Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2023

Permen

Suatu sore, di perempatan jalan besar. Lampu merah, juga garang wajah petugas memberhentikan aku, teman, motor seret bensin, seplastik gorengan dan kletikan 10 ribu 3. Sebagai pengemudi tetap harus siap siaga. Mata harus ngejreng. Bagaimana tidak? 2 motor persis di depanku sangat membantu dan andil penuh dalam kengejrengan itu. Yang kiri, semotor bonceng 3 orang perempuan kehidupan luar; rambut, pakaian, dan paha itu. Uhuuy! Yang kanan, semotor bonceng 2 orang perempuan sarung berkerudung. Saat itu, tentu banyak spekulasi. Hitam putih. Sebagai lelaki yang normal, nyetrum tentu ada. Tetapi setelah kiri kanan, kanan kiri. Tetap aja nyetrum itu beda volt-nya. Biar paham, gua analogiin gini; permen. Semahal dan semanis apapun permen, kalo nggak ada bungkusnya juga nggak laku. Boro-boro dijual, dibagi juga nggak mau. Beda lagi kalo ada bungkusnya, sebagaimana permen pada umumnya. Atau Baju murah, obral, tentu ditaruh rendah dan ampar-ampar. Dipegang sana, pegang sini. Banyak tapak o

Bombom

Gendut mungkin menjadi sesuatu momok yang mengerikan bagi sebagian orang. Menjadi aib. Apalagi bagi kaum perempuan yang kayaknya paling nggak mau kalau sampai disebut gendut. Itu fakta. Bahkan, bagi mereka yang nyatanya udah gendut. Tetap aja nggak mau disebut gendut. Takut kelihat gendut. Gimana bisa takut, padahal badannya udah lebar gitu? Soalnya gua pernah disuruh fotoin perempuan, sebut saja mawar. Dia gendut, tapi pas gua foto, dia bilang, ‘posisi fotonya jangan dari situ, ntar kau keliatan makin gendut!’ Lah? Dasar. Tapi, bagi sebagian orang, gendut itu anugerah. Menjadi harap-harap. Penuh puja-puja. Do’a-do’a. Weleh-weleh. Kaya gua, contohnya. Gua yang ceking dan dikira cacingan ini pengen gendut. Eh, bukan gendut juga deh. Gendut bahasanya kaya over banget. Berisi. Pengen berisi. Bukan tanpa alasan, makan ya normal; 2-3 kali sehari. Tidur oke. Nggak usah disuruh. Olahraga cukup. Tapi, tetap nggak ngisi-ngisi. Gua cukup mikirin hal ini. Soalnya gini, umur, tinggi, dan berat

Kamu

Manusia kadang masih butuh adaptasi akan kata berani. Ya, kita makhluk cemen. Setidaknya ada 2 hal yang sulit diakui manusia;   Pertama, mengakui kesalahan.   Kedua, mengakui perasaan. Itu pendapat gua. Mengakui kesalahan. Ini kadang yang terlupakan. Tentu ungkapan, ’al-insanu mahalul khoto’ wa nisyan,’  tak mungkin terlepas dan memudar. Kita pasti punya salah. Entah sadar atau tidak, masalahnya, kita begitu sulit untuk mengakuinya. Ya, bisa karena ego, emosi, malu, atau bahkan karena tak tau sekalipun. Apalagi jika sudah menyangkut harga diri, seperti punya salah terhadap adik kelas atau strata apapun di bawah kita. Pasti sulit. Gengsi bos! Padahal maaf adalah salah satu dari 3 hal kecil yang penting, tapi kerap kali terlupakan; maaf, terima kasih, tolong. Jika kita punya salah, jangan lihat subjek atau objeknya. Tapi, lihat salah itu sendiri. Kesampingkan ego, percaya diri, perlahan, dan minta maaf dengan penuh tulus kerendahan. Pasti bisa. Meski harus dipaksa. Satunya lagi, me

Sajak Untuk Dek Sarinem

Teruntuk Dek Sarinem terlove-love;   ‘Dek Sarinem Atas nama cinta Dengan apa aku harus Memberi tahu, Jika selalu saja lisanku Menjadi kaku Dan hurufku menjadi Rapuh saat sedang Mempuisikanmu   Dek Sarinem Ingin kuibaratkan Cintaku padamu Dengan luas dan Dalamnya Samudra, Namun apa dayalah yang Hanya mampu Mencintaimu melalui Sepi nyanyian do’a-do’a   Dek Sarinem Dengan ini aku bawakan sebutir cinta Sebesar biji kurma Agar kau tanam di luas Ladang hatimu Bila kapan waktunya Tumbuh Kita akan sama-sama Memanennya Berbagi raya di hari Cinta.’   Ada satu lagi, Dek.   “Dek Sarinem. Jangan pernah takut Untuk mencintai setiap Kekurangan yang tak Pernah saling kata Perkenalkan. Sebab aku akan terus Hidup untukmu. Dan jika Pun mati semoga dalam Keadaan mencintaimu.”   Ini yang terakhir,   Dek, Tentu saja aku akan menyukai Banyak orang yang bahkan kecantikannya melebihi kecantikan yang ada pa

