Rusak

2 bocah lelaki sedang asik bercengkrama di pinggir sawah, di jalan aspal yang membelah.

            “Kamu tau, Mat. Rumah besar Pak Bakri?”

            Tatapan Mamat pada sawah beralihkan menatap Memet.

“Kenapa?”

            “Kata bapakku, dulu itu adalah kolam ikan mujair. Tempat mancing. Sekarang malah jadi bangunan tingkat itu.”

            “Tapi, Met. Menurut kamu sawah ini nantinya akan jadi apa?” Tunjuk Mamat pada hamparan sawah depan wajah.

            “Tak taulah. Kalau sawah ini selalu dibeli pemborong, kerja apa bapakku?”

Manusia butuh makan. Akal yang diberikan cukup membantu. Tapi nyatanya, pernyataan, ‘rezeki tak akan tertukar’ yang kita anut, lama-lama memudar dalam keyakinan. Memang, sudah ada bagiannya masing-masing. Tapi, kadang orang masih aja merasa kurang. Terjadilah ambil-mengambil dan rampas-merampas rezeki orang. Entah sengaja atau tidak.

Rezeki orang saling berkaitan. Berbelit. Macam benang layangan kusut tanah merah itu. Kita memang memuja-muja kemajuan pembangunan. Teknologi. Hebat. Pembangunan bandara, proyek perumahan, mal-mal, juga tinggi-tinggi itu. Hebat memang. Tapi, kita tak sadar, kita sudah menghancur leburkan ladang rezeki orang, juga harapan-harapannya. Hutan, sawah, tanah, resah. Lemah. Benar risau itu, qolu ataj’alu fiiha man yufsidu fiiha wayasfikuddima. Manusia makhluk perusak. Bahkan atap genting tanah liat itu hal kecil dari contoh perusakan. Pengerukan tanah. Rumahnya cacing, semut, ular, serangga-serangga. Bangku, meja, pintu, juga pensil itu, habis pohon-pohon.

Rusak sudah. Rusak. Rusak.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar