Jahe
Malam perdana ini, seharusnya nggak terlalu begitu excited kayak santri baru. Biasa aja, untuk penyikapan berat ringannya berangkat madrasah. Tetapi, satu hal yang bisa diterka, perihal pembahasan naik panggung kemarin pasti akan mewarnai temu kangen libur satu bulan suntuk ini!
Gua berangkat lebih awal dari biasanya.
Hal lain, mungkin, menjadi sebuah raya untuk setiap naik tingkat dan pindah
kelas baru adalah perihal pilih tempat duduk dan siapa yang akan bersemeja
sampai setahun panjang yang menetap.
Gua tetap terpesona pada baris tengah bangku belakang di bawah sinar lampu,
mencoba sendiri, atau entah ada yang ingin sokin untuk berbagi duduk numpang
ikut semeja nantinya: bukan banding-membanding, bijak memilih kawan adalah
sebuah keniscayaan untuk nyamannya mengobrol atau hanya ingin diam selama
setahun ajaran.
Tiba-tiba manusia kambing itu menyerobot. Sebuah nama harus gua tembak
untuk prepare segala kemungkinan yang nggak mengenakan lainnya.
“Eh, gua udah bareng Qodir!”
Meskipun duduk sendiri dirasa lebih menyenangkan dan menenangkan, semeja
dengan CS tentu lebih dipilih dari pada dengan manusia kambing. Ya, meskipun
setiap orang punya sisi baik buruknya, kelebihan dan kekurangan.
Ia beranjak dan mencari meja lain, malah Qodir mendekat dan merapat: isu
Bekasi apa yang harus gua persiapkan?
Drama perbangkuan ini cukup laris untuk mencipta segar dan rekah. Ada aja
hal yang bisa dibahas dari satu kelas yang diisi oleh pejantan tangguh, ataupun
yang kurang tangguh dan terlalu tangguh itu, nyatanya tetap bisa bahagia dan
terbuka. Nggak ada rona sedih ataupun ketergantungan pada semat kata “perempuan”
untuk mencoba hidup yang penuh gairah.
Obrolan dan candaan tetap mencipta segar di sedari ruangan tanpa kipas itu.
Hal lain, ini nih: keroisan!
Setiap kelas di setiap tingkatan madrasah diniyah pasti ada susunan
struktur dan jajaran keroisan yang akan menanggung jawabi satu pelajaran yang
berlaku. Tanggung jawab yang tentunya sepaket dengan konsekuensinya.
Di tingkat ini, dengan kenyataan ada satu mata pelajaran yang dikurangi
yang pasti berpengaruh pada slot rois yang berkurang: cukup menenangkan untuk
perkandidatan.
Meski setiap kelas di setiap tingkatan itu selaras dan sepakat perihal kewajiban
dan konsekuensi akan peroisan ini. Hanya satu hal yang di luar sepakat dan
pasti berbeda: prosesi pemilihan dan penetapan tentang siapa yang akan menjadi
rois.
Gua nggak bilang demokrasi telah mati, hanya mungkin: secara
terang-terangan, demokrasi telah dikencingi!
Bukan hanya itu, sedari mapel yang tidak sampai sepuluh di setiap
jenjangnya, entah kenapa bocah kentang dan oon kayak gua ini selalu dapet slot
rois di setiap tahunnya?!
Bukan maksud sombong, bukan maksud merasa cerdas dan kompeten: udah gua
bilang, ini adalah ketetapan hasil demokrasi yang dikencingi!
Kalau aja, di tahun ini, tahun terakhir ini gua sampai kena rois lagi
dengan nama-nama pelajaran yang masya Allah bikin geleng-geleng kepala, fiks, Guinness
World Records harus mencatat nama gua!
Seperti yang udah-udah, dengan segala pengamatan pengalaman, cukup
terprediksi bagaimana para pemegang kekuasaan ini memainkan demokrasi peroisan.
Bagi mereka yang malah ikut ramai mengusul dan menunjuk nama lain yang tentunya
dengan maksud dirinya nggak mau untuk masuk kandidat dan tercantum: suara itu
akan menyadarkan penguasa akan siapa nama orang yang bersuara tadi. Ingat, tentang
siapa yang bersuara, bukan tentang apa yang disuarakan!
Lalu, dengan itu, gua memilih diam, menulis-menulis penuh syukur yang
untungnya kelas kali ini jenis kelas meja, bukan kelas lesehan: kutat pena itu
berjingkrak-jingkrak penuh senang, meski telinga tetap tajam untuk sekedar terka
penasaran apakah ada nama gua yang disebut.
Lalu, satu persatu, pelajaran top-topan itu bergandeng dengan nama yang
top-topan pula: para cendekiawan.
Hingga, satu pelajaran yang tersisa seharusnya bisa bikin gua tenang. Karena
slot pelajaran yang tersisa nggak sebanding dengan jumlah nama orang yang masih
tersisa banyak. Kemungkinan terpilih semakin jauh dan samar. Nyatanya?
“Untuk pelajaran terakhir, Bulughul Marom, akan diroisi oleh... Ahbat!”
Tok toktoktok!
Ya, pelajaran hadits itu menjadi tanggung jawab yang semoga aja munawibnya
bukan dzuriyyah.
Pembacaan hasil keputusan itu berjalan meriah, nggak hanya peroisan, juga
dengan penetapan susunan kelas, seperti ketua, wakil, bendahara, dan katib.
Tinggi nada keputusan, sorak sorai, riuh, jokes, tentu tepukan tangan yang
entah apa artinya, ucapan selamat atau tanda syukur bahwa dirinya nggak
terpilih menjadi rois, apa boleh buat? Itu semua isyarat palu yang diketok.
Dengan itu, ada yang tau nomer wa-nya admin Guinness World Records?
Aslinya nggak ada yang perlu disikapi secara berlebihan akan hal ini. Karena
rekor gua yang udah langganan rois setiap tahun, sedari tahun yang lama lampau
itu, segala seluk beluk peroisan cukup terpahami. Nggak perlu kaku kayak santri
baru, ataupun ribet buang tenaga akan emosi untuk sampai mengajak berantem satu
kelas.
Bayang-bayang itu udah tergambar dan terpatri: akan ada acara penataran
keroisan, pembukaan musyawaroh, lalu pra bathsu dan bathsu-bathsunya di setiap
minggu, sampai larut. Sanksi dan hukuman-hukuman bukan keterkejutan. Cukup jalani,
coba nikmati. Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Bertambahnya
pengetahuan dan pengalaman dirasa cukup manis jika diiringi dengan ikhlas.
Caranya?
Terima, jalani, nikmati!
Gua malah ingat ucapan-ucapan itu, di sebuah hari.
“Paaayeh, sregep men. Pisan-pisan loh, Bat, woco bukune diganti woco kitab.”
Sebuah kalimat yang meluncur di tengah siang, nyatanya nggak semerta-merta
menambah panas. Novel sejarah itu hilang konsen, meski nggak dengan cintanya. Cukup
tersadarkan dan tertampar, bahwa arti rajin baca buku bukan segalanya dan bukan
selalu untuk kesan merasa “sok”.
Meskipun sejatinya, bukanlah hal yang buruk perihal rajin baca buku. Dan bukan
juga, rajinnya baca buku tanpa dibarengi baca kitab sama sekali. Hanya aja,
ketimpangan kadar durasi baca buku gua terketuk dengan durasi gua baca kitab. Meskipun
juga gua tau, bahwa setiap orang punya kecenderungan dan jalannya
masing-masing. Saat kita dihadapkan dengan dua hal yang sama-sama baik yang
tentu nggak harus sampai pusing untuk menanggapinya, tapi apa salahnya mencerna
dan mulai mencoba? Kita hanya terus menerus berusaha menjadi lebih baik di
setiap harinya.
Terima kasih Kang Ulum!
Lalu, “lu tuh kurang effort, Bat. Kurang kesungguhan. Percuma punya gebu
atas kemauan, tapi nggak dibarengi dengan pelaksanaan dan sungguh-sungguh. Seharusnya,
sekarang nih, kegiatan kita ini, lu jadikan ajang untuk meningkatkan kualitas
diri!”
Tengah malam itu terasa menusuk. Seenggaknya, dengan bergabung atau dipaksa
bergabungnya gua dalam forum diskusi ini di setiap malam dan setiap hari,
menjadikan begadang gua beralasan dan penuh faidah. Meskipun, siapa yang ingin
begadang tanpa faidah? Gua cukup sadar akan hal ini.
Seenggaknya, kita memang perlu bijak untuk memilih kepada siapa kita
mengajak ngobrol, cerita, bertukar pikiran, atau hanya meminta pendapat
seutuhnya. Meskipun nggak semua hal bisa kita obrolkan dan harus diobrolkan, pada
segelintir orang yang telah dipilih penuh bijak.
Makasih, Lam!
Komentar
Posting Komentar