Miaw

Entah kenapa pesantren dirasa nggak pernah habis akan hal unik. Subjek dan objek penghuninya, bahkan mereka-mereka yang sama sekali nggak ada niatan mondok sekalipun. Lihat aja kucing itu! Bagaimana pintarnya ia beradaptasi. Lingkungan dan pola hidup. Tidur dan makannya. Semua dimakan. Tanpa pilah-pilih. Qona’ah sekali. Ada ikan, ya dimakan. Ada roti, ya dimakan. Ada bakwan, ya dimakan. Seadanya. Selalu sembah syukur di setiap berisik miaw-miawnya.

Tapi sebelumnya, selapar-lapar dan serakus-rakusnya kucing, dia nggak bakal makan teman. Ingat gua nggak bahas siapapun, hanya kucing. Ya, kucing. Kucing garong juga termasuk kucing, kan?

Kayak kucing warna putih hitam ini. Ngikut-ngikut aja rebahan di karpet. Golar-goler. Ngedusel-ngedusel. Bikin kesel. Gua nggak jadi tidur.

Tapi, kalau mau ngikutin pikiran oncom, “nih kucing kok bisa hidup? Aman-aman aja?” Maksud gua, nih kucing yang masih cukup dibilang kecil kok aman-aman aja hidup. Realitanya, dia sendirian. Kemana-mana sendiri. Makan nggak jelas, tidur nggak jelas. Berak nggak jelas; pasti nonggeng, ngorek-ngorek pasir. Juga, nyaman-nyaman aja hidup tanpa teman dan nggak mandi. Cebok juga.

Masih bisa gerak-gerak tuh kucing. Hingga, makin besar, besar, besar, terus kawin-beranak, kawin-beranak, dengan entah siapa bapak dari anak itu. Kasian kau anak kucing!

Terus poinnya?

Berarti Allah benar-benar nggak membiarkan satu ciptaannya pun luput dari sifat Rahman-Nya. Semua diberi rezeki. Walau pada seekor kucing pun.

Dan pertanyaannya, kok lu santri yang jelas-jelas pencari ilmu dan penegak agama masih sempat-sempatnya takut akan rezeki? Harusnya pikiran sampai ke sana. Bukan malah bilang, “Besok masih bisa makan nggak, ya?”, “Nanti gede jadi, apa?”

Udah belajar aja yang sungguh-sungguh!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar