Rumah
“Kamu marah, Ay?”
Lelaki paruh baya, penuh sendu menghadap gadis remaja dengan wajah, bagai
pelangi ditutup kemendung, muram itu suram.
“Ayla, dengarkan ayah baik-baik.”
Lelaki itu membenarkan posisi duduknya, menghadap wajah anak perempuannya.
“Semua hal tentu ada kurang lebihnya. Semua hal ada konsekuensi dan
jalannya. Belajar bukan hanya perihal membaca dan menulis. Tapi juga
mendengarkan dan berbicara. Seharusnya kamu bisa dengarkan ayah, dan ayah pun
dengan penuh rela mendengarkanmu. Kita harus bisa berbicara dengan komunikasi
yang sehat. Apa yang harus ditakutkan dan ditutup-tutupi? Ini ayahmu, Ayla!”
Perempuan itu masih saja termenung, tanpa sekalipun memandang wajah yang
tengah mengharapnya.
“Sejujurnya, ayah hanya belajar dari ibumu. Semua hal perihal
keperempuanan, ayah dapat hanya dari ibumu: bagaimana ia senang, ia sedih, ia
cemburu, atau ia menginginkan dan membenci sesuatu. Dari sikapnya, sifatnya,
juga caranya berbicara. Tapi, ibumu, ia selalu berani untuk jujur tentang
segala hal yang ia rasakan. Ia tak sungkan untuk menceritakan apapun pada ayah,
hanya pada ayah. Walaupun kadang terkesan sangat dingin ataupun sangat panas,
tapi ia tetap berani jujur untuk berbicara. Lalu hal apa yang harus ayah takut dan
tutup-tutupi untuk juga berani jujur dalam mendengarkan?”
Gadis itu, dengan mata yang sembab, hingga mulai menyeka air mata
yang mengalir malu-malu, menatap ayahnya dan memeluk.
Lelaki itu menerima, membalas pelukan anaknya: apa yang dingin dan panas
dalam hati anaknya, berusaha dijadikan hangat.
“Cerita sama ayah, Nak. Janganlah malu! Tak perlu mengikuti dunia yang
seolah besarnya usia seorang anak, hanya karena ego dan merasa ‘aku sudah
dewasa’, menjadi sekat, menjadikan alasan untuk jauh dari ayahnya. Ayah sama
sekali tidak malu saat kamu kecil yang menangis karena pipis di celana pada saat
acara reuni teman SMA ayah, atau bahkan kamu yang meraung di toko buku hanya
karena ingin ayah belikan buku yang telah kamu pilih hingga setumpuk itu. Apakah
ayah malu, hingga memarahimu?”
Pelukan gadis itu semakin erat, lelaki itu malah tersenyum.
“Dengan apa ayah harus menebus kesalahan pada anak gadis kesayangan ayah
yang sedang ngambek penuh cemberut ini? Apakah ayah harus mengajak ke toko buku,
lalu ke taman kota untuk membeli bakso pak kumis dan es doger bandung, hingga
kita menikmati sore di bangku panjang seraya membicarakan buku yang pasti akan
terbeli lebih banyak, yang akan kamu jawab, ‘mumpung ditraktir ayah’ saat ayah
tegur?”
Wajah mereka bertemu.
“Aaah, ayaaah!”
Wajah gadis itu kembali bersembunyi di hangat dada ayahnya, dengan air mata yang lebih deras. Bukan pelangi
atau rembulan, entah cerah bagaimana yang mampu untuk melukiskan wajah gadis
itu yang kini mulai memerah menahan senang atau malu itu.
“Maafkan aku, Ayah.” Lanjut gadis itu, masih dalam peluk ayahnya.
“Tidak apa-apa, Nak, ayah juga minta maaf. Setiap orang punya salah dan kita
memang harus berusaha lebih baik di setiap harinya, kan?”
“Iya, Ayah. Tapi, memang ayah tidak masuk kerja?” Tanya gadis itu, perihal
penawaran ayahnya untuk ngambeknya yang terkesan sulit untuk ditolak.
“Kerja? Ayah ambil cuti 1 minggu untuk kamu.”
“Satu minggu?” Kini malahnya yang terkaget, meski juga terselip buncah
bahagia.
“Makasiiih, Ayah!”
Manja sekali gadis itu. Mana ngambeknya? Mana cemberutnya? Itu semua
seperti menguap, lenyap seketika. Bahkan, meski pada terbesit untuk mengajak
ibunya dalam momen bahagia ini.
Seberapa pun jauh dunia mengubah dan menjauhkannya, seorang ayah tetaplah rumah,
cinta pertama anak perempuannya.
Komentar
Posting Komentar