Kamu

Manusia kadang masih butuh adaptasi akan kata berani. Ya, kita makhluk cemen. Setidaknya ada 2 hal yang sulit diakui manusia;  Pertama, mengakui kesalahan.  Kedua, mengakui perasaan. Itu pendapat gua.

Mengakui kesalahan. Ini kadang yang terlupakan. Tentu ungkapan, ’al-insanu mahalul khoto’ wa nisyan,’ tak mungkin terlepas dan memudar. Kita pasti punya salah. Entah sadar atau tidak, masalahnya, kita begitu sulit untuk mengakuinya. Ya, bisa karena ego, emosi, malu, atau bahkan karena tak tau sekalipun. Apalagi jika sudah menyangkut harga diri, seperti punya salah terhadap adik kelas atau strata apapun di bawah kita. Pasti sulit. Gengsi bos!

Padahal maaf adalah salah satu dari 3 hal kecil yang penting, tapi kerap kali terlupakan; maaf, terima kasih, tolong. Jika kita punya salah, jangan lihat subjek atau objeknya. Tapi, lihat salah itu sendiri. Kesampingkan ego, percaya diri, perlahan, dan minta maaf dengan penuh tulus kerendahan. Pasti bisa. Meski harus dipaksa.

Satunya lagi, mengakui perasaan. Tak memandang lelaki atau perempuan, jika sudah mengenal perasaan dan nyaman pada seseorang, satu yang dipertanyakan; keberanian pengungkapan. Perempuan, -perempuan normal- yang gua tau, makhluk dengan rasa malu yang besar. Ia lebih memilih memendam dari pada harus cepat memutuskan hasil akhir. Tak juga menafikan lelaki yang katanya makhluk kasar. Tapi, jika sudah berurusan dengan perasaan, maka ia tetap harus ikut aturan mainnya hati. Jadi tak heran jika ada lelaki kekar sekalipun, kok bisa waktu putus malah nangis guling-guling bagai kucing.

Ya, sulit memang jika sudah berurusan dengan perasaan. Ada aja yang bikin tak pd. Ada aja yang bikin mundur. Bikin minder. Seperti, tak sekufu, contohnya. Si Doi lebih di atas kita; lebih berparas, lebih cerdas, lebih kaya tak terkuras, juga keluarganya yang papan atas. Tak butuh waktu lama untuk melepas. Beda kelas.

Akhirnya, atas persoalan ini, menulis jadi pelarian. Mereka lebih percaya selembar kertas dan sebatang pena dari pada sesama, makhluk yang juga punya akal dan nafsu. Di hadapan kertas, pena membantu saja ungkap perasaan yang mengalir. Semua unek-unek tentangnya tumpah di sana. Hati tak lagi mampu menampung. Hati terlalu kecil untuk cinta yang begitu  besar.

Kata orang, ’menulis adalah bentuk berpikir di atas kertas.’

Jika kamu yang kutulis, lalu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar