Soto

Di tengah terik siang mentari, sepedaku jalan tak tentu arah. Ke kanan, ke kiri. Tak terkendali. Seperti ada setan yang menghinggapi, lalu belok ke tukang soto.

Waktu siang, studi inggris dan kuah soto Pak Maul menjadi wadah reuni panas. Apalagi melihat dandan ibu pedagang soto itu yang semakin membuat gerah. Tapi, tempat itu masih sepi singgahan. Ada yang sekelebat-kelebet pembeli untuk soto yang dibungkus. Sepertinya mereka terlalu sibuk untuk sekedar singgah dan ngobrol ringan dengan mahasiswa baru ini. Tanya apa kek, ‘gimana kuliahnya?’, ‘kuliah di mana?’, ‘semester berapa?’ kan bisa. Tapi, sayang, tak ada satu batang hidung pun yang mau singgah sampai satu porsi soto dan es teh manis tersaji dihadapan mata ini.

Sebelumnya Sang Mata sempat melirik ke arah cyrcle potong ayam sexy itu. Lihat saja potong ayam yang digantung di atas sana!

Aku sempat tertarik, lalu sedikit nego harga. Tapi, apa? Aku udah nanya baik-baik, kok, jawabnya malah ngeremehin, ‘mahal lo, mas!’, ‘jangan, itu mahal!’ emang muka ini, muka-muka burundi sebagai negara termiskin itu. Padahal cuma nanya harga, kan tinggal dijawab. Berapa harganya. Kok ini malah ada pedagang yang ngelarang pembeli untuk beli. Emang ada raut-raut kriminal? Peci hitam harusnya cukup ngejelasin.

Padahal kan kita nggak boleh ngeremehin yang lain. Walaupun dari pandang mata memang seperti itu. Tapi, apa semua perkara pantas di nilai dari mata? Siapa tau bahwa kita lebih baik darinya? Kan, yang terlihat baik belum tentu baik, yang terlihat buruk belum tentu buruk. La tusabbanna ahadan. Janganlah kau menghina seorang pun.

Ternyata saat direngek, harga potong paha itu hanya 18 rb. Apakah gara-gara peci menjadi anggapan bahwa santri adalah kaum proletar, marhaen, kolot, atau apapun yang rendah. Haha. Terlalu eksoteris kau, Ibu Soto! Bukan suudzon. Padahal kalau mau jujur, waktu itu di kantong bawa 100 rb. Bisa buat 4 potong ayam beserta 3 mangkok soto.

Sudah begitu. Ya, sudah. Berarti bukan rezekinya.

Teruntuk tukang soto yang saya hormati dan banggakan, kami sebagai salah satu dari pelanggan rahasia akan semua kelezatan ayam, gurih kuah, dan harum sotomu, ingin bertutur; seharum apapun aroma yang terpuja, segurih apapun kuah yang terasa, percuma! Kalau ucap tak pernah dipilah dan dijaga. Terlanjur menusuk dada.

 Aduuh!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar