Get

Segala sesuatu bisa diambil, dipandang dari segala sisi: termasuk baik buruknya.

Sepinya kamar ini, bisa diartikan nggak diajak ngejob, nggak dipercayai, dan nganggur. Bisa saja untuk mengikuti overthinking dan konsekuensi buruk lainnya yang dapat menekan pikir dan batin.

Nyatanya, khalayak yang hanya menyisakan gua dan Bakwan di waktu sesore itu, di saat orang lalu lalang mengurusi sibuknya, gua nggak ambil pusing dan tetap enjoy dengan segala hal yang menyenangkan. Nyatanya tugas gua udah selesai.

Emang apa salahnya berselancar mencari penyegaran dengan menonton konten-konten youtube? Beberapa judul tulisan telah tersusun sempurna dan revisi.

“Wan, nyari makan, yuk?” Tiba-tiba aja lapar, lalu pada Bakwan yang entah kenapa akhir-akhir ini malah senang banget nonton sejarah jawa.

Ia menengok, menampakkan wajah yang terjelaskan meski tanpa ucapan.

“Yaelah, kayak sama siapa bae lu!” Lanjut gua menebak, menembak.

“Serius nih, Bang?” Rona itu, bagai kelopak bunga yang bermekar.

Setiap orang punya konsep finansialnya tersendiri, termasuk dengan segala konsekuensinya. Ya, meskipun tetap dipengaruhi dengan kendali pemasukan dan pengeluaran.

Belum sempatnya bersiap, tiba-tiba aja Kang Bito selaku jurnalis senior, alumni, dan panutan: datang main ke kamar.

Basa-basi.

Tanya kabar.

Dan bla-bla-bla haru, seru.

“Teh atau kopi, Kang?”

“Kopi aja, Bat.”

Sat set sat set, aduk udek, kopi tersaji dengan mewangi.

“Kang, ditinggal sebentar nggak apa-apa, kan?” Meski dirasa nggak enak, tekad rencana ini terlanjur bulat, mungkin juga panggilan perut ini.

“Sampean ada yang dititipi?” Lanjut gua, cek ombak.

“Iya, sekalian, Bat. Aku titip makan.”

Nggak pakai lama, kemeja yang terlanjur wangi itu tercabik-cabik angin dalam laju onthel.

Sebenarnya, nggak hanya untuk urusan perut. Ada beberapa file yang harus diprint, juga mampir ke toko perabot untuk “mengemak-emak”.

Ke warung makan yang sangat menjunjung rasa dan gizi itu, menyelap-nyelip penuh orang, “Mas, biasa!” paham sudah abang-abang yang udah memiliki 2 anak yang kayaknya nggak ada berat hati untuk menganggap gua sebagai anak angkatnya: strata tertinggi customer tetap.

“Tinggal dulu ya, Mas!” Ucap gua seraya kembali ke onthel dan tunggang.

Kayuh, kayuh, yuh-yuh!

“Ke mana, Bang?” Tanya Bakwan yang mungkin cukup terlambat skeptisnya.

“Jajan dulu, yuk! Bakso pentol kayaknya segar nih. Pedas, gurih, minumnya es.”

You know lah, kadang finansial mempengaruhi asiknya seseorang: dan Bakwan nggak asik!

Kali itu, onthel sengaja gua terjang melewati jalan yang sepi, perkampungan yang terkesan permai untuk sekedar menikmati angin sore dan suasananya. Bendera di pucuk tiang kiri ban depan itu tampak berkibar bahagia, cukup malu-malu. 

Dan tentu aja, jika udah bareng orang ini, berdua, dalam suasana permai sejuk, apalagi sedang dalam titik terendah: Bakwan selalu punya bahan untuk dijadikan keluh-keluh!

“Bang, tadi gua mimpi!”

Dar!

“Bakal cerita apa nih bocah?” Terka gua dalam hati, penuh antisipasi.

“Si anu?” –censored.

“Kok lu tau sih? Dengerin dulu apa!”

Lah, apalagi? Keluh lu yang banyak itu kan nggak jauh!

“Iya-iya.”

Ia menarik napas, lalu kalimat panjang tiba-tiba menusuk lepas.

“Tadi gua mimpi dapat undangan nikah dari dia!”

Wah! Wah? Whahaha.

“Untung cuma mimpi doang, kan?” Gua coba menguasai tawa yang ingin meledak: ada-ada aja nih bocah!

“Iya, untungnya cuma mimpi doang.”

“Iya, masih mending mimpinya dapat undangan doang, coba aja kalau lu malah mimpi disuruh bikinin editan undangannya, disuruh jadi fotografernya.”

Ledak juga tawa itu.

Bakwan yang mengkamera mendarah daging, seketika mengutuk dan mengetuk segala obrolan. Termasuk physical touch yang malah gua tanggapi dengan tawa yang mengudara. Gua dikeplak: onthel itu hilang fokus kemudi.

“Ah, lu mah gitu, Bang!”

“Gitu gimana?” Dengan sisa tawa yang cukup segar ternikmati untuk bayangan jadi tukang editing undangan pernikahan mantan sendiri!

“Emang seberapa mempesona sih perempuan itu, hingga membuat seorang Bakwan terluka paling hebat dan sebegitu susahnya untuk move on?” Lanjut gua nggak tahan.

“Taulah, Bang. Balik aja, yuk. Nggak nafsu makan nih gua.”

“Lah, bapeeer! Move on, men. Ingat kata Bang Jason, ‘perempuan tak cuuuma dia, ada 3 milyar 21.’

Lagu Sudah Jangan Ke Jatinangor mengalun merdu, lagi menggelitik hingga sampainya di warung pentol the best seantero Mojoroto, untuk pesan, makan di tempat.

Tumben-tumbenan Bakwan malah mengambil porsi sedikit. Entah nggak nafsu makan karena cerita itu, giginya kumat, atau memang karena sungkan untuk memesan banyak bahwa bakso itu gua yang nanggung.

Haha.

Kayak siapa bae lu, Wan!

                                                                                                                                                      

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar