Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2024

Rumah

“Kamu marah, Ay?” Lelaki paruh baya, penuh sendu menghadap gadis remaja dengan wajah, bagai pelangi ditutup kemendung, muram itu suram. “Ayla, dengarkan ayah baik-baik.” Lelaki itu membenarkan posisi duduknya, menghadap wajah anak perempuannya. “Semua hal tentu ada kurang lebihnya. Semua hal ada konsekuensi dan jalannya. Belajar bukan hanya perihal membaca dan menulis. Tapi juga mendengarkan dan berbicara. Seharusnya kamu bisa dengarkan ayah, dan ayah pun dengan penuh rela mendengarkanmu. Kita harus bisa berbicara dengan komunikasi yang sehat. Apa yang harus ditakutkan dan ditutup-tutupi? Ini ayahmu, Ayla!” Perempuan itu masih saja termenung, tanpa sekalipun memandang wajah yang tengah mengharapnya. “Sejujurnya, ayah hanya belajar dari ibumu. Semua hal perihal keperempuanan, ayah dapat hanya dari ibumu: bagaimana ia senang, ia sedih, ia cemburu, atau ia menginginkan dan membenci sesuatu. Dari sikapnya, sifatnya, juga caranya berbicara. Tapi, ibumu, ia selalu berani untuk ju

Daging

Tulisan ini dibuka dengan 3 ucapan hebat, dari orang-orang hebat:  “Many do not realize that we here must die. For those who realize this, quarrels end.” -Buddha. “I desire to live in peace and to continue the life i have begun under the motto to live well you must live unseen.” Filsuf Rasionalis, Rene Descartes. “To be happy, we must not be too concerned with others.” Filsuf Absudisme, Albert Camus. Masih banyak pendapat lain yang menganjurkan untuk menghindari perdebatan dengan segala alasan kebaikannya. Bahkan dalam keterangan masyhur kitab Ta’limul Muta’alim, dengan tegas menganjurkan untuk menghindari jaddal . Tapi, bukan berarti memiliki andil dalam perdebatan itu buruk. Dengan beralasan bertukar pikiran, menunjukan pendirian, hingga menjatuhkan musuh pun. Nggak ada yang beda. Satu poin yang bisa kita tarik benang merahnya, bagaimanapun, meski dengan perdebatan: perbedaan itu rahmat. Nggak mengecualikan pada momen Idul Adha kali ini. Idul Adha tentu nggak bisa dilepaskan dari pe

Jejak

Suatu hari, seorang pemulung berkutat dengan sebuah pena yang ia temui di usang bau kotor jijik sampah. “Atas nama cinta, ingin kuberikan sepenuhnya dunia. Bukan tak mau, bukan tak mampu: apa dayalah, bahwa kamu adalah dunia itu. Apa jadinya jika itu tertuntut dan dipaksakan, untuk segala spekulasi ‘kamu diberikan padamu?’, ‘kamu untukmu?’, ‘aku apa?’, ‘aku di mana?’ yang tentu akan mendapatkan banyak kepusing yang lebih dari itu. Dengan sikap saling percaya dan rasa saling memiliki, seharusnya aku tidak perlu khawatir lagi dengan segala hal tentang dunia yang fana ini. Akhirat adalah milik kita, Adinda! Hingga, pertanyaannya: apa dan bagaimana lelah ini kita berikan untuk akhirat dan memilikinya? Mengejar akhirat seorang diri itu akan lebih melelahkan, Adinda! Sudikah untuk bersama dalam pertualangan jauh dan hebat ini? Apa tanggapan orang tuamu untuk aku yang seorang pemulung?” Sehabisnya tinta, pena itu tetap berkutat dengan tetesan keringat, air mata, hingga darahnya. P

Jahe

Malam perdana ini, seharusnya nggak terlalu begitu excited kayak santri baru. Biasa aja, untuk penyikapan berat ringannya berangkat madrasah. Tetapi, satu hal yang bisa diterka, perihal pembahasan naik panggung kemarin pasti akan mewarnai temu kangen libur satu bulan suntuk ini! Gua berangkat lebih awal dari biasanya. Hal lain, mungkin, menjadi sebuah raya untuk setiap naik tingkat dan pindah kelas baru adalah perihal pilih tempat duduk dan siapa yang akan bersemeja sampai setahun panjang yang menetap. Gua tetap terpesona pada baris tengah bangku belakang di bawah sinar lampu, mencoba sendiri, atau entah ada yang ingin sokin untuk berbagi duduk numpang ikut semeja nantinya: bukan banding-membanding, bijak memilih kawan adalah sebuah keniscayaan untuk nyamannya mengobrol atau hanya ingin diam selama setahun ajaran. Tiba-tiba manusia kambing itu menyerobot. Sebuah nama harus gua tembak untuk prepare segala kemungkinan yang nggak mengenakan lainnya. “Eh, gua udah bareng Qodir!”

Klausa

Setelah seikat puisi yang penuh rekah dan harum itu digenggamnya, tiba-tiba senyum menjadikan melayu, berubah menjadi risau dan khawatir. Apa boleh buat? Perempuan itu adalah perempuannya. Tak ada lagi aku ataupun kamu, kita ini milik bersama. “Bagi orang yang belum mengenal, kejujuran kerap kali diartikan dengan kesombongan yang berdampak pada lahirnya iri dan dengki. Tapi, bagi mereka yang sudah saling mengenal dan dekat, bahayanya, kejujuran bisa saja diartikan dengan kebohongan. Begitu kontradiksi dan paradoks. Dan kamu pun tau kan dampak dari hal ini?” Perempuan mengerjap, meskipun setuju akan harum yang semerbak itu. “Dinamakan gombal tidaknya sebuah kejujuran, dapat dibedakan dari sebuah pembuktian atau hanya sebuah omongan.” “Seharusnya kamu yang sebagai makhluk perasa, bisa merasakan itu. Dan aku tidak sedikit pun melarangmu untuk mencoba memikirkannya.” Kalimat itu masih milik lelaki, perempuan itu masih terdiam: merasa atau juga berpikir. “Aku tak mau bertengkar,

Cambuk

Dari sebuah kejadian, gua belajar. Jika kita dihadapkan dengan angin, tentu kita akan merasakan semilir. Mau seberapa tangguh daya tahan tubuh kita akan angin, jika kita hanya berdiam diri di sana untuk terus berhadapan dengan semilir angin itu: pasti ada suatu masa kita akan tumbang dalam gigil. Atau hanya sekedar dari hal yang kita suka sekalipun dan diiringi dengan hal yang percaya diri untuk kuat. Meski hanya rebahan, jika hanya rebahan, terus menerus, dan hanya: kita akan capek, itu akan menyiksa. Karena yang namanya hal internal itu dinamis, sedangkan hal eksternal itu statis. Lalu, apa yang diharap dari suatu hal yang nggak kita suka? Menyingkirlah! Hindarilah! Menjauhlah! Jauh, sejauh-jauhnya. Bukan karena takut, lemah, ataupun nggak berani bertaruh. Hanya kita tau: mana yang penting dan mana yang nggak penting.

Get

Segala sesuatu bisa diambil, dipandang dari segala sisi: termasuk baik buruknya. Sepinya kamar ini, bisa diartikan nggak diajak ngejob, nggak dipercayai, dan nganggur. Bisa saja untuk mengikuti overthinking dan konsekuensi buruk lainnya yang dapat menekan pikir dan batin. Nyatanya, khalayak yang hanya menyisakan gua dan Bakwan di waktu sesore itu, di saat orang lalu lalang mengurusi sibuknya, gua nggak ambil pusing dan tetap enjoy dengan segala hal yang menyenangkan. Nyatanya tugas gua udah selesai. Emang apa salahnya berselancar mencari penyegaran dengan menonton konten-konten youtube? Beberapa judul tulisan telah tersusun sempurna dan revisi. “Wan, nyari makan, yuk?” Tiba-tiba aja lapar, lalu pada Bakwan yang entah kenapa akhir-akhir ini malah senang banget nonton sejarah jawa. Ia menengok, menampakkan wajah yang terjelaskan meski tanpa ucapan. “Yaelah, kayak sama siapa bae lu!” Lanjut gua menebak, menembak. “Serius nih, Bang?” Rona itu, bagai kelopak bunga yang bermeka

Ampela

“Aku udah nggak habis pikir lagi ya sama kamu!” Suara itu cukup menyadar, tanpa sandar: begitu bergejolak. “Kamu perhatian banget pada ampela. Apa-apa ampela, apa-apa ampela! Aku tuh cewek kamu tau, nggak?!” Perempuan itu menahan panas hatinya, tetes air mata tak mengubah segalanya. “Sekarang begini, kamu pilih aku atau ampela?!” Tutupnya meledak isak. Sungguh, aku pun tak habis pikir dengan pikiran dan perasaan perempuan satu ini. Kita udah pacaran 7 tahun dan banyak hal yang telah dilalui bersama, pahit manis telah kita rasa. Tak ada yang salah, sah-sah saja untuk cemburu: tapi, apa yang diharap dari cemburu pada ampela dan takut kalah saing? Hei, itu hanya ampela! Hanya makanan! Sadarlah! Perempuan itu tetap menunggu dalam redam panas rintik leleh air matanya yang tak terbendung. Dengan penuh kepercayaan diri, sepenuh hati, lagi tulus, lelaki itu mengatakannya dengan jujur: “Maaf, aku memilih ampela.” Perempuan itu makan ati.

Intuisi

Dari segala hal manis, mungkin, kita belajar dari kenapa dan karena: begitu manis. Di sedari hari yang sebenarnya berat untuk berangkat ngampus, kalau nggak karena titipan orang, juga pelajaran dosen yang udah lama nggak absen itu, cukup menuntut. Di sedari hari yang pelajaran berhitung itu terasa memuakan dan tanpa selera yang entah salah siapa: penjelasan guru, pemahaman murid, atau malah mushonif perancang materi berhitung itu. Katanya, “Bentuk Rasional dari Ekspresi Aljabar”: kok malah irasional? Kok malah curhat cerita kucing? ‘Ekspresi’ aljabar nyatanya malah menghilangkan ‘perwajahan’ pendidikan! Entah feminis atau idealis sekalipun, stigma dan paradigma mengancam itu sulit diterima, Pak! Pendidik itu sifatnya membuka, bukan malah menutup. Ngampus bukan soal keren nggak keren: mau dibilang apa, sih?! Hingga, cukup respect pada sebaris kalimat, satu-satunya kalimat yang rasional dan gua catat. “Belajar itu bukan hanya soal bacaan, ada kalanya juga dari simbol!” Maks