Tubuh

Sambangan adalah hari raya. Sambangan menjadi momen yang ditunggu bagi sebagian santri, tentunya untuk semua desak rindu hati pada orang tersayang dan rengek lidah pada selera masakan rumah.

Meski kadang di setiap nelpon bokap nyokap gua sering minta buat nyambang, gua nggak pernah ngasih. Nggak pernah mau ngasih. Iya, meski gua tetap percaya bahwa sambangan adalah hari raya dan tetap nggak berbohong untuk desak rindu hati pada orang tersayang, juga rengek lidah pada selera masakan rumah; ada hal yang menjadi alasan.

Bagi santri HMP, tentunya kerap kali, sehabis madin larut tengah malam, melihat beberapa orang tua wali santri yang menunggu berdiri akan anaknya. Di depan parkiran kantor pondok, memakai pakaian rapih lengkap, kadang berjaket jika sudah terlewat dingin malam, muka lesu dan mata sayup mereka; gua jadi kebayang orang tua gua.

Orang tua nggak akan tenang jika nyambang, tapi belum bertemu anaknya. Nggak memungkinkan untuk seperti tadi, berdiri di depan parkiran kantor pondok, berjaket dengan diitari berbagai barang, wajah lesu dan mata sayup efek capek perjalanan seraya menunggu anak yang nggak kunjung datang. Semua santri menjadi saksi akan hal ini.

“Emang nggak ada ruang tamu?”

Emang sih, di pondok itu disediakan ruang tamu, tempat transit untuk para wali santri yang datang menyambang dan berniat menginap bermalam. Dan tetap aja, selama gua mondok di sini dan bukan ngejelek-jelekin pondok, ruang tamu itu nggak pas buat orang tua gua. Selain karena luas, suasana, fasilitas gedung dan warung, masih di luar spek penilaian gua. Meskipun orang tua bilang, “Nggak apa-apa! Nggak apa-apa!” Tetap aja kita nggak tega. Sebagai anak, tentu kita yang paling tau tentang orang tua kita.  

Tapi, di suatu hari yang cerah, tidur gua tergugah.

“Na, bangun! Dicariin orang.”

Tumben banget anak kamar ngebangunin orang sepagi ini. Karena memang jadwalnya, biasanya kalau nggak subuh, ya dzuhur. Lah ini, habis madrasah qur’an, jam setengah 8, kok udah dibangunin?

“Siapa, kang?” Tanya gua pada salah satu kang-kang kamar.

Akhirnya gua terbangun juga. Ada yang nyari, katanya. Siapa?

Belum sempat ia menjawab, di tengah kucek-kucek mata terduduk, di depan pintu terlihat seorang bapak paruh baya dan itu BAPAK GUA! Wadaw.

Gua kaget setengah mati. Gua bertanya sepenuh mati. Tapi, gua tahan. Gua bangun, senyum, cium tangan.

“Ana, kamarnya pindah?” Tanya bapak gua saat melihat gua nggak di kamar yang lama, kamar yang dulu pernah didatanginya.

Gua jawab, ya karena memang kalau udah kuliah kamarnya beda. Nggak tau dah tuh ia kenapa bisa sampai nemu kamar gua yang baru.

Akhirnya gua cuci muka wudhu, nggak mandi. Bukan maksud jorok, bapak lebih penting dari pada mandi! Lagian tadi subuh, sebelum madrasah qur’an gua udah mandi. Minimal ngilangin sisa iler aja dulu. Haha.

Gua bawain barangnya pada tas yang besar. Ia bercerita banyak tentang selama ia di perjalanan.

“Untungnya tengah malam gitu masih ada tukang ojek.” Lanjutnya bercerita tentang bagaimana ia turun dari terminal bis di jam 2 malam dan berhasil menemukan satu tukang ojek yang sedang tertidur. Hingga akhirnya bisa sampai pondok dan aman.

“Katanya ana punya onthel? Kita naik onthel aja, nyok!”

Wajahnya memang sumringah, tapi tetap tersirat gurat lelah. Karena memang bagusnya, bapak gua milih transit di ruang tamu pondok induk yang butuh tenaga lebih dari pondok unit ke pondok induk. Gua rada bingung.

“Yayah nggak malu?”

Gua nanya gitu, ya jujur-jujuran aja, walaupun waktu pagi masih belum begitu ramai santri lalu lalang. Tapi kan tetap aja ada. Dan kata sedikitnya buat pondok yang santrinya merangkak 50 ribu lebih ini, tetap aja banyak. Takutnya ia malu naik onthel dilihatin para santri. Gua aja yang anaknya, ngebayanginnya rada malu.

“Apa yang harus dimaluin? Emang kita nyolong? Emang kita terlanjang? Lagian juga nggak kenal ini!”

Ini nih bapak gua. Ini yang selalu gua kagumin. Kata-kata ini juga yang gua pegang kalau lagi malu. Buat ngelawan malu.

Akhirnya gua ambil onthel di parkiran. Ia gua suruh tunggu. Dan nggak lama, segera kembali. Kirain gua mah ia siap-siap aja buat gua gonceng. Karena gua anak dan pastinya ia capek, harusnya malas buat goes dan tentram-tentram aja dibonceng. Ia malah minta ngebonceng. Gua yang masih melongo, nge-iyain aja nurut.

Meski harus jinjit karena tinggian sepedanya dari pada bapak gua, ia tetap aja semangat. Ya semangat ikut larut dengan ngeyelnya. Gua di jok belakang, cengar-cengir aja punya bapak kayak gini.

“Yayah dulu atlet sepeda. Sekolah sampai kuliah naik sepeda.”

“Masa iya, Yah?”

“Iya.”

Akhirnya di sepanjang perjalanan menuju ruang tamu pondok induk, ia bercerita tentang sepeda dan masa sekolahnya yang selalu dibangga-banggakan. Yang nilai akademisnya selalu berprestasi. Hingga, anaknya bisa ikut bangga. Anaknya berusaha agar juga ikut berprestasi.

Setelah sampai, nggak lama-lama, naruh barang di ruang tamu, langsung gua ajakin sarapan. Dan untuk sarapan, nggak mungkin kan gua ajak makan di warung pondok? Akhirnya gua ajak makan di luar.

Pagi-pagi dengan udara yang masih segar asri, melewati jalan yang masih longgar, sesekali lihat sibuk orang yang mulai bergerak beraktivitas. Gua merasa senang aja bisa ngonthel bareng bapak di kota orang. Mungkin juga nggak nyangka.

Roda onthel terus berputar pada garis hijau jalur sepeda, tetap pada obrolan-obrolan panjang. Obrolan-obrolan luas.

“Lah yayah lagian ngapain sih ke sini? Mana nggak bilang-bilang lagi! Ana bangun tidur, kaget banget lihat yayah udah nongol aja di depan pintu.”

“Lah ibu noh yang kedekeran aja. Kemarin pas denger ana sakit, yayah disuruh buru-buru aja nyamperin ke pondok. Besoknya langsung beli tiket. Yayah nggak sempat ngabarin. Lagian ana kalau ditelpon sekalipun nggak pernah mau disambang. Yayah berangkat aja dah nggak ngomong-ngomong. Surprise! Lah tapi ana udah enakan?”

“Udah. Tadi udah mulai masuk madrasah lagi.” Gua nggak mau banyak-banyak ngebahas tentang sakit ini. Ntar malah ia ikut kepikiran. Malah nggak jadi menciptakan suasana hangat tentram bapak dan anak.

“Lah ibu ngapa nggak ikut?” Lanjut gua.

“Ibu ada tugas di Bandung, bareng guru-guru.”

“Oh.”

Meski putar roda onthel sudah berhenti berputar, obrolan tetap berlanjut. Di warung yang sekiranya menurut gua enak, kami breakfast di situ. Pesan dan pilih meja duduk pada warung yang sepenuhnya baru buka itu. Belum ada siapa-siapa. Cuma ada gua, bapak gua, dan para pelayan warung itu.

 Pesanan datang. Suap nasi, seling ngobrol. Suap nasi, seling ngobrol.

“Makananya pedas bangat. Yayah rada nggak cocok ini.”

Sebelum bapak gua bahas lebih dalam tentang masakan yang ada di hadapannya ini sekandungan bumbu-bumbunya, cepat-cepat gua alihin pembahasan. Karena memang, bapak gua adalah pemerhati kuliner. Gua jadi nggak enak sendiri. Merasa gagal jadi anak.

Meski ia masih aja ngajakin buat muter-muter, tapi keliatan banget di wajahnya masih ada sisa-sisa letih yang belum usai. Akhirnya gua ajakin balik aja ke ruang tamu buat istirahat. Tidur. Gua juga sekalian ikut tidur juga di sampingnya. Ruang tamu pondok induk rada lumayan lah, yah tapi begitu.

Setelah dan selain tentang ruang tamu, selama bapak gua di sini, sebisa mungkin gua layani semaksimal mungkin. Mengingat jarang-jarang dan jauh jarak perjuangan bapak gua bisa sampai ke sini. Barat-timur, bos! Ujung ke ujung. Pegel juga pantat duduk berjam-jam di bis.

Bapak gua, gua ajak keliling Kediri. melihat berbagai ikon dan tetap naik onthel.

“Emang ngapa sih yah naik onthel? Kenapa nggak naik grab aja?” Pertanyaan gua lagi-lagi menyasar telinganya. Karena memang begitu mengganjal. Kalau masih di daerah pondok, nggak apa-apa dah naik onthel. Lah ini udah mulai rada jauh dari radar.

“Malu?” Sergahnya.

Wah, kalau udah memberikan diksi kayak gitu dengan intonasi menusuk, gua nggak bisa jawab. Nggak boleh jawab. Jangan sampai jawab. Dari pada nantinya bapak gua ngeluarin statement dengan konsep-konep panjangnya.

Gua ajak ia ke Pasar Bandar dan tentunya Jembatan Brawijaya. Baru aja sampai tengah jembatan dengan padatnya kendaraan, eh ia malah minta foto.

Foto di jembatan dengan view sungai brantas di waktu sore dan kerumun orang pada lesehan warung samping sungai itu, emang epik. Lah tapi ingat attitude sosial tersirat juga kali. Gua coba mati-matian biar bapak gua nggak malu, ia malah maluin diri sendiri. Kan jembatan nggak pernah sepi. Kan dilihatin orang. Ah, taulah! Bapak siapa sih ini? Norak.

Sejepret, dua jepret gua fotoin dengan atur pose yang sekiranya estetik. Ia cengar-cengir puas. Gua anaknya, meringis getir.

Rihlah onthel ini berlanjut pada jembatan lama dan taman brantas. Tentu tetap pada cekrek-cekrek orang kota norak.

“Di Bekasi mah nggak bisa gini, Na!” Ucapnya semangat banget minta foto pada hamparan rapih bunga taman itu. Gua mah iya-iya aja. Biar cepat. Biar senang. Hadeuh.

Setelah puas, ia tertunduk pada hpnya. Buka WA. Update status, kayaknya.

“Kita update status dulu, biar ibu lihat!”

Gini nih bapak gua. Masih suka aja melankolis romantis kayak anak SMA. Segala ngode-ngode cari perhatian emak gua lewat status WA. Bukannya apa-apa, gua bingung aja. Kalau emang sekiranya mau ngasih tau foto ke emak gua kan bisa aja langsung buka chat, kirim. Nggak usah ribet-ribet update status dan nunggu dilihat emak gua. Cinta sebuta itu, Yah? Seindah itu?

Rihlah onthel ini tetap berlanjut. Karena gua masih berasa hutang budi dan merasa gagal jadi anak dengan wawasan kuliner yang rendah, gua jadi tertantang buat nunjukin bahwa gua pantas disebut anak. Pantas disebut anak dengan selera kuliner yang kredibel.

Akhirnya gua keluarin dan tunjukin semua kuliner andalan gua di Kediri. ya, nggak semua juga. Bisa meledak perut. Sekiranya dalam prosentasnya, ada heavy meal, snacks, dan dessert.

Nasi Padang Minang Raya, Pentol Joss, dan Es Oyen Bandung gua hidangkan di hadapan bapak gua. Nggak deh, maksudnya pindah-pindah. Masing-masing makan di tempat.

Tentu gua ketar-ketir. Serasa ikut Master Chef. Eh, bapak gua malah cosplay Chef Juna.

Buat nasi padang, ia nambah nasi. Buat pentol, ia memuji tekstur daging dan rasa kuahnya. Untuk es oyen, ia malah rencana mau buka usaha es oyen. Saking jatuh cintanya. Yes, mission success! Nggak jadi dicoret KK.

Selama 3 hari bapak gua di Kediri, di luar kegiatan pondok, pasti gua nemenin bapak gua. Apapun dan kemana pun. Quality time. Sampai ia minta ke stasiun buat beli tiket sebelum pulang, ya gua antarin. Tetap pakai onthel.

Saat-saat seperti itu, tentu selain ia tanya kabar dan kegiatan gua, gua juga tanya kabar dan kegiatan ia. Gua juga sempat tentang minta pendapat dan motivasi-motivasi darinya. Tentang apapun.

Sampai akhirnya, ia harus pulang ke rumah. Dengan gua rasa, nggak begitu mengecewakan ia datang ke sini. Ia akhirnya naik grab ke stasiun. Karena ada kegiatan, gua baru bisa nyusul 1 jam setelah ia berangkat ke stasiun. Tetap naik onthel. Jam 2 siang gua sampai di sana dan sedangkan bapak gua harus pulang di jam 15.05 jadwal kereta. Lumayan ada satu jam-an. Ngobrol-ngobrol, nasihat-nasihat, hingga akhirnya ia pulang setelah gua cium tangan untuk terakhir. Kereta Brantas jurusan Kediri-Pasar Senen akan tiba di jam 3 dini hari.

Untuk kata sedih, tentu. Tapi dari sekian sedih itu, gua paling nggak bisa untuk bayang-bayang tentang hal yang udah terlewat, lalu datang muncul kembali dan menghantui. Nggak tau, itu serasa spontan aja lewat di pikiran dan mengalir di benak.

Udah, udah, gua nggak mau sedih. Karena emang gua bukannya mau bagi cerita sedih.

Yang penting gua sehat, keluarga sehat, urusan lancar, rezeki lancar, ibadah lancar. Hidup tenang, hidup senang.

Hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan, Yah!

Terima kasih udah datang!

Semoga Allah melindungi kita sekeluarga..

Aamiin.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar