Jejak
Suatu hari, seorang pemulung berkutat dengan sebuah pena yang ia temui di usang bau kotor jijik sampah.
“Atas nama cinta, ingin kuberikan sepenuhnya dunia. Bukan tak mau, bukan
tak mampu: apa dayalah, bahwa kamu adalah dunia itu. Apa jadinya jika itu
tertuntut dan dipaksakan, untuk segala spekulasi ‘kamu diberikan padamu?’,
‘kamu untukmu?’, ‘aku apa?’, ‘aku di mana?’ yang tentu akan mendapatkan banyak
kepusing yang lebih dari itu.
Dengan sikap saling percaya dan rasa saling memiliki, seharusnya aku tidak
perlu khawatir lagi dengan segala hal tentang dunia yang fana ini.
Akhirat adalah milik kita, Adinda!
Hingga, pertanyaannya: apa dan bagaimana lelah ini kita berikan untuk
akhirat dan memilikinya?
Mengejar akhirat seorang diri itu akan lebih melelahkan, Adinda! Sudikah
untuk bersama dalam pertualangan jauh dan hebat ini? Apa tanggapan orang tuamu
untuk aku yang seorang pemulung?”
Sehabisnya tinta, pena itu tetap berkutat dengan tetesan keringat, air
mata, hingga darahnya. Pemulung itu tetap menulis penuh tulus.
Hingga, apa yang kau terka untuk rekah wajahnya bagai kuntum?
Impian itu terwujud: pertualangan mereka dimulai dari sebaris kalimat,
“cukup, sebuah mahar yang tidak memberatkanmu dan juga tidak merendahkanku,
Kanda!”
Jejak langkah mereka mewangi penuh ridho Tuhan.
Komentar
Posting Komentar