Permen

Suatu sore, di perempatan jalan besar. Lampu merah, juga garang wajah petugas memberhentikan aku, teman, motor seret bensin, seplastik gorengan dan kletikan 10 ribu 3. Sebagai pengemudi tetap harus siap siaga. Mata harus ngejreng. Bagaimana tidak? 2 motor persis di depanku sangat membantu dan andil penuh dalam kengejrengan itu. Yang kiri, semotor bonceng 3 orang perempuan kehidupan luar; rambut, pakaian, dan paha itu. Uhuuy! Yang kanan, semotor bonceng 2 orang perempuan sarung berkerudung.

Saat itu, tentu banyak spekulasi. Hitam putih. Sebagai lelaki yang normal, nyetrum tentu ada. Tetapi setelah kiri kanan, kanan kiri. Tetap aja nyetrum itu beda volt-nya.

Biar paham, gua analogiin gini; permen. Semahal dan semanis apapun permen, kalo nggak ada bungkusnya juga nggak laku. Boro-boro dijual, dibagi juga nggak mau. Beda lagi kalo ada bungkusnya, sebagaimana permen pada umumnya.

Atau

Baju murah, obral, tentu ditaruh rendah dan ampar-ampar. Dipegang sana, pegang sini. Banyak tapak orang. Kan beda kalo baju mahal. Digantung tinggi-tinggi, ditaruh yang rapih. Boro-boro mau megang-megang, bandrolnya aja udah nyekik duluan.

“Tin..Tin…Woy!”

Klakson-klakson dari belakang. Lampu ijo. Apa?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar