Kuncup
Lembar paruh baya itu bercerita:
“Kok kamu masih
ingat?” Tanya perempuan itu dengan senyum dan kaget yang sempurna, juga bahagia
dan malu-malu yang tak dapat disembunyikan.
Bukan tanpa
alasan, lelaki itu masih mengingat kejadian beberapa tahun belakang silam,
cukup jauh: mengenai sebuah kejadian yang mungkin begitu sulit untuk dilupakan,
juga lucu, lagi manis. Bagaimana Si Perempuan, kala itu, berkeliling Bandung
dengan lelaki itu dengan penuh ketercanggungan dan sekat. Bukan tak cinta tak
sayang, mereka masih PDKT.
Senangnya ia,
selibur kuliah hingga sesekali tertahan jarak memaksa LDR sejenak, ia begitu meramu
waktu, untuk dan bersama lelaki itu. Hingga rindu, tak pernah sedikit pun
memberatkan dan menolak saat usul Bandung dan hanya berdua itu ditawarkan
dengan harum.
Dengan Vespa
150 GS VS5 yang masih ganteng gagah, sudut demi sudut, Bandung selalu
memberikan sisi bahagianya tersendiri. Segala hal bisa dinikmati bersama,
berdua. Tak ada yang perlu dikhawatirkan akan dingin: cinta mereka
menghangatkan.
Segala spot
wisata, sedari sunyi alam sampai ramai kota, di terik panas atau rintik hujan, semua
tawa senyum dan hangat lagi manis itu sebisa mungkin diabadikan dalam
frame-frame galeri dari handphone yang ala kadar. Termasuk ekspresi-ekspresi
kaku yang dipaksakan, hingga kesal Si Perempuan yang tak terindahkan lagi
karena wajah lelaki itu bak balok es saat di depan kamera, terkadang: sesekali.
Kuliner pun,
jangan sampai terlewat. Itu wajib dan harus: roti gempol, es oyen, bakso
cuanki, bubur ayam gibbas, seblak jebred, cilok bapri, mie naripan, ronde
alkateri, sate hadori, lotek kalipah apo, roti bakar madtari, hingga kejadian
lucu dan membekas itu terjadi.
“Maaf, Neng.
Pipinya, itu ada nasinya!” Sapa polos tukang sapu di sore itu.
Ya, satu butir
nasi kuning pungkur kala sarapan, masih saja menempel hingga sore dan
mutar-muternya mereka begitu capek dan bahagia. Si Perempuan baru tersadar,
pipinya memerah di hadapan tukang sapu.
Hingga, hal
yang mengganjal, kala itu, mungkin dua: irinya lelaki itu pada butir nasi di
pipi kanan Si Perempuan, lalu pada tukang sapu yang dihadiahi merah semu cantik
wajah itu.
Tapi, ikhlasnya
lelaki itu saat mendapat peluk selepas pelarian malu Si Perempuan dan irinya.
Di usainya
cerita sederhana itu, lelaki itu hanya tertawa.
“Bukannya aku yang
berusaha menyimpan dan terus mengingat. Tapi, memang nggak bisa dilupa!” Jujur
lelaki itu, nggak bermaksud lain.
Senyum Si
Perempuan mulai menurun, lalu pada mata lelakinya, perlahan.
“Semua ini
bukan karena kognitifku, mungkin saja memang karena kamu. Kenangan dan cinta
ini.” Lanjutnya, tak lama.
Wah, pembaca
yang menulis ini terkesima!
Komentar
Posting Komentar