Rusak

2 bocah lelaki sedang asik bercengkrama di pinggir sawah, di jalan aspal yang membelah.             “Kamu tau, Mat. Rumah besar Pak Bakri?”             Tatapan Mamat pada sawah beralihkan menatap Memet. “Kenapa?”             “Kata bapakku, dulu itu adalah kolam ikan mujair. Tempat mancing. Sekarang malah jadi bangunan tingkat itu.”             “Tapi, Met. Menurut kamu sawah ini nantinya akan jadi apa?” Tunjuk Mamat pada hamparan sawah depan wajah.             “Tak taulah. Kalau sawah ini selalu dibeli pemborong, kerja apa bapakku?” Manusia butuh makan. Akal yang diberikan cukup membantu. Tapi nyatanya, pernyataan, ‘rezeki tak akan tertukar’ yang kita anut, lama-lama memudar dalam keyakinan. Memang, sudah ada bagiannya masing-masing. Tapi, kadang orang masih aja merasa kurang. Terjadilah ambil-mengambil dan rampas-merampas rezeki orang. Entah sengaja atau tidak. Rezeki orang saling berkaitan. Berbelit. Macam benang layangan kusut tanah merah itu. Kita memang memuja-muja

Mutiara

Senang dipuji adalah kodratnya manusia. Entah benar atau tidak, serius atau tidak, ucapan Si Pemuji pada Si Dipuji udah buat senang aja. Manusia itu makhluk non konformisme. Jadi, mudah aja jika berlaku lebih. Memang tak salah jika berlaku lebih dan maju. Manusia memang harus maju. Yang salah itu untuk pamer dan mendapat pujian orang lain. Berlaku baik karena orang lain. Harusnya kan karena Allah. Eits. Haha. Contoh aja, status medsos. Bukannya iri, bukannya apa. Mungkin ada orang yang tipenya, semua perilaku, kegiatan, dan gerak-geriknya harus diexpose. Semua orang harus tau. Apalagi semua hal yang disebutnya sebagai ‘kelebihan’. Kelebihan itu malah dibuatnya lebih berlebihan. Membuat yang lihat jadi gimana gitu. Mereka yang berlebihan itu. Lalu, apa-apa post. Dikit-dikit post. Seperti tak dipikir dulu. ‘Ini pantes apa nggak?’ Harusnya pikirannya sampai ke sana. Tak langsung post-post tanpa beban. Ini mungkin yang menyebabkan gengsi-gengsi dan ego-ego yang berkepanjangan. Merebak

Lemah

Hari yang terlewati kadang terasa begitu berat. Semua semangat dan energi bangkit seolah terkuras. Semua orang pasti pernah mengalami sampai pada titik terendah dalam hidupya. Rendah serendah-rendahnya. Lelah selelah-lelahnya. Tak banyak yang bisa dilakukan. Hanya harap bertahan. Semua yang sudah kita usahakan susah payah, kadang belum sampai pada titik tujuan. Belum seperti yang kita inginkan. Padahal kalau mau dibilang capek, kita udah tak ada daya dan upaya untuk sekedar berkata-kata. Mulut ini hanya bisa bungkam merasa. Saat belum menemukan titik hasil usaha yang memuaskan, orang-orang menambah-menambah. Dalam hal baik sekalipun, juga tanpa ada unsur mengganggu orang lain, tapi nyatanya masih ada aja yang menghambat langkah kita. Ucapan, tindakan, juga benci-benci mereka yang sangat sulit rasanya untuk dianggap sebagai hal yang biasa saja. Sudah terlajur masuk ke hati. Sedangkan badan lemah tak mampu apa-apa. Saking lelahnya. Sebegitu kerasnya hidup. Yah. Tidur sana, sudah

Bahagia?

Bahagia adalah hak semua orang. Bahagialah. Silahkan. Asal tak ganggu bahagia orang lain. Tapi, sayangnya, sempitnya otak kita, memandang bahagia hanya dari satu sisi. Harta, uang, kekayaan, yang dijadikan acuan. Orang mengira, kita kaya kita bahagia. Padahal tak gitu konsepnya. Uang bukan segalanya. Semua orang mungkin bisa membeli rumah semewah-mewahnya. Tapi, tak semua orang dapat membeli kenyamanan dalam rumah. Semua orang mungkin bisa membeli kasur empuk semahal-mahalnya. Tapi, tak semua orang dapat membeli tidur nyenyak dan mimpi-mimpi indah. Semua orang mungkin bisa membeli makanan enak dan bergizi; daging, beras, sayur, buah, susu. Tapi, tak semua dapat membeli sehat. Kalian pikir, para artis kaya raya idaman kalian itu hidupnya pasti bahagia? Media sosial hanya tentang drama dan followers. Justru tak sedikit dari mereka yang malah terjebak narkotika dengan mengonsumsi diazepam atau nitrazepam sebagai penenang. Tak sedikit juga artis-artis kaya raya dengan followers yang

Soto

Di tengah terik siang mentari, sepedaku jalan tak tentu arah. Ke kanan, ke kiri. T a k terkendali. Seperti ada setan yang menghinggapi, lalu belok ke tukang soto. Waktu siang, studi inggris dan kuah soto P ak Maul menjadi wadah reuni panas. Apalagi melihat dandan ibu pedagang soto itu yang semakin membuat gerah. Tapi, tempat itu masih sepi singgahan. Ada yang sekelebat-kelebet pembeli untuk soto yang dibungkus. Sepertinya mereka terlalu sibuk untuk sekedar singgah dan ngobrol ringan dengan mahasiswa baru ini. T anya apa kek, ‘gimana kuliahnya?’, ‘kuliah di mana?’, ‘semester berapa?’ kan bisa. Tapi, sayang, tak ada satu batang hidung pun yang mau singgah sampai satu porsi soto dan es teh manis tersaji dihadapan mata ini. Sebelumnya Sang Mata sempat melirik ke arah cyrcle potong ayam sexy itu. Lihat saja potong ayam yang digantung di atas sana! Aku sempat tertarik, lalu sedikit nego harga. Tapi, apa? Aku udah nanya baik-baik, kok, jawabnya malah ngeremehin, ‘mahal lo, mas!’, ‘jang

Terminal

Kita memang suka berpikir berlebihan untuk sikap orang lain. Sampai dalam. Sampai capek. Padahal kalau dipikir-pikir, hidup ini hanya tentang mencapai tujuan. Kita butuh kendaraan. Besar kecil, cepat lambat, dan nyaman tidaknya tergantung semua usaha dan do’a kita. Ya, kendaraan adalah usaha dan do’a kita itu. Kendaraan, apapun, sebut bus, pasti aka berhenti di beberapa terminal untuk perjalanan yang jauh. Kita pasti akan bertemu banyak orang dari segala penjuru arah dengan berbagai tujuan yang berbeda. Kita berkumpul di sana. Ada yang hanya sekedar saling senyum, sekedar sapa, sekedar kenal, atau bahkan ada yang menyempatkan singgah sejenak menemani perjalan sambil membicarakan banyak hal. Hingga, timbulah nyaman itu dan percaya. Bahkan, yang lebih nekatnya lagi, kita sampai berani-beraninya menaruh dan menggantungkan bahagia kita pada orang itu, teman seperjalanan kita. Kita tak sadar, bahwa orang itu juga sama saja seperti kita. Hanya seorang penumpang. Dan benar, di terminal se

Nokturnal

Lu pernah nggak sih, gelisah aja nggak bisa tidur? Miring kanan, miring kiri. Meringkuk, terlentang, tengkurap. Meski dipaksa merem, tetap aja nggak bisa tidur. Kita emang bukan tipe-tipe insomnia. Tapi nggak tau kenapa, malam ini malah jadi nokturnal. Akhirnya, kita lihat langit-langit itu. Pikiran deras mengalir di sana. Ke mana-mana. Tiba-tiba aja otak penuh bayang-bayang. Kejadian hari ini yang seolah berputar monoton tanpa henti. Makan-belajar-tidur, makan-belajar-tidur. Gitu aja terus. Terus juga kadang kita mikir sampai jauh. Sampai dalam. Besok jadi apa? Bisa sukses nggak? Apa kata orang tua? Wajah dan harap-harap mereka hadir begitu aja penuh risau. Pikiran dan semua kata sukses yang merumit, masih sempat-sempatnya malam membawa bayang dia. Kenapa lebih cuek? Kemana aja? Dan segala ucap dan perasaan yang tertahan, hanya bisa terpendam dalam-dalam. Sebegitu melelahkannya untuk suka dengan seseorang. Semua penuh cemas. Bagaimana caranya pulas?