Aksara
Dalam hidup, tentu ada yang harus dituju. Dan setiap orang punya tujunya masing-masing untuk senang dan tenangnya masing-masing. Meski tetap kita yang harus memperjuangkan sepenuhnya untuk alur tuju kita, bukan berarti kita nggak butuh orang lain. Mustahil rasanya menjadi manusia bebas dengan hanya mengandal dan bermodal sepotong ego pribadi yang sukarela ditanam dan tumbuh subur.
Memang
seperti itu. Bagaimana pun, seperti inilah cara permainan hidup. Semua harus
ikut aturan dalam konteks ‘makhluk sosial’ itu sendiri. Hanya bagaimana kita
menempatkan diri dalam memerankan permainan.
Kita semua
nggak bisa lepas dari omong orang lain. Adanya gerak kita dan sudut pandang
orang lain, menyebabkan konsep ini tercipta. Tentunya pro kontra. Plus minus.
Hitam putih. Ada yang membangun, ada pula yang meruntuhkan. Dan bodohnya, kita
kerap kali menerima itu semua; memilahnya, dengan memandang posisi dan keadaan
kita. Luluh lantah sudah pikir ini. Kacau balau tenang hatinya.
Nggak jauh
ke mana-mana, gua hanya mau ngebahas diri sendiri. Kerdil sebagai makhluk tuhan
yang punya kecenderungan ketertarikan pada literasi. Tulis-menulis, bisa lebih
mengerucut jelas pemahaman ini.
Tentu saat
lagi menyelam dalam pada suatu titik, nyaman dalam diri dengan tulis-menulis,
omongan itu pasti datang. Sudah dibilang, pastinya pro kontra.
Gua sering
kali membaca buku untuk menggali ide, berharap ikut tertular jenius mereka,
para panutan. Ikut mengenal imajinasi pikir dan gaya bahasa para
penulis-penulis itu. Men-scroll dan stalking, menyasar akun-akun yang memang
sekiranya tanpa pelit-pelit menghamburkan ilmu serta pengalaman-pengalaman
mereka. Tentu gua terdorong. Pandangan orang lain beromong-omong mereka,
membuat gua seperti diberi sinyal untuk maju.
“Menulis itu
baik!”, “Menulis itu bermanfaat!”, “Menulis itu hebat!”
Lalu, disatu
sisi lainnya, omongan mereka terdengar kasar. Benar-benar menjatuhkan.
Menginjak-injak. Meski hal itu tetap gua terima, gua cerna.
“Menulis itu
omong kosong!”, “Menulis itu kesia-siaan!”, “Menulis itu kepura-puraan!”
Tentu saat
menerima itu, gua pasti melihat kembali ke diri gua sendiri. Segala hal yang
gua temukan dalam diri menjadi pembenaran atas omong-omong mereka. Terus muncul
insecure dan overthinking yang berkepanjangan.
“Anak bau
kencur, masih goblok aja sok-sokan ngeblogger, sok-sokan ngonten, sok-sokan mau
bikin buku. Ngaca! Kayak tulisannya bermutu aja. Guru-guru, mereka yang udah
handal aja nggak sebegitunya. Terus menerus mengembangkan diri, jangan malah
pencitraan. Harusnya malu!”
Kadang gini
nih yang bikin stag.
Begitu jelas
akan otak manusia yang terbatas.
Gua harus
gimana?
Komentar
Posting Komentar