Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2024

Pribumi

Mungkin ada beberapa hal, meski kecil, dapat membuat kita betah tinggal di bumi. Hal-hal kecil, ringan, dan bertebar itu seolah mengetuk keegoisan diri kita selaku manusia, selaku makhluk tanpa daya upaya.   Orang-orang, manusia lain, dengan segala kemampuan dan sisi hidupnya, nyatanya mampu menimbulkan nurani dengan penuh. Segala apa yang telah Allah berikan sebagai pelajaran, membuat kita merasa bersyukur menjadi manusia. Betapa tulus senyum itu, kala Sang Bapak penjual lamongan penyetan menyapa dan mengulurkan tangan lebih dahulu, seraya berucap, ”minal aidzin wal faidzin ya, Bang!” dengan disusul pertanyaan kapan datang dan perihal liburan. Bagaimana rasanya senang terharu perihal simpatinya, selalu cerianya, cara menghargainya, dan contoh ibda binafsi -nya mampu mengacak hati yang masih dipenuhi bayang rumah. Kenapa juga ia yang harus dan memulai minta maaf? Padahal kan gua yang lebih banyak salah. Padahal kan gua yang sering minta nambah sambal dengan bayaran yang tetap.

Ha’eu

“Kok, akhir-akhir ini, blognya banyak dihiasi cerita-cerita sih, Bang? Kok jarang ada tulisan narasi-narasi ngeluhnya?” Bingung seseorang, untuk masukan atau kritikan, membangun atau nggak: cukup menyadarkan. “Sedari sebelum Ramadhan, hingga Ramadhannya. Ini aja belum ada tulisan tentang liburan sewaktu di rumah, juga tulisan perihal kembali masuk pondok. Pasti akan banyak cerita-cerita lagi kan, Bang? Aku yakin akan launching itu!” Lanjutnya menebak. Sejatinya, blog compang-camping ini adalah tempat sampah untuk ide-ide kusam yang mungkin mengeluarkan aroma yang nggak sedap bagi mata dan akal sehat. Cukup lucu atau mungkin harus senangnya pada orang yang rela mengorek-ngorek tempat sampah itu, entah memulung karena gabut, penasaran, nggak sengaja, hobi, atau malah kebutuhan, tentunya nggak habis pikir dengan mereka: ”kok mau berkusam-kusam tangan dengan aroma busuk yang menusuk untuk mengorek kata demi kata tulisan lusuh itu?” Tapi, bagaimanapun, tulisan adalah tulisan: harus di

Kuncup

Lembar paruh baya itu bercerita: “Kok kamu masih ingat?” Tanya perempuan itu dengan senyum dan kaget yang sempurna, juga bahagia dan malu-malu yang tak dapat disembunyikan. Bukan tanpa alasan, lelaki itu masih mengingat kejadian beberapa tahun belakang silam, cukup jauh: mengenai sebuah kejadian yang mungkin begitu sulit untuk dilupakan, juga lucu, lagi manis. Bagaimana Si Perempuan, kala itu, berkeliling Bandung dengan lelaki itu dengan penuh ketercanggungan dan sekat. Bukan tak cinta tak sayang, mereka masih PDKT. Senangnya ia, selibur kuliah hingga sesekali tertahan jarak memaksa LDR sejenak, ia begitu meramu waktu, untuk dan bersama lelaki itu. Hingga rindu, tak pernah sedikit pun memberatkan dan menolak saat usul Bandung dan hanya berdua itu ditawarkan dengan harum. Dengan Vespa 150 GS VS5 yang masih ganteng gagah, sudut demi sudut, Bandung selalu memberikan sisi bahagianya tersendiri. Segala hal bisa dinikmati bersama, berdua. Tak ada yang perlu dikhawatirkan akan dingin:

Mekar

“Kamu masih menyimpannya? Merawatnya? Bermekar? Waktu itu dan selama ini?” Bingung lelaki itu, perihal sekuntum bunga tulip merah, saat lalu, hingganya bermekar. Mungkin terkesima, atau malah kagum. Perempuan itu hanya tersenyum. “Bagaimana kamu menyiramnya? Bukannya musim tengah kemarau?” Lagi. Sedari kelopak, harum itu menjuntai. “Lalu, apa? Bukannya air mata tak kenal musim?” Katup.

Helai

Hidup adalah tentang belajar. Meskipun kenyataan dalil menyatakan untuk ibadah, apa artinya ibadah tanpa ilmu? Apa artinya ilmu tanpa belajar? Dengan itu, Allah pun telah memberikan kita semua, segala aspek penunjang untuk belajar itu. Otak dan pikiran, hati dan perasaan, hingga orang-orang dan interaksi. Penyebaran nilai kebaikan pun merebak di segala wadah lembaga pendidikan, lisan atau tulisan, hingga diam pekanya merasa. Sejatinya, kita bisa belajar di manapun, kapanpun, dan dari siapapun! Ilmu Allah itu bertebar luas! Nggak menyangka, di dalam suasana yang sungguh melelahkan untuk segala kegiatan di suatu hari, merehatkan pikiran dan merebahkan badan: media sosial selalu memberikan pengetahuan dengan pesonanya tersendiri. Termasuk membaca komenan-komenan netizen di beberapa postingan! Udah bisa dipastikan, komenan itu senada dengan postingan. Meskipun dengan beragam diksi dan sudut pandang juga gaya bahasa, tapi seenggaknya netizen masih cukup bijak untuk konteks ataupun

Hubb

Dering panggilan telpon dengan volume sedang berhasil membuat seorang lelaki tercekat, terdiam, lalu pikir skeptis yang lama terpendam, kembali muncul: “Lebih baik hubbul wathon dengan lanjut menonton Timnas U-23 pada laga krusial yang menentukan nasibnya di piala asia, atau mending hubbul wadon dengan mengangkat telpon yang kesekian dan harus merelakan pertandingan yang baru berjalan setengah babak karena memang udah bisa dipastikan telponan ini akan lewat berjam?” Ia berkonklusi, Ia berspekulasi. Menonton Timnas U-23 adalah suatu momen yang ditunggu. Bukan hanya perihal lelaki, tapi ini soal warga negara. Apalagi dalam kejuaraan kali ini, Rizky Ridho dan kawan-kawan punya jalan yang nggak mudah karena satu grup dengan Qatar, Sang Kampiun Juara dan Tuan Rumah. Tentu di laga kedua melawan Australia kali ini akan menjadi penentuan langkah Timnas selanjutnya, jika saja sampai kalah tentu sudah nggak ada harapan lagi meski harus menang di laga ketiga dengan Yordania nanti. Tentu c

Amplop

Seharusnya, lebaran adalah hari bahagia. Sudah seharusnya kita bahagia di hari kemenangan. Tapi, nggak setiap hal bisa dirayakan di hari raya: banyak hal yang merusak nuansa syahdu dan permai ini, begitu meresahkan. Bukan dan sedang nggak lagi berkenan membahas lebaran dengan hal-hal sesedih orang yang nggak bisa merayakan lebaran dengan keluarga, baik sementara ataupun selamanya. Nggak, bukan itu. Mungkin senada dengan cerca pertanyaan nyinyir orang perihal studi, pekerjaan, dan nikah, lalu saling adu pencapaian. Ada satu hal yang cukup menggangggu akal sehat dan bersih hati lapang dada: THR. Bagi Sebagian orang, THR adalah salah satu aspek penunjang rasa bahagia, kekeluargaan, apresiasi, hingga penerapan makna berbagi di hari raya lebaran. Ya, meskipun tetap ada aja yang mengartikan sebagai hasil pencapaian, lalu lirik sana lirik sini. Benar, THR nggak pernah gagal dalam membangkitkan bahagia dan menjadi alasan semarak hari raya. Tapi, makin ke sini, rasionalitas mulai me

Sua

Apapun yang terjadi, lebaran adalah momen bahagia. Itu kenapa lebaran disebut dengan hari raya dan kemenangan. Idul Fitri, kembali suci: atas segala hal baik yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Tentu cara menyikapinya, patutnya kita untuk berbahagia dan terus berbuat baik. Berbahagia, sebagaimana yang sudah-sudah, lebaran memang harus berbahagia. Semua hal yang menjadi komponen darinya memang diperuntukkan dan mendukung untuk timbul bahagia itu. Selain karena konsekuensi agung bahwa kita kembali suci dan bersih sebab Ramadhan, di sisi lain, bahagia turut andil. Bagaimana kita tau, bahwa lebaran adalah momen penunaian rindu-rindu. Unsur perikemanusiaan di segala aspek, memberi kesempatan untuk sibuk pekerja dan industri, kurung santri dan pesantren, pisah perantau dan kota, hingga secercah kebersamaan yang berharap utuh. Dalam kesederhanaan, hangat keluarga begitu didamba: begitu berarti dan berharga. Hingga, apa yang salah bercapek-capek berkerja siang malam dan berlama mace

Ketupat

Sudah seharusnya suka cita di hari raya, hari di mana merayakan kesenangan, kemenangan. Tapi, nyatanya, hidup perlu gerak. Lihat saja orang itu! Bodoh! Nggak tau budi! Gila dunia! Mungkin itu sedikit dari pandangan sumpah serampah orang setelah sholat ied dan berhangat ria dengan riuh sanak saudara, ia malah berjalan tak acuh mendorong gerobak yang dipenuhi pisang menggantung. Sesekali, “Pisang…Pisang…” dalam teriaknya. Di sepanjang jalan sepi itu, ia letih nggak tersampaikan. Bayangkan saja, harga dirinya sebagai kepala keluarga benar-benar dipertaruhkan. Ia paksa tega meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih muram karena nggak dapat mengenakan baju baru di hari raya. Habis anak-anak itu itu dicaci maki kawan sebayanya. Hilang muka istrinya yang harus mengenakan dress lusuh tahun lalu. Di bawah rimbun pohon rambutan, ia terduduk menahan beban malu itu. “Tuhan, apa yang harus kurayakan di hari raya ini? Mana bahagiaku?” Camuk perasaan itu membuatnya terpejam. Ia kal