Pelangi
“Kamu naik, apa?”
Di teras
sebuah rumah, berbangku kayu, mereka hangat di tengah dingin rintik gerimis.
“Naik ojek.”
“Kok maksain
banget, kan masih gerimis!”
Rintik hujan
masih sayup-sayup berkelayaban. Menyapa dedaunan, juga aspal-aspal yang dahaga.
“Dengar kamu
sakit, aku langsung ke sini. Dimakan dulu buah sama baksonya!”
“Iya. Tapi,
kenapa bawa bakso?”
“Bakso kan obat segala penyakit. Sakit apa aja kamu mah kalau
makan bakso pasti sembuh.”
“Haha. Tau
aja.”
Dia
menyentuh leherku.
“Kamu panas
banget!”
“Nggak
apa-apa. Nanti juga sembuh.”
“Udah minum
obat?”
“Udah.”
“Udah makan
bubur?”
“Udah.”
“Buah?”
“Udah.”
“Wah, sakit
lahap juga ya makannya?”
Aku hanya
tersenyum.
“Yaudah
baksonya dimakan dulu!”
“Tuh. Udah
habis dua mangkuk. Hehe.” Seraya menunjuk pada dua mangkuk di bawah meja yang menyisakan genang kuah.
Ia hanya
geleng-geleng kepala dengan bulir sisa gerimis di bawah kantong mata, lalu pada
pipinya. Aku hanya tersenyum melihat ia yang tampak bingung. Gemas.
“Jika itu semua belum bisa bikin kamu sembuh, nggak ada cara lain,
harus pakai obat ini!”
Tak lama
setelah itu, kecup lembut bibir tipis kemerahan itu telah bersarang di pipi
kiriku. Cukup lama. 4 detik. Aku mengerjap.
“Gimana?”
Tanya-nya menggoda.
“Wah,
langsung sembuh!”
Ia hanya
tersenyum. Lesung pipi itu. Manisnya.
“Tapi, obat
itu biasanya tiga kali sehari. Berarti kurang dua.” Tawarku.
“Lah kok?
Kalau begitu caranya, aku mendingan ikut sakit lah!”
“Haha.
Rencananya emang mau sakit kapan? Aku siap ngobatin.”
Ia justru
tercekat. Kepalaku dijitak.
Adeuh.
Komentar
Posting Komentar