nemu banyak kaca dan gua pd-pd aja ngaca di situ.  Di kaca

Aksara

Dalam hidup, tentu ada yang harus dituju. Dan setiap orang punya tujunya masing-masing untuk senang dan tenangnya masing-masing. Meski tetap kita yang harus memperjuangkan sepenuhnya untuk alur tuju kita, bukan berarti kita nggak butuh orang lain. Mustahil rasanya menjadi manusia bebas dengan hanya mengandal dan bermodal sepotong ego pribadi yang sukarela ditanam dan tumbuh subur. Memang seperti itu. Bagaimana pun, seperti inilah cara permainan hidup. Semua harus ikut aturan dalam konteks ‘makhluk sosial’ itu sendiri. Hanya bagaimana kita menempatkan diri dalam memerankan permainan. Kita semua nggak bisa lepas dari omong orang lain. Adanya gerak kita dan sudut pandang orang lain, menyebabkan konsep ini tercipta. Tentunya pro kontra. Plus minus. Hitam putih. Ada yang membangun, ada pula yang meruntuhkan. Dan bodohnya, kita kerap kali menerima itu semua; memilahnya, dengan memandang posisi dan keadaan kita. Luluh lantah sudah pikir ini. Kacau balau tenang hatinya. Nggak jauh ke man

Sepatu

Hidup nggak selalu enak terus. Ada nggak enaknya juga. Ya, karena takdir bisa baik, bisa buruk. Bisa rajin, bisa tiba-tiba malas. Apapun yang terjadi, kita tetap harus menjalani. Seperti saat ini, sulit rasanya akan takdir baik dan kata baik-baik saja. Padahal bukan balon, ban sepeda gua ikut-ikut meledak. Hati gua ikut-ikut kacau. Nggak perlu gua certain, lu cukup baca, jangan ikut-ikut; kacau. Bukan tentang marah, emosi, ngeluh, ngamuk, pengen nyeruduk. Meski lu bisa bayangin, pondok ke kampus-kampus ke pondok lumayan, men! Gimana lagi? Dari pada gua diomelin wong kae , mau nggak mau, gua berangkat jalan kaki. Okelah untuk segala tetekbengek busa mulut dokter akan baik cahaya matahari pagi; ultraviolet lah, vitamin D lah, kalsium lah, imunitas lah, peremajaan kulit lah, sirkulasi udara lah, zat besi, zat beton, zat pasir, zat krikil, zat bata, zat semen, zat air, zat kontrakan. Mbuh. Berangkat ngampus pagi-pagi masih mending. Nggak begitu anu. Kadang juga masih ada teman bera