Sua
Apapun yang terjadi, lebaran adalah momen bahagia. Itu kenapa lebaran disebut dengan hari raya dan kemenangan. Idul Fitri, kembali suci: atas segala hal baik yang kita lakukan di bulan Ramadhan.
Tentu cara menyikapinya, patutnya
kita untuk berbahagia dan terus berbuat baik.
Berbahagia, sebagaimana yang
sudah-sudah, lebaran memang harus berbahagia. Semua hal yang menjadi komponen
darinya memang diperuntukkan dan mendukung untuk timbul bahagia itu. Selain
karena konsekuensi agung bahwa kita kembali suci dan bersih sebab Ramadhan, di
sisi lain, bahagia turut andil.
Bagaimana kita tau, bahwa lebaran
adalah momen penunaian rindu-rindu. Unsur perikemanusiaan di segala aspek,
memberi kesempatan untuk sibuk pekerja dan industri, kurung santri dan
pesantren, pisah perantau dan kota, hingga secercah kebersamaan yang berharap
utuh.
Dalam kesederhanaan, hangat keluarga
begitu didamba: begitu berarti dan berharga.
Hingga, apa yang salah
bercapek-capek berkerja siang malam dan berlama macet di perjalanan demi bisa
mudik dan berpulang ke kampung halaman? Bukankah harta yang paling berharga
adalah keluarga?
Di sisi lain, bukan hanya perihal
harta dan materi, keluarga adalah arti diri.
Bahagia itu tetap berlanjut dengan
kenyataan bahwa lebaran adalah ruang liburan. Libur pikiran dan perasaan dari
sibuk pekerjaan. Memberi kita ruang untuk merasakan hidup lebih manusiawi
dengan memandang segala sesuatu menggunakan sudut pandang tenang, ringan, dan
tanpa paksaan.
Kita bisa kembali bersua dengan
kawan lama dan segala topik terkini atau nostalgia dalam bicara, atau sekedar
berjalan kaki seorang diri untuk menikmati kampung dan segala kenangnya.
Menyapa orang, satu dua, meski asing atau terkejut, senyum itu tetap merekah
tulus.
Dr. Fahruddin Faiz dalam bukunya, Filsafat
Kebahagiaan, mengartikan bahagia adalah kesadaran kita akan batas, tau
batas.
“Jika lebaran adalah momen libur, ya
libur!”
“Jika berkesempatan mudik, ya mudik!”
Sesederhana itu.
Kita hidup untuk bahagia dan Allah
merestui itu.
Sungguh indah ayat 139 dari surat
Ali Imran yang berbunyi:
وَلَا
تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling
tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Aspek selanjutnya, lebaran menjadi
titik revolusi kebaikan. Harus tambah baik lagi dalam kebaikan. Jangan
sangka dan pd, bahwa kita dicukupkan untuk berbaik di bulan Ramadhan. Merasa totalitas untuk segalanya di bulan
Ramadhan, merasa itu semua sudah cukup.
“Buat apa? Bulan lain kan nggak
seistimewa Ramadhan?” Sangkalnya.
Ya, mungkin benar, Ramadhan begitu
istimewa bagi umat ini dan hati kita. Tapi, apa berarti jika bulan lain nggak
seistimewa Ramadhan, kita pun nggak perlu seistimewa itu dalam menyikapinya?
Tetap biasa-biasa aja tanpa ghirah ibadah di luar bulan Ramadhan?
Kita
semangat ibadah karena istimewa Ramadhan?
Kita rajin
berbuat baik karena besar ganjaran?
Padahal
kurang istimewa apa Allah, Dzat yang Maha Besar?
Ingat, kita
itu ibadah karena Allah, bukan karena Ramadhan dan ganjarannya! Jadi selama
masih ada Allah, seharusnya kita akan tetap semangat ibadah dan berbuat baik.
Seharusnya juga
kalau segala sesuatu digantungkan dan disandarkan pada Allah, mudah-mudah aja
bagi kita untuk nggak banyak beralasan: bahwa kita memang harus totalitas dalam
beribadah dan berbuat baik karena Allah, hanya karena Allah.
Wa ma kholaqtul jinna wal insan illa liya’budun, kita diciptakan memang untuk beribadah:
sepenuhnya untuk kebaikan.
Jika dengan
semua itu sudah mampu membuat kita sadar, alahkah baiknya kedua hal itu kita
terapkan di hari lebaran ini. Berbahagia dan
berbuat baik! Kita jalin silaturahmi ke sanak famili. Termasuk memberi THR,
besar kecilnya, ada unsur bahagia, membahagiakan, dan berbuat baik.
Dengan begitu, sudah seharusnya kita
tau apa yang harus dipersiapkan, apa yang harus dilakukan saat lebaran?
Minimal kita harus tau dan paham
esensi dari Idul Fitri: lebaran yang penuh sambut sorak itu!
ليس العيد لمن لبس الجديد
إنما العيد لمن طاعاته تزيد
تجمل باللباس والركوب ليس العيد لمن
غفرت له الذنوب إنما العيد لمن
كسب الربياة ليس العيد لمن
وجد الرحمة إنما العيد لمن
كثر الاشراب والطعام ليس العيد لمن
عمل الصواب والدوام إنما العيد لمن
ذهب في أي المكان ليس العيد لمن
يزيد الإيمان إنما العيد لمن
Idul Fitri
bukan untuk mereka yang memakai baju baru
Idul Fitri
diperuntukkan bagi mereka yang meningkat ketaatannya
Idul Fitri
bukan untuk mereka yang berpakaian indah dan berkendara
Idul Fitri
diperuntukkan bagi mereka diampuni dosanya
Idul Fitri
bukan untuk mereka yang menghasilkan riba
Idul Fitri
diperuntukkan bagi mereka yang menemukan belas kasihan
Idul Fitri
bukan untuk mereka yang banyak minum dan makan
Idul Fitri
diperuntukkan bagi mereka yang melakukan kebaikan dan konsisten
Idul Fitri
bukan untuk mereka yang pergi kemana saja
Idul Fitri
diperuntukkan bagi mereka yang Imannya bertambah
Jadi kita bisa tau, mabrur nggaknya,
berhasil nggaknya, sukses nggaknya Ramadhan kita bisa dilihat dari ibadah dan
kebaikan yang kita lakukan di luar bulan Ramadhan: meningkat atau menurun?
Seharusnya lebaran bukan hanya
dirayakan dengan lisan dan jasmani, tapi juga dengan perilaku dan rohani!
Selamat lebaran!
Selamat hari raya Idul Fitri!
Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf
lahi dan batin.
Taqobalallahu minna wa minkum,
taqabbal ya karim!
Komentar
Posting Komentar