Rusak
2 bocah lelaki sedang asik bercengkrama di pinggir sawah, di jalan aspal yang membelah.
“Kamu tau, Mat. Rumah besar Pak Bakri?”
Tatapan Mamat pada sawah beralihkan menatap Memet.
“Kenapa?”
“Kata bapakku, dulu itu adalah kolam ikan mujair.
Tempat mancing. Sekarang malah jadi bangunan tingkat itu.”
“Tapi, Met. Menurut kamu sawah ini nantinya akan
jadi apa?” Tunjuk Mamat pada hamparan sawah depan wajah.
“Tak taulah. Kalau sawah ini selalu dibeli
pemborong, kerja apa bapakku?”
**
Manusia butuh makan. Akal yang diberikan cukup
membantu. Tapi nyatanya, pernyataan, ‘rezeki nggak akan tertukar’ yang kita
anut, lama-lama memudar dalam keyakinan. Memang, sudah ada bagiannya
masing-masing. Tapi, kadang orang masih aja merasa kurang. Terjadilah
ambil-mengambil dan rampas-merampas rezeki orang. Entah sengaja atau tidak.
Rezeki orang saling berkaitan. Berbelit. Macam
benang layangan kusut tanah merah itu. Kita memang memuja-muja kemajuan
pembangunan. Teknologi. Hebat. Pembangunan bandara, proyek perumahan, mal-mal,
juga gedung tinggi-tinggi itu. Hebat memang.
Tapi, kita nggak sadar, kita sudah menghancur leburkan ladang rezeki orang,
juga harapan-harapannya. Hutan, sawah, tanah, resah. Lemah. Benar risau
itu, qolu ataj’alu fiiha man yufsidu fiiha wayasfikuddima. Manusia
makhluk perusak. Bahkan atap genting tanah liat itu hal kecil dari contoh
perusakan. Pengerukan tanah. Rumahnya cacing, semut, ular, serangga-serangga.
Bangku, meja, pintu, juga pensil itu, habis pohon-pohon.
Rusak sudah. Rusak. Rusak.
Komentar
Posting Komentar