Sepatu
Hidup nggak selalu enak terus. Ada nggak enaknya juga. Ya, karena takdir bisa baik, bisa buruk. Bisa rajin, bisa tiba-tiba malas.
Apapun yang
terjadi, kita tetap harus menjalani. Seperti saat ini, sulit rasanya akan
takdir baik dan kata baik-baik saja. Padahal bukan balon, ban sepeda gua
ikut-ikut meledak. Hati gua ikut-ikut kacau. Nggak perlu gua certain, lu cukup
baca, jangan ikut-ikut; kacau.
Bukan
tentang marah, emosi, ngeluh, ngamuk, pengen nyeruduk. Meski lu bisa bayangin,
pondok ke kampus-kampus ke pondok lumayan, men! Gimana lagi? Dari pada gua
diomelin wong kae, mau nggak mau, gua berangkat jalan kaki.
Okelah untuk
segala tetekbengek busa mulut dokter akan baik cahaya matahari pagi;
ultraviolet lah, vitamin D lah, kalsium lah, imunitas lah, peremajaan kulit
lah, sirkulasi udara lah, zat besi, zat beton, zat pasir, zat krikil, zat bata,
zat semen, zat air, zat kontrakan. Mbuh.
Berangkat
ngampus pagi-pagi masih mending. Nggak begitu anu. Kadang juga masih ada teman
berangkat jalan kaki bareng.
Lah pas
pulang? Gimana buat matahari siangnya, pak dokter? Jam matkul dan penuh sesak
kegiatan mahasiswa yang berbeda; ngasoh, perpus, kantin, mushola, toilet, beli
bakso, beli es teh, atau mereka yang pada ehm-ehman sekalipun. Bodo amat!
Nyatanya gua cuma mau pulang meski jalan kaki sendirian.
Walau
serunyam itu, jadi ingat kata-kata bunga tidur, “Ambil sisi baiknya! Ambil sisi
baiknya!”
Mencoba
mengawali langkah. Hempas nafas berat-berat. Bukan apa-apa, matahari di jam 12
siangnya itu loh! Belum lagi tutorial safety abang-mpok di atas motor scoopy di
sepanjang jalan. Dibekep terus tuh pinggang. Ya salam!
Membiarkan
pikiran bebas ke mana-mana dengan langlah nggak tentu arah. Bukan karena sakit,
lapar, atau efek pelajaran. Bukan. Emang aja panas!
Gua jalan
selangkah demi selangah. Kanan kiri-kiri kanan berteduh pada hamparan siluet
rumah-rumah atau pohon mangga yang hampir besar itu. Selama ini nggak ada yang
perlu dikhawatirkan. Jujur, ternyata di setiap langkah kesendirian itu, sambil
melihat apapun di sekitar, pikiran jadi terbuka. Saat otak menentukan suatu
objek untuk dibahas, nemu aja jalan tengahnya; banyak metode untuk menuju
sepakat. Menuju terang. Belum lagi ide-ie nulis yang mengalir deras. Datang
bertubi-tubi. Untungnya gua rada malu untuk jalan kaki sambil pegang buku dan
pulpen, menulis nggak jelas sepanjang jalan. Disimpan aja dulu. Berusaha semoga
nggak hilang.
Biarin aja.
Sambil terus berpikir tentang koreksi setiap hal udah terlewat, gua juga mikir
untuk apa sebaiknya akan hal selanjutnya. Juga sesekali jawab sapa orang yang
ditemui, dapat nyamannya aja nyanyi-nyanyi sepanjang jalan. -meski gua juga tau
batas ritme frekuensi dan melodi orang gila kalau lagi nyanyi. Enak aja
bawaannya. Gimana gitu. Serasa lebih fresh, lebih plong. Sampai ketagihan
hingga sekarang.
Haha.
Ternyata
kita bisa dapat senang itu.
Bisa cipta
senang itu.
Kalau
seperti ini, jangan sering-sering, Tuhan!
Panas!
Cepat
sembuh, Onthel.
Alfatihah…
Komentar
Posting Komentar