Intuisi
Dari segala hal manis, mungkin, kita belajar dari kenapa dan karena: begitu manis.
Di sedari hari yang sebenarnya berat
untuk berangkat ngampus, kalau nggak karena titipan orang, juga pelajaran dosen
yang udah lama nggak absen itu, cukup menuntut.
Di sedari hari yang pelajaran berhitung
itu terasa memuakan dan tanpa selera yang entah salah siapa: penjelasan guru, pemahaman
murid, atau malah mushonif perancang materi berhitung itu.
Katanya, “Bentuk Rasional dari
Ekspresi Aljabar”: kok malah irasional? Kok malah curhat cerita kucing? ‘Ekspresi’
aljabar nyatanya malah menghilangkan ‘perwajahan’ pendidikan!
Entah feminis atau idealis
sekalipun, stigma dan paradigma mengancam itu sulit diterima, Pak! Pendidik itu
sifatnya membuka, bukan malah menutup. Ngampus bukan soal keren nggak keren: mau
dibilang apa, sih?!
Hingga, cukup respect pada sebaris
kalimat, satu-satunya kalimat yang rasional dan gua catat.
“Belajar itu bukan hanya soal
bacaan, ada kalanya juga dari simbol!”
Maksud simbol di sini adalah kita bisa
belajar dari sekeliling, hal-hal yang tertangkap pancaindra. Nggak melulu soal
buku, kita bisa mendapat nilai pengajaran dari hal tersirat, nggak hanya hal
tersurat: ini soal intuisi dan kepekaan!
Dalam konsep filsafat manusianya,
Pak Fahruddin Faiz menjelaskan dengan ungkapan manusia adalah tujuan akhir
penciptaan, manusia adalah mikrokosmos, dan manusia adalah cermin Tuhan. Maka output
hal ini berakhir pada muhasabah diri dan intropeksi, bersyukur, lalu menghargai
sesama.
Dari sekalimat yang awalnya gua
terka pikir hanya sebatas cocoklogi dogma doktrin dosen dari hal-hal yang sulit
diterima akal sehat dan relevansinya bahwa matkul matematika ini masih
mengandung pemaknaan pendidikan. Termasuk dari pemaknaan rumus:
+ x + = +
- x + = -
+ x - = -
- x - = +
Nyatanya, nggak juga.
Semula dari UAS matkul bimbingan dan
konseling yang sama sekali nggak gua paham, atau mungkin memang berniat nggak
paham dari kalimat-kalimat kaku khas manusia teoritis, gua mencoba menerima
dari urut absen UAS lisan yang tiba-tiba aja jadi maju awal. Padahal gua ingat,
gua paling terakhir. Entahlah, mayoritas memang sering kali berkonspirasi atas
kekuasaan!
Hingga, kepercayaan diri yang sering
kali dianggap kunci, dan intuisi ini menghasilkan hal yang luar biasa! Gua yang
sedari awal nggak mampu menjawab nama judul jurnal artikel foto kopian itu yang
memandakan belajar gua, hanya mengetahui tentang 2 hal garis besar: bullying
dan kesehatan mental. Hanya sebatas kata, tanpa isi dari kertas materinya.
Nggak perihal soal dosen itu yang
terlihat antusias, angguk-angguk, hingga senyumnya, gua yang bermodal pd dan
intuisi itu nyatanya begitu nyaman lancar menjawab yang “cukup” terasa mudah,
hingga nggak terasa bahwa tes lisan bisa terasa begitu cepat. Hingga, berani
jaminnya gua untuk nilai UAS itu.
Hal yang gua tangkap saat itu,
mungkin Allah lebih mau mengetes loyalitas gua terhadap kesukaan dan kegebuan dari
pengakuan, pemahaman, dan pengamalan nilai-nilai buku-buku Pak Fahruddin Faiz
yang pernah terlintas untuk memiliki dan membaca seluruh karya beliau. Nyatanya,
terbukti: begitu luar biasa!
Juga perihal pemantapan keberanian,
dari sebuah buku yang terus dibawa tanpa eksekusi hingga akhirnya, bau debu
kertas menguning novel bajakan itu tercium juga parfum ambreng-ambreng! Dan konsekuensi
simbiosis mutualisme dengan ditawari pinjam buku itu, terutama genre romance, sungguh
menyenangkan.
Lalu, pada anggrek itu? Mungkin sulit
dan berharga sebatang anggrek tetangga, gua harus banyak konsul perhutani!
Hingga, panas jum’at penuh dahaga. Entah
kenapa, kali itu, malah pengen cincau dan minum di tempat yang biasanya dibungkus
atau malah langsung sedot di sela atas kayuh onthel. Bisa dipastikan,
abang-abang sunda itu tetap memaksa gua ngomong sunda di setiap kesempatan!
Dari obrolan seputar onthel, hingga
kampus dan kepesantrenan, tiba-tiba aja malah mengarah ke keuangan.
“Seharusnya uang segitu, harus pintar-pintar
ngaturnya, ya!” Ucapnya dengan pengekspresian wajah mengrentenir berspekulasi
keuntungan dan segala probabilitasnya.
Oh, mengena sekali untuk pemaknaan
kali ini!
Sampai pada jum’atannya, gua sholat
di jalan depan gerbang samping bapak-bapak yang kayaknya wali santri. Siang itu,
di jalan bertempat tanpa atap seperti biasa. Cukup membuat ketidaknyamanan dari
berusaha mencari bayang-bayang siluet gerbang.
Tiba-tiba aja, pada khutbah kedua
menunggu iqamah, motor itu membelah khalayak dan terparkir. Khalayak malah
saling menunduk ta’zhim, tentu kaget dan mati gaya: Gus Sholeh ikut jum’atan di
jalan!
Siapa yang nggak kenal dengan Gus
Sholeh yang sudah sangat pantas jika harus dipanggil semat kiai ini? Seorang figur
yang sedari pagi, dzuhur, ashar, dan maghribnya selalu diisi dengan mengajar
ngaji di ndalem beliau. Seakan tanpa pernah lelah atau pun butuh istirahat,
pantas saja jika Buya Kafa mengambil beliau sebagai menantu. Masya Allah.
Cukup tertampar akan ego diri,
kepribadian, dan rendah hati. Sekelas beliau, layak apa santri compang-camping
ini mengaku?
Sampai pada acara penuh raya itu. Dengan
lamanya pemantapan persiapan, acara itu diselenggarakan dengan sukses dan
meriah. Hingga, keresahan itu tetap: entah kenapa, para aktivis pena, literasi
team selalu krisis identitas di setiap liputan acara untuk double job yang
mungkin menganggap bahwa menulis itu mudah atau mungkin rendah. Baiknya relawantif
literasi atau malah buruknya perspektif mereka, siklus itu tetap berputar dalam
marketing atau perkontenan sekalipun.
Hingga, abang-abang penulis
berprestasi yang jelas-jelas jadi peserta dan akan naik panggung, bisa-bisanya
tetap terkena job. Baik pra, pas, atau bahkan pasca sekalipun.
Mungkin dari pra terlebih dahulu. Kali
itu gua harus ikut marketing. Menyiapkan produk, mendirikan dan merapihkan
stand, hingga penyusunan dan finishing. Tentu untuk mondar-mandir sampai
larutnya malam. Lalu, kejadian itu terjadi dengan nggak mengenakan.
Dengan sedari siang sampai malam gua
bertossa ria bareng Si Bakwan, dengan berbagai obrolan terkait acara, kuliner,
finansial, clothing, hingga perasmaraan sekalipun.
“Bang, dia udah lamaran.” Ucapnya
dalam dingin angin malam dan deru mesin, kok tiba-tiba.
“Siapa?”
Ya, sebut aja mantan: hasil tikungan
ustadz. 2 kata lucu, ustadz nikung. Haha, terserah juga sih. Lucu aja. Tapi hal
ini bukan soal Sang Ustadz: kenapa perempuan begitu senang, atau mungkin
terkesan menuntut pada hal terburu-buru dan instant. Padahalkan romantika dalam
romantisasi itu berada di sepanjang perjalanan, bukan pada titik tuju. Pada usaha,
bukan hasil. Nggak usah banyak teori, mulailah membaca novel!
Hanya karena kesebuah kesalahpahaman
kecil: Bakwan yang ke Ngampel untuk mengambalikan tossa dan gua naik motor
untuk mengiringi dan menjemputnya, nyatanya nggak sesuai sederhana rencana. Gua
inisiatif isi bensin karena tangki menipis dan Bakwan inisiatif berangkat
duluan karena mengingat lambatnya tossa itu. Tapi apa boleh buat, kedua inisiatif
baik itu nggak dibarengi dengan komunikasi yang baik, dan berakhir dengan hasil
yang nggak baik.
Sebagaimana Bakwan yang marah ke gua
karena nggak dijemput di Ngampel dan harus mencari tumpangan untuk balik,
seharusnya gua pun mempunyai legalitas untuk marah karena pengorbanan beli
bensin dan jemputnya ke Ngampel tapi ia malah nggak ada.
Belum lagi perihal flashdisk gua
yang dibawanya untuk dengerin lagi lewat music box di tossa, saat gua tanya
dengan berusaha tenang, ia malah jawab, “nggak tau!” ngegas. Bukan sekedar
flashdisk, data-datanya menentukan masa depan! Jikapun sampai hilang, nggak kebayang
bagaimana hancurnya gua untuk pengekspresian diri yang tentu flashdisk ini
nggak sebanding dengan flashdisk yang pernah korup kala itu. Padahal ia yang
minjam: jatuhnya, cukup tersadarkan bahwa nggak ada manusia yang sepenuhnya bisa
kita percaya.
Mereda panas, gua berniat rehat,
mandi, dan sholat isya. Lalu, rebahan dalam baca buku dan nulis-nulis nggak
jelas.
“Bat, kamu lagi ngapain?” Tanya Kang
Burhan yang gua jawab sekenana tanpa menengok sekalipun dari aktivitas di
sebalik pintu lemari yang terbuka.
“Lagi nulis-nulis biasa, Kang.”
“Tolong ke warung sebentar, beliin
aku Surya sama cobrutnya dua.” Ia memberi lembar uang itu.
Bangkit, jalan, ngantri, pesan,
bayar, kembali.
“Nih, kamu satu. Sama Surya-nya
juga.”
Wah, siapa yang bisa menolak es cokelat
terhits sepondok ini? Mungkin ini cara Allah menghibur hambanya, panas hati
diredakan dengan dingin, manis, dan segar dari segelas besar es cokelat kental penuh
pesona itu!
Dengan penyikapan dalam mencoba
tenang, tenang setenang-tenangnya, akhirnya marketing sukses, badan segar,
tidur cukup, dapat me time bacaan tulisan, es cokelat, baikan dengan Bakwan,
dan flashdisk gua ketemu!
Hingga, pas acara, setelah selesai
menjadi peserta, gua beralih profesi menjadi pekerja. Mereporter, mewancarai
wali santri dari siswa-siswi yang berprestasi, hingga mendadak ngonten sergap
pertanyaan, “mengapa memilih memondokkan anaknya di pondok ini?”
Ada yang bagus.
Ada yang kurang.
Ada yang lucu.
Ada yang enggan.
Pasca acara, mungkin jadi tim
usung-usung dan relawan penghabis konsumsi. Cukup menyenangkan.
Sama ini deh, di acara itu, gua
dapat banyak bunga dengan berbagai warna dan harum yang bertebar di mana-mana. Bukan
apa-apa, mungkin ini jawaban dari kasus anggrek tetangga kala itu. Nggak dapat
sebatang, kini malah dibalas sekebun!
Cukup manis: untuk kali ini, gua setuju
dengan Pak Matematika!
Komentar
Posting Komentar