Lumpur

Lihatlah orang itu!

Lihatlah ia yang menjijikan!

Berulang kali ia berlari. Berulang kali pula ia terjatuh. Wajah layunya habis sudah tertampar debu-debu. Bajunya lusuh, lumpur hitam membasuh. Kulitnya berdarah-darah, tulang-belulangnya terpatah-patah.

Ia tetap berdiri, berusaha tegap. Memaksa bangkit meski dirasa sulit. Berjuta pasang mata yang mengawasi bukanlah lagi menjadi momoknya. Ia tak pernah peduli mulai saat itu. Apa yang harus dirisaukan? Tubuhnya kembali ambruk dalam kubang lumpur itu.

Berdiri, terbentur batu, berdiri, terkubang lumpur, berdiri, terpa debu-debu, busuk aroma badannya. Ia tertatih. Ia merintih. Ia merangkak menahan perih.

“Tuan…” Hadapnya bersimpuh.

“Tuan…Tuan…” Derai air matanya tak terbendung.

“Hei, kenapa kau menangis?”

“Aku rasa tak pantas berhadap engkau, Tuan. Aku penuh kotor, aku penuh busuk! Tetapi kepada siapa lagi aku berteduh? Aku hanya memiliki engkau, Tuan.”

“Dengan kau berkata seperti itu, sama saja kau meremehkan aku! Bukankah Aku Maha Kuasa? Apakah bagimu aku tak mampu membersihkan semua kotor dan bau itu? Aku tak melihat jatuhmu, aku tak melihat lumpur, debu, darah, atau apapun yang jijik dalam lekat tubuhmu. Tapi, semua usahamu bangkit dan berjalan ke arahku membuatku ridho terhadapmu. Sekarang masuklah dalam surgaku, wahai hamba yang kuridhoi!

Irji’I ila robbiki radhiyatam mardiyah… Fadkhuli fi ibadi wad khuli jannati…


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar