Daging

Tulisan ini dibuka dengan 3 ucapan hebat, dari orang-orang hebat:

 “Many do not realize that we here must die. For those who realize this, quarrels end.”

-Buddha.

“I desire to live in peace and to continue the life i have begun under the motto to live well you must live unseen.”

Filsuf Rasionalis, Rene Descartes.

“To be happy, we must not be too concerned with others.”

Filsuf Absudisme, Albert Camus.

Masih banyak pendapat lain yang menganjurkan untuk menghindari perdebatan dengan segala alasan kebaikannya. Bahkan dalam keterangan masyhur kitab Ta’limul Muta’alim, dengan tegas menganjurkan untuk menghindari jaddal.

Tapi, bukan berarti memiliki andil dalam perdebatan itu buruk. Dengan beralasan bertukar pikiran, menunjukan pendirian, hingga menjatuhkan musuh pun. Nggak ada yang beda.

Satu poin yang bisa kita tarik benang merahnya, bagaimanapun, meski dengan perdebatan: perbedaan itu rahmat.

Nggak mengecualikan pada momen Idul Adha kali ini.

Idul Adha tentu nggak bisa dilepaskan dari persoalan perdagingan. Perdagingan tentu nggak bisa dilepaskan dari persoalan perbakaran, masak memasak. Jadwal gua jadi penuh.

Meski dirasa lucu, nyatanya seorang pendiam dan penyuka sepi sendiri ini, bisa memiliki jadwal kumpul circle yang padat. Dari segala arah penjuru, keterikatan forum, memiliki cara serunya tersendiri. Seorang individualis juga punya, harus punya sisi sosialis: meski sepenuhnya klandestin.

Dan hal ini, dalam momen Idul Adha dan lingkup sosialis, perdebatan nggak bisa dihindarkan.

Seenggaknya ada 4 pendapat dalam debat yang sebenarnya logis dan sama baiknya.

Wahai pemirsa, simaklah cerita berikut!

Dalam ruang lingkup yang cukup hangat, tanpa kipas, tanpa memandang status dan latar belakang, sekumpulan pemuda melingkar menekan pikir. Mereka sepakat soal selera, tapi isi kepala?

Si A membuka forum, mengajukan pendapat.

“Daging kan biasanya dapat dari pondok, kita hanya butuh iuran untuk beli bumbu. Peralatan nanti kita bagi tugas, pasti ketemu. Kita masak-masak seperti biasa, masak dan makan bersama, itu pasti seru, lebih kekeluargaan.”

Si B menyanggah, mengutarakan pendapatnya.

“Daging dari pondok itu mendingan kita lempar ke tukang sate aja, kita tinggal pilih mau dimasak apa: sate, gulai, tong seng, atau rendang sekalipun. Untuk harga, nanti kita ambil kesepakatan dengan jumlah daging, untuk uang iuran yang kita kumpulkan, untuk membayar bumbu dan jasa masak. Soal rasa lebih meyakinkan dari pada masak yang belum tentu enak, udah pasti capek. Yang penting kita makan bersama.”

Khalayak mulai membising, opini setuju nggak setuju, bersiteru.

Si C memberikan pendapat lain.

“Kita jangan dulu merencanakan sesuatu yang belum pasti. Apakah kita begitu yakin akan mendapat jatah daging dari pondok? Mending kita iuran lebih, untuk beli bahan dan bumbu. Nggak perlu daging kambing atau sapi, bisa kita untuk ayam, bebek, ikan, atau telur, dan sayur tumis-tumis. Yang penting masak bersama, makan bersama, tetap terjalin keseruan dan kebersamaan.”

Bising khalayak, seperti api yang disiram bensin, kini lebih berkobar.

Si D ikut mencampur nyeletuk, menyampaikan pendapatnya.

“Dari pada ribet-ribet, mending kita iuran untuk beli sate atau gulai matang, nanti kita makan bersama. Ini bukan perihal seru nggak seru, apalagi sampai mengorbankan capek dan hancurnya cita rasa, yang penting itu kebersamaan. Kita juga harus menimbang bijak dan dewasa, belum lagi perihal kesibukan masing-masing.”

Lengkap sudah, bising itu kini mulai mengkubu, spontan untuk mengikuti hati nurani, jernih pikir, dan tuntut perut: selera mana yang lebih masuk akal?

Hingga akhirnya, mufakat itu dicapai, meski harus melewati jalan panjang dan menimbang-nimbang, penuh keyakinan: dalam perdebatan.

Ini baru satu forum, belum forum-forum lainnya yang entah bagaimana cara mufakatnya.

Hingga akhirnya, tulisan ini ditutup oleh filsuf aroma kaos kaki:

“Manusia: lapar galak, kenyang bego!”

Selamat Idul Adha!

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar