Keringat

“Olahraga yuk, Bang! Lu jarang olahraga, kan? Baru sembuh, biar rada banyak gerak.”

Efek dari kuliah libur ya gini, sehabis Madrasah Qur’an, waktu pagi jadi kosong. Nggak ada kegiatan pasti. Kecuali sarapan. Mandi kondisional. Fleksibel. Si Said malah ngajak olahraga.

Hingga akhirnya gua mau mengiyakan ajakan Si Said, bukan karena kalimat gua jarang olahraga. Tapi, karena baru sembuh dan pastinya untuk sehat. Gua ngikut aja.

Emang karena nggak niat-niat dan semangat-semangat banget, gua olahraga tetap sarungan pecian kaosan. Nggak kayak Si Said dengan atribut lengkap, plus celana trainingnya.

Pondok emang rada sempit untuk ruang olahraga. Bahkan bisa dibilang nggak ada. Dengan begitu, bukan berarti santri nggak ada akal dan kesempatan merasakan sehat dari olahraga. Gua dan Si Said menepi, melipir ke luar pondok dikit. Dekat ladang jagung. Diapit rumah-rumah.

Meski cuma berdua dan yang lain susah diajak karena pagi adalah jam tidur, olahraga tetap dimulai.

Si Said yang emang cah olahraga, dia gua suruh maju buat mimpin pemanasan. Gua ngkutin aja. Sekenanya.

Dua atlet dadakan itu, pd-pd aja olahraga ala kadar meskipun kerap kali dilihatin orang yang emang sengaja lewat lalu lalang. Jangan bahas apapun tentang stigma dan tatapan mereka. Olahraga harus refresh, seotaknya.

Semenit, dua menit. Segerak, dua gerak. Badan mulai panas, pegel. Nafas memburu. Karena memang, for your information, Si Said itu adalah aktivis pencak silat, pendekar. Dan semua gerakannya ia contohin dari berbagai gerakan silat. Gua menggap-menggap.

“Haha. Model apa itu, Bang?”

“Eh, gimana ini? Kaki gua kepanjangan!”

Gua serius, ia malah ketawa. Bagaimana nggak, ia nyontohin split kaki atas! Penggambarannya satu kaki jadi penumpu, satunya lagi nendang tinggi ke langit dan tangan harus lurus sejajar sampai meraih jari kaki yang nendang itu. Lah? Tangan gua nggak bisa raih jari kaki. Kaki gua lebih panjang, kayaknya. Tangan lurus, kakinya nekuk.

Baru setengah jam lebih, gua udah ngos-ngosan udah kayak pribumi pulang romusha. Bukannya lemah, mungkin badan gua kaget. Setiap pagi biasanya buku-buku atau bantal-bantal, lah kok ini disuruh gedubrak-gedubruk peras keringat. Kayaknya, jiwa kaum rebahanku nggak cocok deh olahraga.

Seorang kaum rebahan dan cengar-cengir penganut paham Paulo Coelho, serasa kontradiktif simetris dengan aktivitas yang disebut olahraga ini. Bukannya gua subversif, nyatanya di setiap rabu sore jadwal futsalan tetap berjalan istiqomah. Gua juga ngonthel yang mampu membakar kalori 190-415 dalam 30 menit. Juga, sesekali nyuri-nyuri waktu dan pikiran orang untuk sekedar bisa main air dari renang. Jangan tanya tentang push up atau sikap berdiri tegak berjam-jam karena telat dan hafalan belum target. Hadeuh.

Lah tapi, buat soal olahraga yang satu ini, kayaknya gua nggak ada respect. Chemistry gagal terbagun. Dzhohir batin gua yang lemah lembut sejak dari embrio, tentu menolak untuk segala gerakan silat yang terkesan kasar. Meski hanya pemanasan. Terserah untuk orang lain, gua nggak lagi deh. Mendingan ikut senam ibu hamil.

Dan akhirnya, gua beralih jadi joggingers. Lari-lari kecil, muterin perkampungan, dengan sarung yang gleber-gleber diterpa angin. Rada mending lah.  

Setelah olahraga, badan gua malah jadi panas dingin. Bukannya nambah sehat, kayaknya jadi nambah sakit.

Wah, gimana ini, Dokter?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar